Trending Topik

Pengelolaan Limbah B3 Padat dan Cair di PLTU

Diposting oleh On Thursday, June 10, 2021

Limbah padat di PLTU yang paling banyak jumlahnya ada 2 yaitu fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu dasar). Fly ash adalah abu ringan yang berasal dari sisa pembakaran batubara di boiler,  memiliki massa jenis rendah dan di-filter dengan peralatan electrostatic precipitator (ESP) sebelum dibuang ke stack. Fly ash yang tertangkap ESP akan terbuang langsung ke truk khusus berbentuk kapsul dan biasanya dikirim ke pabrik semen untuk campuran karena mengandung silica yang cukup tinggi. Sedangkan bottom ash adalah abu yang memiliki massa jenis besar dan umumnya bisa didapatkan dari dasar boiler yang merupakan sisa bahan bakar yang tidak terbakar atau pengotor umpan boiler yang terikut.
Limbah cair PLTU cukup banyak meliputi sisa regenerasi dan chemical cleaning dari WTP, buangan blowdown steam drum, ceceran oil MOT dll. Di PLTU memiliki treatment khusus untuk limbah cair berupa waste water treatment plant (WWTP) yang lengkap dengan fasilitasnya. Detail bisa dibaca di; "WWTP PLTU dan PLTGU"
Perundang-undangan tentang lingkungan hidup menetapkan tata cara pengelolaan limbah padat di PLTU mulai dari: Penghasil limbah B3-Pengangkut-Pengumpul-Pengolah-Penimbun.
Berdasarkan PP No 101 Tahun 2012 tentang "pengelolaan limbah B3" terdapat beberapa inti yang didapat sebagai berikut:
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah zat/energi/komponen lain yang karena sifat, konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan lingkungan dan kelangsungan hidup manusia
Limbah B3 adalah sisa suatu usaha/kegiatan yang mengandung B3
Limbah B3 berdasarkan kategori bahayanya terdiri atas:
  • Kategori 1
  • Kategori 2

Limbah B3 berdasarkan kategori sumbernya terdiri atas:
  • Dari sumber tidak spesifik
  • Dari B3 kadaluwarsa, tumpah dan tidak memenuhi spesifikasi akan dibuang
  • Dari sumber spesifik, terbagi menjadi 2 yaitu: (i) dari sumber spesifik umum; (ii) dari sumber spesifik khusus
Karakteristik limbah meliputi:
  • Mudah meledak
  • Mudah menyala
  • Reaktif
  • Infeksius
  • Korosif
  • Beracun
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengurangan limbah B3, meliputi:
  • Substitusi bahan, di PLTU misalnya limbah B3 berasal dari bahan bakar coal sehingga apakah coal bisa diganti dengan bahan lain agar tidak mengandung B3 yang cukup besar misalnya biomass
  • Modifikasi proses, di PLTU penggunaan ESP dan bag filter dimaksudkan agar limbah B3 yang dilepas ke lingkungan seminimal mungkin dan penempatan limbah B3 di tempat penampungan khusus yang dikontrol dengan intens
  • Penggunaan teknologi ramah lingkungan, di PLTU penjagaan temperatur operasi agar tidak membentuk NOx serta penambahan injeksi kapur untuk mengikat SOx dilakukan. Lebih detail baca di: Cara Kontrol NOx dan SOx pada Gas Buang

Lama waktu penyimpanan limbah B3:
  • 90 hari sejak limbah B3 dihasilkan sebesar 50 kg/hari atau lebih
  • 180 hari sejak limbah B3 dihasilkan <50 kg/hari untuk limbah B3 kategori 1
  • 365 hari sejak limbah dihasilkan <50 kg/hari untuk limbah B3 kategori 2 dari sumber tidak spesifik dan spesifik umum
  • 365 hari sejak limbah dihasilkan untuk limbah B3 kategori 2 dari sumber khusus
Syarat untuk dapat melakukan kegiatan penyimpanan limbah B3 adalah:
  • Wajib memiliki izin lingkungan
  • Melakukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota dan melampirkan persyaratan izin (identitas pemohon, akta perusahaan, nama, sumber, karakteristik dan jumlah limbah B3)
Fasilitas penyimpnana limbah B3 dapat berupa:
  • Bangunan, di PLTU ini berupa bangunan khusus untuk menyimpan limbah B3, letaknya dipinggir dari main equipment, tertutup, terbatas akses, diberi tulisan dan tanda yang jelas
  • Tangki/kontainer, di PLTU untuk limbah cair ditaruh dalam wadah kontainer yang kuat, tertutup, terbatas akses, diberi tulisan dan tanda yang jelas
  • Silo, untuk limbah padat seperti fly ash ditempatkan di silo yang langsung terhubung dengan truk kapsul sebelum dibuang ke waste pile
  • Tempat tumpukan limbah (waste pile), di PLTU berupa area luas yang diberi alas agar tidak terjadi resapan limbah padat dan terdapat sumur pantau untuk mengontrol pencemaran lingkungan
  • Waste impoundment
Pemanfaatan limbah B3 meliputi:
  • Sebagai substitusi bahan baku, di PLTU ini digunakan sebagai bahan pembuat batako yang semula menggunakan semen dan pasir, sekarang diganti dengan fly-ash dan bottom-ash yang bagus kandungan silica-nya
  • Sebagai substitusi sumber energi
  • Sebagai bahan baku, di PLTU limbah padat dikirimkan ke pabrik semen untuk campuran silica karena sangat bagus kadar-nya untuk campuran bahan baku semen
  • Sesuai perkembangan IPTEK
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Pengelolaan Limbah B3 Padat dan Cair di PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] PP No 101 Tahun 2012
[2] Feriyanto, Y.E. (2016). Training & Sertfikasi Ahli K3 Kimia. Yogyakarta

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Hubungan Conductivity (EC) dan Total Dissolved Solid (TDS)

Diposting oleh On Sunday, May 30, 2021

Conductivity/Electrical Conductivity (EC) adalah kemampuan larutan dalam menghantarkan arus listrik, hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa hal seperti: konsentrasi dissolved ion, kekuatan ion, dan temperatur pengukuran. EC memiliki satuan µS/cm. 

