Trending Topik

Cooling Tower dan Prinsip Kerja Closed Cooling Water System

Alat pendingin di sistem pertukaran panas (heat exchanger system) disebut "Cooler" sedangkan sistemnya menggunakan air yang disebut “Cooling Water” dan Cooling Water menggunakan air yang didinginkan di "Cooling Tower". Cooling Tower umumnya digunakan ketika disebuah instalasi stock/umpan air rendah dan harus di siklus terus-menerus untuk penghematan. Di PLTU umumnya, cooling tower hanya ada pada umpan air sungai dan jika air laut maka dibuatkan sistem once through dengan sekali lewatan dan langsung dibuang karena air sangat melimpah dari laut.

Cooling Tower adalah sistem pendingin liquid (biasanya air) yang operasinya terkadang ditambah refrigerant (media pendingin) dan fan/kipas untuk mempercepat proses perpindahan panas, kemudian disalurkan ke alat pendingin (Cooler, Condenser, Chiller, HE, close cooling). Untuk instalasi di sebuah PLTU atau industri yang besar, tidak menggunakan lagi refrigerant (karena kurang ekonomis) melainkan desain dibuat tinggi/menara dengan bantuan forced cooling dari fan sehingga air yang panas hasil sirkulasi jatuh melewati kisi-kisi dan disemburkan udara dingin. Ketika sudah sampai bawah (pond tower) maka diharapkan air sudah dingin dan siap digunakan lagi untuk mendinginkan sistem peralatan.

Berdasarkan Handbook of Water Treatment [Kurita, 1999] berikut:
Prinsip Kerja Tipe Cross-Flow (umum di PLTU):
Air panas yang habis digunakan untuk mendinginkan sistem yang panas (oil pelumas, bearing dll) disirkulasikan ke cooling tower melewati bagian atas kemudian secara gravitasi jatuh ke bawah menyebar karena adanya pipa distribusi. Cooling tower dilengkapi kipas (fan) untuk mempercepat pendinginan sehingga transfer panas bisa terjadi. Seiring jatuhnya air ke bawah dan terkena udara dari kipas (fan) maka terjadi perpindahan panas. Ini terjadi secara continue sehingga urutannya (air dari outlet cooling tower -> air digunakan untuk pendinginan sistem -> air kembali lagi ke cooling tower), proses ini sering disebut Cooling Water Return (CWR). Agar waktu kontak (residence time) lebih lama maka terdapat fasilitas kisi-kisi yang membuat air berkelok-kelok sehingga ketika sudah sampai bawah sudah dingin dan mengumpul di pond tower.
Skematik Cooling Tower

Parameter-Parameter Analisa Kualitas Cooling Water di Cooling Tower: [EPRI, 2004]
  • Turbidity/Total Suspended Solid (TSS)tingkat kekeruhan dalam umpan cairan yang ditunjukkan dengan jumlah padatan tersuspensi/Total Suspended Solid (TSS) di dalam larutan. Satuan yang umum dipakai adalah NTU dan jika nilai turbidity terlalu tinggi maka bisa menyebabkan blocking pada jalur cooling system.
  • pH (Potential Hydrogen)/Alkalinity, tingkat keasaman dan kebasaan cairan, jika terlalu asam atau basa maka bisa menimbulkan korosi dan kerak.
  • Electrical conductivity, kemampuan cairan menghantarkan arus listrik yang ditunjukkan dengan banyaknya jumlah ion (+ / -)  terlarut di dalam air. Satuannya adalah ÂµS/cm dan jika nilai conductivity terlalu tinggi maka bisa berpotensi mengkorosi logam di peralatan sepanjang jalur cooling tower system
  • COD (Chemical Oxygen Demand), banyaknya kebutuhan oxygen untuk menetralisir bahan kimia terlarut dalam cairan. Hal ini berarti terdapat reaksi penetralan di dalam umpan, dimana ketika nilai COD tinggi menandakan banyak bahan kimia terlarut dan berpotensi membentuk sludge/fouling di coolong water system
  • Kesadahan/Kekerasan Air/Hardness Water, menunjukkan banyaknya ion Ca dan Mg yang terkandung dalam cairan yang bisa menyebabkan kerak
  • Chloride, Fluoride dan Sulphate, merupakan senyawa pada air laut dengan banyak ion mineral sehingga kandungan yang tinggi lebih bersifat korosif pada jalur cooling tower system.
  • Silica, merupakan salah satu komponen pembentuk kerak pada peralatan (umumnya jika umpan pendingin adalah air sungai).
  • Ion Ammonium, Nitrate dan Nitrite, konsentrasi ion yang tinggi mempercepat pembentukan slime. Ketika ammonia berubah menjadi asam nitrat oleh bakteri nitrifikasi, pH cooling water menjadi rendah dan mengakibatkan bahan kimia penghambat korosi (corrosion inhibitor) menjadi tidak berfungsi. Selain itu, ammonia juga mengkorosi material yang terbuat dari Copper (Cu)
  • Manganese, Total Iron, Copper, merupakan salah satu indikator terjadinya korosi atau pengikisan pada jalur sepanjang cooling water. Menempelnya senyawa besi (iron) pada permukaan tubing heat exchanger dapat menyebabkan korosi lokal pada material jenis carbon steel.
  • Total Organic Carbon (TOC), untuk mengukur potensi perkembangbiakan mikroorganisme karena bahan organik merupakan suplemen mikroba
Phsycal Treatment dari Cooling Tower:
  • Pipa yang digunakan untuk menyalurkan ke alat pendingin rentan terhadap korosi sehingga efisiensi perpindahan panas rendah, ditangani dengan pelapisan pipa menggunakan logam khusus, pemberian corrosion inhibitor (nitrit, molybdate, chromate, silicate) atau menggunakan lining di sepanjang jalur cooling water [EPRI, 2004].
  • Terjadi penyumbatan lumpur sehingga naiknya konsumsi energi listrik untuk memompa, ditangani dengan penanganan khusus cooling water sebelum masuk cooling tower misalnya filtrasi, koagulasi dan flokulasi
Chemical Treatment dari Cooling Tower:
  • Kualitas cooling water dijaga dengan penambahan zat kimia khusus (soda dan zeolite) agar tidak terjadi kesadahan
  • pH cooling water dijaga netral dengan penambahan asam kuat (HCl, H2SO4) jika pH terlalu tinggi (>7) dan basa kuat (NaOH, Mg(OH)2) jika pH teralu rendah (<7). Di PLTU, umumnya ditambahkan ammonia untuk menjaga range pH dari menurunnya pH secara drastis karena potensi kenaikan pH mustahil terjadi pada siklus cooling water. Penggunaan ammonia ini jika material close cooling water bukan dari Copper (Cu)/tembaga
  • Penambahan ClO2 atau NaOCl (sodium hipoklorit) untuk penghambat pertumbuhan mikrobiologi
  • Penambahan hydrazine (dissolved gas scavenger) untuk menghambat terjadinya reaksi antara gas-gas terlarut (CO2 dan O2)