Total Dissolved Solid (TDS) adalah banyaknya jumlah kandungan padatan terlarut (dissolved ion) pada larutan yang meliputi padatan organik maupun anorganik, memiliki satuan mg/L=ppm atau ppb. 
Apakah antara keduanya terdapat saling hubungan?? secara teori bisa dilakukan pendekatan hubungan antara keduanya. Tentu pendekatan itu didasarkan pada trial percobaan beberapa kali dan menemukan kecenderungan kesamaan. Persamaan umum/hubungan conductivity dan TDS adalah: [Rusydi, 2018]
TDS = k. EC (pada 25 oC)


Hubungan antara conductivity dan TDS tidak selalu linear, bahkan penelitian yang sudah lama dilakukan sampai sekarang masih menggunakan konstanta (k) dalam range dan ini bukan angka mutlak namun hanya pendekatan dari beberapa trial experiment. Nilai konstanta (k) bisa dilihat di tabel diatas dalam range 0.55-0.75.
Berikut percobaan Rusydi (2018):
Berdasarkan percobaan tersebut bisa didapatkan kesimpulan:
  • Nilai konstanta (k) untuk fresh water di 2 tempat berbeda menunjukkan hasil yang berbeda yaitu 0.65 dan 0.89. Sehingga nilai konstanta (k) untuk mencari pendekatan hubungan EC dan TDS bukan mutlak sesuai standar namun harus dicari berdasarkan trial percobaan masing-masing kondisi sampel
Berdasarkan Kurita Handbook of Water Treatment Second Edition (1999), berikut rumus hubungannya:
  • Nilai konstanta (k) yang disarankan dalam rentang 0.7-0.75
Berdasarkan beberapa literatur dan percobaan dari peneliti terdahulu bisa disimpulkan bahwa sebenarnya terdapat hubungan antara EC dan TDS walaupun tidak selalu linear dan nilai konstanta (k) harus dilakukan trial experiment untuk menentukan kedekatnnya.

Di PLTU, conductivity dimonitor ketat meliputi di beberapa titik seperti:
  • Outlet mixed bed, ditujukan untuk menganalisa kemampuan resin dalam ion exchange
  • Outlet condensate, ditujukan untuk menganalisa kebocoran tube condenser
  • Saturated steam, ditujukan unuk menganalisa potensi carry-over steam drum dan potensi korosi di boiler
  • Superheated steam, ditujukan untuk menganalisa kualitas steam yang masuk turbine
Pengujian TDS lebih sulit dan mahal daripada EC, namun memiliki kelebihan keakuratan untuk penentuan kandungan padatan terlarut fase larutan. Teknik yang dipakai untuk mengukur TDS yang valid adalah gravimetri dengan memanaskan larutan diatas sedikit titik didihnya (jika air dipanaskan pada 105-110 oC) sehingga pelarut menguap dan yang tersisa hanya padatan (endapan) yang ditimbang antara sebelum dipanaskan dengan sesudah dipanaskan.

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Hubungan Conductivity (EC) dan Total Dissolved Solid (TDS), Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook
[2] Rusydi, A.F. (2018). Correlation Between Conductivity and Total Dissolved Solid in Various Type of water: A Review. J. of Earth and Environmental Science, Vol. 118
[3] Kurita. (1999). Handbook of Water Treatment, Second Edition. Japan

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Proses Terbentuknya Varnish (Material Tak Larut)-Sludge (Lumpur)-Soot (Jelaga) di Oil Tribology

Diposting oleh On Tuesday, May 25, 2021

Varnish (Jelaga) adalah lapisan tipis ada permukaan material yang disebabkan oleh produk oksidasi pada oli pelumas. Varnish bersifat lengket seperti lumpur pekat tipis yang bisa menyebabkan kegagalan operasional peralatan [Kon et al, 2020]. Varnish berbeda dengan sludge, dimana varnish ini menempel tipis pada permukaan yang dilewati lubricating oil [Sasaki et al, 2013]. Penempelan ini karena sifat polaritas-nya dan menempel pada peralatan dengan temperatur tinggi (bearing turbine, heat exchanger) pada kisaran temperatur 250 o[Prasad et al, 2008], namun terbentuknya pada temperatur rendah karena tingkat kelarutan material menurun seiring penurunan temperatur [Farooq, 2009]

Penempelan ini sebagai akibat tidak terlarutnya residu aditif/organik. Varnish tidak bisa dihilangkan dengan cara filterisasi dan menggunakan cara-cara tertentu seperti berikut: [Farooq, 2009]. 

  1. Chemical cleaning-flushing, berfungsi sebagai aditif pada oli sehingga menghambat pembentukan varnish
  2. Electrostatic charge induced agglomeration-retention, berfungsi sebagai pelunak varnish deposit sehingga mudah larut kembali
  3. Adsorption pada medium adsorbent, berfungsi menghilangkan sifat polaritas dari varnish sehingga tidak mudah lagi menempel

Proses Terbentuknya Varnish: [Farooq, 2009]

  1. Setiap oil turbine pasti membentuk material insoluble (varnish) ketika beroperasi
  2. Laju pembentukan material insoluble sangat dipengaruhi pola operasi seperti oksidasi, hot spot, kontaminasi kimia, filter yang mempengaruhi electrostatic discharge, micro-dieseling dan kompresi adiabatik karena gelembung-gelembung udara masuk ke oli
  3. Oksidasi disebabkan oleh udara atmosfer masuk ke sistem atau degradasi dari aditif dan senyawa hydrocarbon (-CH-) pada oil
  4. Hot spot bisa disebabkan karena kebocoran gland seal steam, (umumnya temperatur steam 450-550 oC)
  5. Gelembung udara bisa berasal dari kebocoran piping/seal pompa dan ketika terikut kompresi maka bisa menambah temperatur oil sampai 1000 oF = 538 oC
  6. Electrostatic discharge bisa ditimbulkan dari gesekan internal antara oil dan material logam seperti filter sehingga menimbulkan sparking

Sludge (lumpur) umumnya terdapat pada peralatan dengan temperatur rendah (botom tank), bisa dihilangkan dengan filterisasi atau drain sedimen. Sludge terbentuk karena adanya kenaikan viskositas pada temperatur tinggi sebagai akibat dari reaksi polycondensation dan polymerisation, yang bersifat tidak larut, memiliki berat molekul yang besar dan terendapkan [Rasberger, 1994]. Proses sesuai diagram berikut:

Sludge pada oil turbine bisa disebabkan oleh reaksi antara hydrocarbon (-CH-) pada oil dengan residu antioxidant (amines, phenolic), defoamer, antirust dan demulsfier (polyester) [Liu et al, 2016]. Anti-Oxidant/Oxidation Inhibitor jenis phenol cocok digunakan untuk temperatur rendah sedangkan amine cocok pada temperatur tinggi [Farooq, 2009]. Semua aditif tersebut dimaksudkan untuk menjaga kualitas oil ketika digunakan seperti oxidation stability, wear, TAN, TBN, varnish dan sludge namun aditif tersebut ada life-time atau batas kelarutan sehingga seiiring meningkatkan operating time bisa menimbulkan residu yang berdampak pada menurunnya kualitas oil. Selain itu, sludge juga bisa terbentuk ketika aditif pada oli ter-ekspose pada temperatur tinggi yaitu 290-540 o[Liu et al, 2016]. 

Pada bearing steam turbine kemungkinan terpapar temperatur tinggi adalah kebocoran seal steam turbine atau hasil gesekan vibrasi bearing turbine yang terlalu tinggi. Sludge bisa dilakukan uji dengan: [Liu et al, 2016] [Farooq, 2009]

  • FTIR, digunakan untuk menganalisis degradasi oil dan pengurangan antioxidant pada oli
  • SEM, digunakan untuk menganalisis surface morfology dari sludge
  • Thermo Gravimetric (TG), untuk menganalisis thermal stability dan thermal degradation pada oli
  • Energy Dispersive Analysis X-ray (EDAX), digunakan untuk mengetahui komponen/element kimia sludge, alat ini diintegrasikan dengan SEM sehingga terkenal dengan nama SEM-EDX atau SEM-EDAX dan dari penelitian Liu et al (2016) didapatkan senyawa kimi pada sludge adalah C, H, O, N dan <4% wt metal 

Proses Degradasi Oil Membentuk Sludge: [Liu et al, 2016]

  1. Reaksi yang terjadi adalah autocatalytic reaction
  2. Oksidasi dan degradasi oil disebabkan oleh kombinasi reaksi antara air dan udara atmosfer pada temperatur tinggi
  3. Proses oksidasi diawali dengan putusnya atom-H pada senyawa hydrocarbon oil (-CH-)
  4. Kemudian diikuti terbentuknya alkyl radical + O2 dan menghasilkan alkyl-peroxyl radical yang kemudian + H(atom hydorcarbon yang tidak bereaksi)
  5. Free radical yang terbentuk tersebut berekasi dengan hydrocarbon radical + (alcohol, aldehyde, keton dan carboxylic acid) oleh polimerisasi kondensasi membentuk SLUDGE
Beberapa Penyebab Sludge or Varnish:
  1. Aerasi pada fluida
  2. Percikan api/listrik (spark)
  3. Degradasi panas saat penyimpanan oil
  4. Kontaminan anti-freeze
  5. Pengumpalan jelaga (soot)
  6. Oksidasi oil
  7. Hydrolisis
  8. Penyimpanan kondisi dingin berkepanjangan
  9. Kontaminan caustic detergent
  10. Oil kontak dengan permukaan panas
  11. Kontaminan radiologi
  12. Efisiensi pembakaran mesin bakar yang rendah
  13. Fuel yang kaya kandungan aromatic
  14. Kontamination sulfation
Soot (jelaga) adalah padatan sebagai produk samping pembakaran dan keberadaanya normal pada motor bakar/diesel engine. Soot (jelaga) ini ada pada sekeliling piston dan keberadaan oli pelumas adalah mengikat soot agar tidak menebal dan gesekan dengan dinding ruang piston.

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Pembahasan Lengkap Varnish (Jelaga) dan Sludge (Lumpur) di Oil Tribology, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:

[1] Kon, T., Honda, T., and Sasaki, A. (2020). Estimation of the Oxidative Deterioration of Turbine Oil Using membrane Patch Color. J. of Advances in Tribology, ID 1708408

[2] Liu, Z., Wang, H., Zhang, L., Sun, D., Cheng, L., and Pang, C. (2016). Composition and degradation of Turbine Oil Sludge. J. Therm Anal Calorim

[3] Rasberger, M. (1994). Oxidative Degradation and Stabilisation of Mineral Oil Based Lubricants. Chemistry and Technology Lubricants, Chapman & Hall

[4] Prasad, R.S., Ryan, H.T., Dell, S., Pheneger, D.D., and Sheets, R.M. (2008). Formation of Deposits from Lubricants in Hign Temperature Applications

[4] Sasaki, A., Aoyama, H., Honda, T, Iwai, Y., and Yong, C.K. (2013). A Study of the Colors of Contamination in Used Oils. Tribology Transactions

[5] Farooq, K. (2009). Varnish Removal and Control in Turbine Lubrication Systems. Proceeding of the ASME 2009 Power Conference. USA

[6] EPRI. (2002). Lube Oil Predictive Maintenance, Handling, and Quality Assurance Guideline

Pengaruh Kesadahan Air (Hardness) dan Alkalinity di Boiler Water

Diposting oleh On Thursday, May 20, 2021

Kesadahan air (hardness water) adalah komposisi air yang mengandung mineral tinggi seperti Ca2+, Mg2+, carbonate, bicarbonate dan sulfat. Juga sebagian kecil dari strontium (Sr) dan barium (Ba) [Frayne, 2002]. Kesadahan ini merugikan jika digunakan untuk operasional misalnya untuk mencuci maka kebutuhan sabun akan lebih ganyak, untuk dimasak maka akan timbul kerak. Di PLTU, parameter hardness water dikendalikan sangat ketat setiap harinya meliputi inlet WTP, outlet CEP dan outlet steam drum. Parameter ini dikendalikan dengan tujuan untuk menentukan strategic planning operasi dan pemeliharaan seperti inlet WTP untuk planning regenerasi resin, outlet CEP untuk analisis kebocoran condenser dan pemeliharaan leak-test half condenser serta outlet steam drum unuk menganalisis potensi pengerakan (slagging) pada boiler-turbine sehingga blowdown harus open cukup besar. Hardness water bisa dilakukan minimalisir seperi yang sudah dijelaskan di artikel: Boiler & Permasalahannya.

Pengalaman ketika menguji dengan XRD pada sampel kerak turbine, ketika terdapat kebocoran condenser yang menggunakan pendingin air sungai maka kandungan dominan adalah silica, diikuti Ca2+ dan Mg2+. Sedangkan jika pendingin air laut adalah Cl-, Na+Ca2+ dan Mg2+. 

BACA JUGA: Analisa Deposit pada Blade Turbine

Alkalinity/alkali/basa adalah golongan IA pada tabel periodik kimia unsur dan juga bisa diartikan sebagai kandungan basa dalam air. Mengapa demikian?? karena basa kuat sendiri adalah jika golongan IA berikatan dengan OH-. Di PLTU kandungan alkali juga dipantau ketat seperti sodium (Na+) dan potassium (K+) dengan metode anion conductivity dan umumnya terletak di superheated steam untuk memantau kelebihan injeksi phospate dan ammonia. Sedangkan cation conductivity/acid conductivity digunakan untuk mendeteksi ion negatif seperti chloride (Cl-), sulphate (SO42-) dan umumnya diletakkan di outlet CEP/condensate dan superheated steam.
Penamaan anion-cation conductivity dan spesific conductivity mengikuti hal berikut:
  • Anion conductivity yang sebenarnya adalah anion exchanged conductivity ---> sampel air dilewatkan resin bed anion exchanger (muatan negative) sehingga muatan ion yang tertangkap dari sampel air adalah positif seperti sodium (Na+) dan potassium (K+)
  • Cation conductivity/Acid conductivity yang sebenarnya adalah cation exchanged conductivity --->  sampel air dilewatkan resin bed cation exchanger (muatan positif) sehingga muatan ion yang tertangkap dari sampel air adalah negatif seperti chloride (Cl-), sulphate (SO42-)
  • Specific conductivity artinya mengukur seluruh ion (positif dan negatif) pada sampel air. Umumnya penyebutan cukup conductivity atau total conductivity