Corrosion inhibitor yang umum digunakan dan PLTU banyak kami temui adalah nitrite dalam senyawa natrium nitrite (NaNO2). Berdasarkan EPRI (2004), nitrrite umumnya dikombinasikan dengan pH kontrol seperti NaOH atau sodium tetraborate (borax) dan untuk melindungi material copper (Cu) digunakan senyawa azole (dijaga range pH 8.5-11). Beberapa tipe azole adalah tolyltriazole (TTA), benzotriazole (BZT), mercaptobenzothiazole (MBT).
Keuntungan Menggunakan Nitrite: [EPRI, 2004]
  • Sebagai inhibitor, nitrite tidak membutuhkan oksigen untuk membentuk lapisan film
  • Nitrite lebih tahan terhadap chloride dibandingkan chromate. Beberapa kasus nitrite kurang tahan terhadap sulphate
  • Nitrite bisa digunakan pada dosis yang cukup tinggi (>4000 ppm) dibandingkan chromate dengan tidak berdampak apa-apa terhadap performa peralatan lain
  • Nitrite memiliki tingkat toxicity di air lebih rendah dibandingkan chromate
Kerugian Menggunakan Nitrite: [EPRI, 2004]
  • Nitrite tidak menghambat pertumbuhan mikrobiologi
  • Karena nitrite digunakan pada dosis tinggi, maka akan cukup sulit melakukan proses netralisasi pada limbahnya dan membutuhkan proses yang panjang
  • Penggunaan nitrite dengan dosis sampai 10.000 ppm (1%) bisa menyebabkan stress corrosion cracking (SCC) pada carbon steel
  • Nitrite dalam operasinya akan menghasilkan ammonia dan ini bisa menyebabkan SCC pada material Cu dengan kehadiran ammonia dan oksigen-nya
  • Nitrite cocoknya digunakan untuk treatment cooling water 1 siklus terbuka (once through) dan tidak tertutup. Karena jika siklus tertutup maka potensi kontaminasi biologi bisa semakin besar pada jalur siklus cooling water

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2013). Cooling Tower dan Prinsip Kerja Closed Cooling Water Systemwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] www.siemens.com/wallace-tiernan
[2] http://www.ecolab.com/solutions/water-treatment
[3] http://www.accepta.com/water-treatment
[4] http://www.chemtreat.com/applications
[5] http://www.thermaxindia.com/chemicals
[6] http://www.endurosolv.com/cooling_tower_treatmen
[7] Kurita. (1999). Handbook of water Treatment, Second Edition. Japan
[8] EPRI. (2004). Closed Cooling Water Chemistry Guideline, Revision 1
[9] Feriyanto, Y.E. (2015). Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya

ARTIKEL TERKAIT:
1. Cooling Water Syatem PLTU 200 MW 
2. Deaerator 
3. Heat Exchanger (HE) 

Previous
« Prev Post