Hardness mengukur potensial pembentukan scale pada jalur yang dilewati air. Terdapat 2 macam pengukuran hardness pada standard asam (carbonat) yaitu: (i) P-alkalinity, untuk indikator titrasi menggunakan phenolphtalein (pH 8.3); (ii) M-alkalinity, untuk indikator titrasi menggunakan methyl orange (pH 3.9).
Hardness bisa diukur sebagai calcium hardness, total hardness (TH) dan alkalinity yang diekspresikan sebagai CaCO3. Kenyataan penyumbang hardness adalah calcium, Ca(HCO3)2 atau magnesium bicarbonate, Mg(HCO3)[Frayne, 2002]. Terdapat 3 klasifikasi hardness water (kesadahan):
  1. Soft water (air lunak), komposisi 40-50 ppm as CaCO3
  2. Medium hardness water, komposisi 50-150 ppm as CaCO3
  3. Hard water (air keras/sadah), komposisi 150-200 ppm as CaCO3

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Pengaruh Kesadahan Air (Hardness) dan Alkali di Boiler Water, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook
[2] Frayne, C. (2002). Boiler Water Treatment Principles and Practice, Vol. 1 dan 2. New York-USA

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Catatan Lengkap Pembakaran Batubara (Coal Combustion) Based Experience di Workshop CFB Boiler

Diposting oleh On Saturday, April 10, 2021

Perkembangan teknologi boiler semakin maju dengan meminimalisir kelemahan untuk mencapai efisiensi dan reliability, berikut skema urutannya:


  • Stoker Boiler
Awal mula bahan bakar (batubara) dengan size cukup besar dipanggang pada rantai berjalan (travelling grate). Pergerakan grate lambat sehingga di-estimasi batubara masuk dan sampai ujung sudah menjadi ash. Dari bawah disemburkan udara (PA Fan) yang berfungsi sebagai cooling grate agar coal tidak menempel (slagging). Teknologi ini disebut stoker boiler dan memiliki efisiensi yang cukup rendah karena kemungkinan coal tidak habis terbakar sampai ujung grate.
  • Bubbling Fluidized Bed (BFB) Boiler
Kelemahan stoker yang tidak habis terbakar disempurnakan kembali dengan membuat bubbling sehingga residence time pembakaran membuat coal terbakar lebih sempurna dan unburned carbon (UBC) terminimalisir. BFB ini cukup menambah udara pembakaran (PA Fan) sehingga coal seolah ter-fluidisasi dalam suatu kolom (furnace). Kelemahannya adalah mudah sekali terjadi penyumbatan pada bottom furnace ketika coal tidak benar-benar bubbling dalam furnace.
  • Circulating Fluidized Bed (CFB) Boiler
Kelemahan BFB disempurnakan kembali menjadi CFB, dimana pada prinsipnya melakukan circulating bed material (coal + sand) sehingga potensi untuk bubbling secara keseluruhan menjadi lebih sempurna dan terhindar dari penyumbatan bottom ash. Fluidisasi pada CFB dibantu dengan udara bakar (PA Fan + SA Fan), kelemahan yang mungkin ada pada CFB adalah potensi abrasi dan erosi. Apakah terdapat perbedaan keduanya?? IYA, abrasi adalah penipisan pada material logam (tube boiler) sedangkan erosi pada non-logam (refractory). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meminimalisir dampak tersebut seperti: pengecekan thickness boiler, inspeksi refractory, analisa ash (bottom + fly), adjust damper PA + SA Fan, adjust size coal, dan pemilihan properties pasir bed material.
  • Pulverized Coal (PC) Boiler
Kelemahan CFB diminimalisir kembali dengan adanya teknologi PC boiler yaitu coal dihaluskan sehingga luas permukaan pembakaran menjadi besar dan diharapkan batubara langsung terbakar habis sekali lewatan umpan. Potensi abrasi dan erosi bisa diminimalisir karena size coal kecil dan tidak membutuhkan pasir namun untuk dampak ke lingkungan cukup besar karena ash solid + gas langsung terbuang sehingga membutuhkan treatment khusus yang cukup mahal seperti adanya Flue Gas Desulfurization (FGD). Selain itu, PC boiler ini membutuhkan auxiliary power yang cukup tinggi karena adanya pulverizer dan peralatan bantu lainnya sehingga secara ekonomis layak untuk PLTU kepasitas besar.
Melihat beberapa kelebihan dan kelemahan tersebut, maka yang secara ekonomi layak digunakan adalah CFB boiler dengan mempertimbangkan beberapa aspek dan pengoptimalan operasi untuk meminimalisir kelemahannya. Terbukti juga banyak pembangkit di Indonesia adalah tipe CFB.
Berdasarkan Basu (2015) sebagai berikut:
Proses Terbakarnya Batubara di Boiler PLTU Mengikuti Skema Berikut: [Basu, 2015]
Berdasarkan grafik tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
  1. Pada temperatur 200 oC, batubara mengalami drying & heating
  2. Pada temperatur 300-800 oC, kandungan volatile batubara mulai terlepas
  3. Pada temperatur >800 oC, terjadi pembakaran sempurna batubara
Prinsip Heat-Transfer pada Boiler PLTU:
  1. Radiasi, coal terbakar dan panas radiasi mengenai tube boiler
  2. Konduksi, tube boiler yang menyerap panas akan merata pada seluruh bagian metal
  3. Konveksi, panas pada metal kemudian terserap oleh feedwater pada inner tube dan merata sepanjang tube (feedwater-saturated-superheated)
Pembagian Zona Heat-Transfer pada Boiler PLTU:
  1. Combustion Zone, area pembakaran batubara di floor furnace dengan temperatur antara 1100-1200 oC
  2. Radiation Zone, area diatas combustion zone yang bercirikan bubbling bed material sudah tidak ada dengan temperatur antara 800-900 oC
  3. Convection Zone, area dimana fase steam (saturated & superheated) berada dengan temperatur sekitar 650 oC
Berdasarkan Basu (2015) di Boiler CFB dijaga pada range 800-900 oC dengan alasan sebagai berikut:
  1. Pada temperatur tersebut sebagian besar fuel ash tidak mengalami fusi
  2. Pengikatan sulphur efektif di kisaran 850 oC
  3. Alkali metal dari coal tidak teruapkan pada kisaran temperatur tersebut
  4. Pada temperatur tersebut, nitrogen tidak membentuk NOx
Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan di Boiler:
  • Boiler PLTU hanya didesain pada 1 tipe coal saja sehingga ketika properties yang masuk berbeda maka akan ada dampak pada operasionalnya sehingga unit PLTU diharapkan memiliki tabel khusus untuk planning operasi ketika ada properties feeding coal maka akan didapatkan beban yang diijinkan untuk dioperasikan
  • Istilah low rank, medium/moderate & high rank coal hanya istilah di marketing penyediaan batu bara saja sedangkan istilah dalam operasional PLTU adalah over-spec atau under-spec coal yang didasarkan pada desain boiler oleh manufacture
  • Berdasarkan prinsip gas ideal, PV=nRT sehingga tekanan (P) berbanding lurus dengan temperatur (T) dan ketika di boiler over-heat maka harus digali adalah penyebab over-pressure. Hal ini bisa disebabkan karena pengaruh PA Fan dan SA Fan sehingga membutuhkan combustion tuning. Hal ini bisa disebabkan juga karena adanya penyumbatan pada air nozzle cap oleh agglomerasi atau adanya fouling di tube boiler
  • Agglomeration pada boiler furnace lebih disebabkan karena berlebihnya feeding coal sedangkan melting karena properties coal itu sendiri yang banyak mengandung Na dan K sehingga menyebabkan titik leleh bed material menjadi turun.
BACA JUGA: Karakteristik Pasir (Bed Sand Material) dan Agglomeration pada Boiler CFB
  • Langkah yang umum dilakukan ketika steam overheating adalah mengaktifkan desuperheater (DSH) menggunakan demineralized water untuk menjaga temperatur steam pada standar Main Steam Temperature (MST). Sedangkan bagian luar yaitu tube boiler tidak terkendali dan tetap overheating sehingga potensi kebocoran mudah terjadi. Hal inilah yang seharusnya menjadi concern juga mengapa tube CFB boiler mudah terjadi leak. Selain itu, jika penggunaan DSH terlalu besar maka MST akan turun dan Main Steam Flow (MSF) turun sehingga langkah umum yang dilakukan operator adalah feeding kembali coal sehingga akan terus menambah temperatur tube boiler sehingga bisa overheating
  • Umpan coal boiler selalu fluktuatif properties-nya dan tergantung juga salah satunya dari jenis penambangannya yaitu: (i) open/ground mining, bertipe lignite cenderung besar kandungan Ca dan Si karena termasuk batubara permukaan yang bersifat lengket, tidak mudah pecah seperti tanah liat; (ii) close/under ground mining, cenderung dominan kandungan S yang bersifat korosif dan CH4 (metana) yang bersifat explosion, termasuk bituminuous & sub-bituminuous yang bersifat brittle mudah pecah. Stock batubara ini bukan ranah O&M pembangkitan melainkan owner sehingga sebagai O&M harus bisa menjelaskan dampak ketika coal properties yang diberikan under-spec dari desain boiler
  • Pembakaran di boiler hanya untuk yang reaksi bersifat eksothermis seperti C menjadi CO2, H menjadi H2O dan S menjadi SO2

Sedangkan N tidak terbakar karena untuk membentuk NOmembutuhkan panas yang sangat tinggi kisaran 1200-1300 oC (sesuai grafik yang diarsir diatas) dan sifat reaksinya adalah endothermis.  NOini di CFB boiler jarang bisa tercapai karena furnace temperature yang hanya berkisar antara 800-900 oC bahkan ketika sampai di convection zone turun sampai 650 oC. Sedangkan Ohanya sebagai pe-reduksi saja unsur yang terkandung pada coal
  • Coal tidak terbakar sempurna atau efisiensi termal rendah salah satunya adalah tingginya moisture content. Rekomendasi yang umum dilakukan adalah drying coal atau menimbun coal di ruang beratap (coal dome), namun perlu diketahui bahwa moisture content ada 2 yaitu: (i) surface content, terletak pada permukaan coal saja; (ii) inherent content, terletak didalam coal
  • CFB boiler cukup efektif dalam pengikatan kandungan SO2 karena didesain ada injector limestone/kapur (CaCO3) namun kebanyakan CFB boiler di Indonesia tidak mengaktifkan injeksi tersebut karena coal yang dipakai mengandung kadar S (sulfur content) yang rendah.
  • Reaksi pembentukan yang terjadi pada pembakaran coal sebagai berikut: S + O2 --> SO2 bersifat eksothermis dan reaksi penguraian kapur sebagai berikut: CaCO3 ---> CaO + CO2 bersifat eksothermis. Ketika CaO berikatan dengan SO2 maka terbentuk gypsum (CaSO4) fase solid yang bisa terbuang lewat bottom ash. Berdasarkan hal tersebut, maka limestone berfungsi ganda selain untuk pengikat gas B3 juga sebagai penyerap panas sehingga boiler furnace tidak overheating
  • Exit flue gas temperature yang dianjurkan adalah 123 oC, karena jika dibawah temperature point tersebut akan terjadi dew-point corrosion yaitu pengkorosian pada ujung Air Pre-Heater (APH) sedangkan untuk diatasnya akan menyumbang kenaikan heat-loss pembakaran. Setiap kenaikan 4 oC akan meningkatkan heat-loss sebesar 5%. Ketika exit flue gas temperature tinggi maka radiasi yang ditransfer ke tube boiler berkurang sehingga mengurangi kalor serap di furnace boiler. Baca detail analisis reaksi di: Shell and Tube APH: Material, Korosi dan Karakteristiknya
  • Potensi abrasi tinggi banyak terjadi di welded tube boiler (level boiler bawah yang mengerucut) sehingga direkomendasikan untuk menambah refractory sampai ketemu diatas level tersebut, dimana tidak ditemukan lagi welded joint tube yang bersentuhan langsung dengan bubbling bed material
  • Urutan batubara terbakar adalah initial heating (pyrolisis/devolatilization/demineralization) yang melepas surface moisture kemudian pelan-pelan coal hancur dan melepas mineral kemudian terbakar terbentuk arang dan abu. 
  • Beberapa Cara Mencegah Agglomeration:
  1. Penambahan aditif kimia
  2. Pre-treatment bahan bakar sebelum masuk boiler
  3. Pemilihan alternatif lain bed material
  4. Blending & mixing coal dengan biomass (co-firing), blending adalah mencampur dengan umpan yang berbeda misalnya coal + cangkang sawit/bahan organik sedangkan mixing adalah pencampuran antara bahan yang bisa menyebabkan hasil berbeda bisa karena reaksi kimia dll, seperti fuel + udara
  • Terdapat kemungkinan kesalahan yang umum terjadi di lapangan ketika pengambilan sampling uji unburned carbon (UBC), umumnya sampel diambil begitu saja dari bottom ash tanpa melakukan seleksi padahal di bottom ash terdapat 2 carbon yaitu:
  1. Unburned coal, karakteristiknya adalah jika dipegang masih keras dan menggumpal
  2. Unburned carbon ash, karakteristiknya adalah lembut karena memang sudah jadi abu
Saran sebaiknya sampel diambil dengan memilah bagian yang terlihat halus namun masih mengandung butir-butir halus. Kesalahan pengambilan sampel ini bisa berakibat nilai UBC sangat tinggi (karena memang unburned coal masih besar nilai C-nya) dan data laboratorium yang dihasilkan kurang valid jika digunakan untuk analisa pembakaran. Letak sampling yang ideal adalah: (i) unburned carbon ash di bottom ash floor furnace; (ii) unburned coal di drain sealpot cyclone
  • Standar baku rasio PA Fan : SA Fan adalah 60 : 40, namun itu untuk properties batubara desain, jika terdapat perbedaan spesifikasi maka hasil combustion tuning-lah yang dipakai
  • Menganalisis kapasitas PA Fan + SA Fan apakah lebih besar (>) atau lebih kecil (<) dengan ID Fan sangat diperlukan untuk menentukan potensi flow fluida apakah over-pressure atau under-pressure
  • Salah satu indikasi overheating boiler adalah bubbling bed material tidak sempurna karena coal size terlalu besar sehingga cenderung berada di floor furnace dan bisa menyebabkan melting % agglomeration.  
  • Agglomeration index lebih disebabkan karena coal yang dipakai adalah low rank (lignite) bersifat lengket seperti tanah liat (clay) sehingga ketika bercampur dengan pasir maka akan terjadi ikatan yang menyebabkan densitas bed material naik sehingga mengganggu bubbling dan jatuh ke floor furnace terbentuklah aglomerasi
  • Overheating juga bisa disebabkan karena pembakaran tidak sempurna karena minimnya excess air (O2). Tujuan dari excess air pada pembakaran di boiler furnace adalah untuk pembakaran sempurna menghasilkan (CO2) dan menghindarkan pembakaran tidak sempurna (CO). Sesuai reaksi:

C + O ---> CO

C + 3/2 O2 ---> CO2

Kebutuhan O2 antara kedua reaksi tersebut berbeda, dimana kebutuhan yang lebih besar adalah untuk menghasilkan CO2 dan inilah tujuan excess air. Mengapa jika menghasilkan CO tidak diinginkan di boiler furnace?? karena dari pembakaran tidak sempurna melanjutkan reaksi menuju sempurna sesuai reaksi: CO+ 1/2 O2 ---> CO2 menghasilkan panas (eksothermis) yang bisa menambah temperatur ruang bakar di zona radiasi (level 2 pada pembagian 3 level boiler yaitu: level 1-combustion, level 2-radiasi, level 3-konveksi) sehingga menyebabkan overheating. Cara mencari excess air dan kebutuhan udara pembakaran sebagai berikut:

  1. Mengetahui komposisi coal dari CoA
  2. Menghitung stoikiometri rasio
  3. Mengetahui total coal flow
  4. Menghitung stoikiometri air flow = stoikiometri rasio x total coal flow
  5. Menghitung excess air = [oksigen terbaca di furnace / (20.9-oksigen terbaca di furnace)] x 100%
  6. Total air flow = [100%+ excess air] x stoikiometri air flow

  • Parameter operasi utama di boiler adalah velocity dan residence time, dimana velocity CFB boiler berkisar ± 6 m/s dan residence time berkisar 1-2 s di radiation zone. Velocity & residence time dihitung hanya antara combustion zone (level 1) sampai radiation zone (level 2), sehingga apabila masih terdapat panas berlebih di convection zone (level 3) maka itu adalah heat-loss karena fase sudah superheated yang tidak memerlukan panas lagi
  • Fluidisasi di CFB boiler ada 2 yaitu: (i) furnace boiler karena adanya PA/SA Fan; (ii) seal pot cyclone karena adanya return fan/seal fan/HP blower
  • Standar asumsi persentase ash di boiler adalah bottom ash : fly ash = 80 : 20
  • Ketika kandungan alkali di CoA bahan bakar >9% maka bisa dipastikan terdapat potensi agglomeration yang besar
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Catatan Lengkap Pembakaran Batubara (Coal Combustion) Based Experience di Workshop CFB Boiler, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2021). Workshop CFB Boiler. Surabaya
[2] Basu, P. (2015). Circulating Fluidized Bed Boiler, Design Operation and Maintenance. Canada

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Batasan Parameter Standard Air Baku PLTU

Diposting oleh On Sunday, March 28, 2021

Aliran proses yang umum ada di PLTU sebagai berikut: 

Air laut-Bak pengendapan/clarifier/sedimentation pond-Multi media filter (MMF)-Desalination (RO/MSF/MED)-Demineralization (mixed bed/single bed)-Condensate Water-Outlet deaerator/lnlet economizer-Boiler water/steam drum-Saturated steam/outlet drum-Superheated steam

  • Bak Pengendapan/Clarifier, berfungsi menurunkan kadar lumpur/suspended solid. Parameter standar umum outlet clarifier adalah:
  1. Turbidity, <5 NTU
  2. Total Suspended Solid (TSS), <10 ppm
  • Multi-Media Filter (MMF)/Activated Carbon/Sand Filter. Parameter standar umum outlet MMF adalah:

    1. Turbidity, <1 NTU
    • Desalination, berfungsi meminimalisir kandungan garam dengan prinsip filter membrane untuk RO dan distilasi untuk MED. Parameter standar umum outlet desalination adalah:
    Inlet SWRO
    1. Turbidity, <1 NTU
    2. Free Chlorine, <100 ppb
    3. Silt Density Index (SDI)<5
    Outlet SWRO
    1. pH, 6-8
    2. Conductivity, <800 µS/cm
    Outlet BWRO
    1. pH, 6-8
    2. Conductivity, <20 µS/cm
    • Demineralization, berfungsi meminimalisir kandungan mineral ion. Parameter standar umum outlet demineralization adalah:
    1. pH, 6-8
    2. Specific Conductivity, <1 µS/cm
    3. Silica (SiO2), <20 ppb
    4. Chloride (Cl-), <100 ppb
    • Condensate Water, air keluaran condenser yang merupakan kondensasi steam turbine menjadi cair. Parameter standar umum outlet condensate water adalah:
    1. pH, 9-9.6 (TD), 8.8-9.3 (AM/BJ)
    2. Conductivity/Specific Conductivity, <11 µS/cm
    3. Cation Conductivity<0.3 µS/cm (PCT)
    4. Chloride (Cl-), <100 ppb
    5. Silica (SiO2), <15 ppb (TD), <20 ppb (BK)
    6. Dissolved Oxygen (DO), <50 ppb
    7. Hardness Water, <1 ppb (air laut), <40 ppb (air sungai)
    8. Iron (Fe), <20 ppb
    • Deaerator/Economizer, deaerator berfungsi menurunkan dissolved gas sebelum masuk boiler, parameternya sama antara outlet deaerator & inlet economizer sebagai berikut:
    1. pH, 9-9.6
    2. Specific Conductivity, <11 µS/cm
    3. Iron (Fe), <30 ppb (TD), <20 ppb (BT)
    4. Hydrazine (N2H4), 10-30 ppb (TD), 30-50 ppb (AM)
    5. DO, <7 ppb
    6. Silica (SiO2), <20 ppb
    • Steam Drum/Boiler Water, air yang sudah dipanaskan dan treatment di steam drum namun masih dalam fase semi liquid-vapor (saturated steam) untuk siklus kembali ke boiler furnace (downcomer steam drum). Parameter standar umum boiler water adalah:
    1. pH, 9.2-10.5
    2. Specific Conductivity, <150 µS/cm (TD), <100 µS/cm (BK), <60 µS/cm (air sungai)
    3. Phospate (PO4), 0.5-3 ppm (TD), 2-10 ppm (BK)
    4. Chloride (Cl-), <2 ppm (TD), <1 ppm (BK)
    5. Silica (SiO2), <2000 ppb (TD), <800 ppb (AM)
    6. Iron (Fe), <250 ppb
    1. pH, 9-9.6
    2. Specific Conductivity, <11 µS/cm (TD), <15 µS/cm (BK)
    3. Silica (SiO2), <20 ppb
    4. Iron (Fe), <20 ppb
    5. Chloride (Cl-), <0.1 ppm
    Penamaan anion-cation conductivity dan spesific conductivity mengikuti hal berikut:
    • Anion conductivity yang sebenarnya adalah anion exchanged conductivity ---> sampel air dilewatkan resin bed anion exchanger (muatan negative) sehingga muatan ion yang tertangkap dari sampel air adalah positif seperti sodium (Na+) dan potassium (K+)
    • Cation conductivity/Acid conductivity yang sebenarnya adalah cation exchanged conductivity --->  sampel air dilewatkan resin bed cation exchanger (muatan positif) sehingga muatan ion yang tertangkap dari sampel air adalah negatif seperti chloride (Cl-), sulphate (SO42-)
    • Specific conductivity artinya mengukur seluruh ion (positif dan negatif) pada sampel air. Umumnya penyebutan cukup conductivity atau total conductivity

    Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website Silakan, KLIK

    Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
    Feriyanto, Y.E. (2021). Batasan Parameter Standard Air Baku PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

    Referensi:
    [1] Feriyanto, Y.E. (2015). Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya

    Unburned Carbon (UBC) Pembakaran Batubara dan Uji Loss On Ignition (LOI)/Hilang Pijar

    Diposting oleh On Saturday, March 06, 2021

    Unburned Carbon/Hydrocarbon (UBC) adalah karbon/bahan bakar yang tidak habis terbakar pada proses pembakaran. Semakin besar nilai UBC maka semakin tidak efisien suatu bahan bakar, karena banyak energi yang masih belum terkonversi. Artikel kali ini difokuskan pada unburned carbon di PLTU, dimana banyak kandungannya pada fly ash-bottom ash (FABA). Nilai unburned carbon yang tinggi tidak bagus untuk efisiensi proses pembakaran dan juga untuk lingkungan seperti bisa menyebabkan polusi groundwater, polusi udara, permasalahan pernafasan.

    Coal ash terbagi menjadi 3 bagian yaitu: slag (kerak), fly ash & bottom ash. Komponen utama fly ash adalah unburned carbon & spherical ash (glass cenosphere, magnetic particle & Si-Al ash) [Xing et al, 2019]

    Unburned Carbon tidak bisa sepenuhnya dihilangkan dan hanya bisa diminimalisir, seperti pada jurnal Gurusingam et al (2017) dilaporkan bahwa pada fly ash kandungan UBC bisa diminimalisir sampai kandungannya menjadi 2-5% dari total %wt fly ash. Xing et al (2019) menuliskan kandungan carbon pada fly ash (UBC) antara 2-12% dengan detail untuk fly ash grade I nilai UBC <5%, berikut kutipannya:

    Berdasarkan handbook Basu (2015), unburned carbon untuk PC boiler sebesar 0.25% sedangkan CFB sebesar 0.5%. Kutipannya sebagai berikut:

    Gurusingam et al (2017) melakukan simulasi pembakaran pada soFtware Computational Fluid Dynamic (CFD) dengan variabel %excess O2 disimpulkan bahwa dengan penambahan 5.2% excess O2 bisa menurunkan 32% ppm unburned carbon. Mengapa %excess Oberpengaruh terhadap UBC???, bisa dibaca detail artikel Feriyanto (2020).

    Proses terbentuknya unburned carbon menurut Xing et al (2019) sebagai berikut:

    Terdapat 3 tahapan yaitu:
    • Drying & Preheating
    Awal mula moisture content coal menguap karena suhu pemanasan yang semakin naik, ini juga diikuti oleh penguapan volatile matter batubara
    • Combustion
    Batubara terbakar melibatkan kontak antara volatile matter + oksigen sehingga terjadi pembakaran awal partikel karbon dan pembakaran sempurna fixed carbon. Fixed carbon inilah yang memberikan energi panas boiler system.
    • Discharging
    Setelah waktu pembakaran berjalan maka ash content terus bertambah & oksigen terus berkurang sehingga mengurangi daya bakar coal dan menyebabkan unburned carbon yang kemudian keluar lewat cerobong. 

    Kandungan pada fly ash sebagai berikut: [Jdrusik and Wierczok, 2011]; [Grochowiak et al, 2004]


    Penambahan kandungan unburned carbon di fly ash boiler dalam uji secara analis setara dengan Loss-on Ignition (LOI) yaitu bahan bakar yang lolos dari pembakaran (tidak terbakar) [David and Kopac, 2017]. Menurut Bjurstrom et al (2014), LOI adalah metode untuk menentukan apakah pembakaran menyisakan residu yang tidak bisa terserap oleh waterwall boiler system (water).
    Berikut langkah-langkah uji LOI atau hilang pijar: [Feriyanto, 2016]
    Peneliti seperti Bjurstrom et al (2014) memaparkan bahwa temperatur untuk uji LOI bisa berbeda-beda tergantung bahan bakar seperti:
    • Biomass (550 oC), alasan biomass dibuat temperatur rendah adalah agar potassium (K) dan chlorine (Cl) tidak dihitung sebagai oxidisable carbon
    • Coal (750 oC)
    • Coal (950 oC)
    Metode yang hampir sama juga terdapat pada jurnal penelitian Yang et al (2020) sebagai berikut:
    Xing et al (2019) menuliskan penyebab umum dari unburned carbon sebagai berikut:
    Unburned carbon terbanyak ada pada fly ash dibandingkan bottom ash. Faktor yang mempengaruhi level UBC di fly ash adalah [1] desain sistem pembakaran, [2] kondisi operasi. Desain pembakaran meliputi: [i] tipe pembakaran, [ii] jumlah burner, [iii] kebutuhan udara/oksigen pembakaran (teknologi pembakaran), [iv] pembakaran sisa, [v] tekanan & temperatur pembakaran, [vi] ketersediaan oksigen, dan [vii] furnace heat loading. Selain itu juga ada pengaruh dari karakteristik batubara seperti coal rank, komposisi coal (volatile matter, moisture content), size batubara, coal car properties, coal mineral matter, coal blending [Xing et al, 2019].
    Nilai Loss On Ignition (LOI)/hilang pijar tergantung pada ash batubara dan jika dirunut maka tergantung pada tipe batubara seperti: [i] lignite ash (LOI 0-5%), [ii] sub-bituminous ash (LOI 0-3%), dan [iii] bituminous ash (LOI 0-15%) [Xing et al, 2019].
    Berdasarkan tabel tersebut terdapat perbedaan untuk kadar LOI berdasarkan tipe boiler yaitu pulverizer fuel (PF), nilai LOI sebesar 0.7-15 dan circulating fluidized bed (CFB), nilai LOI sebesar 2-12.
    Terdapat pendekatan perhitungan dari EPRI "Heat Rate Improvement" berikut kutipannya:
    Beberapa penyebab tingginya unburned carbon (UBC) di PLTU adalah:
    • Kurangnya excess air, hal ini berdampak pada pembakaran yang tidak sempurna pada hydrocarbon (batubara) sehingga masih meninggalkan carbon yang tidak habis terbakar
    • Sistem mixing antara bahan bakar dan udara yang kurang optimal di furnace, hal ini bisa karena letak inlet udara bakar atau besarnya bukaan damper (PA/SA Fan) yang kurang pas sehingga harus dilakukan combustion tuning
    • Untuk tipe boiler PF bisa karena setting size pulverizer yang tidak standar,  sehingga batubara yang berukuran terlalu besar tidak habis terbakar sampai waktu pembakarannya habis
    Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
    Feriyanto, Y.E. (2021). Unburned Carbon (UBC) Pembakaran Batubara dan Uji Loss On Ignition (LOI)/Hilang Pijar, Best Practice Expereince in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

    Referensi:

    [1] Feriyanto, Y.E. (2020). Prinsip Pembakaran Hydrocarbon untuk Mencapai Efisiensi Tinggi di PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

    [2] Feriyanto, Y.E. (2016). Uji dan Analisa LOI/Hilang Pijar pada Bed Sand CFB, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya

    [3] Gurusingam, P., Ismail, F.B., Gumnasegaran, P., and Sundaram, T. (2017). Intelligent Monitoring System of Unburned Carbon of Fly Ash for Coal Fired Power Plant Boiler. MATEC Web of Conferences, Vol 131-02003

    [4] Jdrusik, M and Wierczok, A. (2011). The Influence of UBC Particles on ESP Collection Effieciency. J. of Physics, Vo. 301, 012009

    [5] David, E., and Kopac, J. (2017). Functional Carbon Structures Derived from UBC Contained in Fly Ash. Material Today:Proceeedings, Vol. 7, 817-827

    [6] Yang, Z., Chang, G., Xia, Y., He, Q., Zeng, H, Xing, Y., and Gui, X. (2020). Utilization of Waste Cooking Oil for Highly Efficient Recovery of  Unburned Carbon from Coal Fly Ash. J. of. Cleaner Production

    [7] Xing, Y., Guo, F., Xu, M., Gui, X., Li, H., Li, G., Xia, Y., and Han, H. (2019). Separation of Unburned Carbon from Coal Fly Ash: A Review. J. of Powder Technology, Vol. 353, pp. 372-384

    [8] Bjurstrom, H., Lind, B., and Lagerkvist, A. (2014). Unburned Carbon in Combustion Residues from Solid Biofuels. J. of Fuel, Vol. 117, pp. 890-899

    [9] Grochowiak, K.S., Golas, J., Jankowski, H., and Kozinski, S. (2004). Characterization of the Coal Fly Ash for the Purposes of Improvement of Industrial On-Line Measurement of Unburned Carbon Content. J. of Fuel, Vol. 83, pp. 1847-1853

    [10] Basu, P. (2015). Circulating Fluidized Bed Boiler, Design, Operation and Maintenance. Canada

    Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

    Karakteristik Pasir (Bed Sand Material) dan Agglomeration pada Boiler CFB

    Diposting oleh On Monday, February 22, 2021

    Pada boiler tipe CFB, pasir memiliki peranan yang vital dalam pembakaran. Namun melangkah sejauh ini penulis di bidang enjiniring pembangkitan sering menemui dan mengkaji RCFA tentang pengaruh pasir terhadap agglomeration, abrasion, corrosion dan fluktuatif temperatur operasi boiler. Pada dasarnya pasir (bed sand) boiler CFB yang direkomendasikan adalah yang tahan terhadap temperatur tinggi pembakaran (operasi boiler CFB umumnya di rentang 850-900 oC), sehingga pasir harus memiliki melting point diatas itu. Penulis juga pernah melakukan uji beberapa karakteristik pasir menggunakan teknologi X-ray Diffraction (XRD) sebagai berikut:


    Dengan menggunakan metide spectrofotometri AAS didapatkan sebagai berikut:

    Dari pengujian tersebut bisa diketahui bahwa komposisi dominan pasir adalah: silica (SiO2) kemudian diikuti komposisi kecil seperti alumunium oxide (Al2O3), Fe2O3 dan CaO. Silica memiliki melting point yang cukup tinggi yaitu 1450 oC. sehingga ketika digunakan pada pembakaran di boiler CFB aman dari potensi agglomerasi. Parameter lain yang harus juga dilihat adalah size dan hardness pasir, dimana size disesuaikan dengan standar dari manual book umumnya yang pernah penulis temukan adalah 0-1 mm. Hardness inline dengan kadar silica dalam pasir, dimana jika terlalu tinggi maka pasir sangat keras dan bersifat abbrasive terhadap refractory dan tube boiler. Pada boiler CFB, size yang terlalu besar kurang bagus karena sulit untuk bubbling sehingga potensi high temperature pada bottom boiler bisa terjadi dan juga tidak bagus jika terlalu kecil karena akan mudah sekali terhembus udara dan menuju ke cyclone akibatnya akan high temperature pada upper boiler.

    BACA JUGA: Macam-Macam Boiler PLTU

    Selain permasalahan diatas, terdapat hal yang cukup sering terjadi dan vital berpengaruh pada operasional di pembangkitan yaitu agglomerasi/penggumpalan pada bottom boiler/bottom ash. Untuk permasalahan ini harus dilihat secara overall fuel system yang terlibat di boiler CFB seperti batubara, pasir dan limestone (optional). Bottom ash adalah sisa pembakaran boiler yang terletak di dasar dan secara periodik dilakukan drain bottom ash untuk membuang fuel system yang tidak habis terbakar. Mengapa terdapat bottom ash?? di setiap proses pembakaran yang melibatkan macam-macam fuel system pasti tidak 100% terkonversi menjadi energi dan umumnya 75-85% saja sudah sangat bagus sehingga terdapat sisa fuel system yang tidak habis terbakar seperti batu, kerikil, batubara keras, tanah atau lapisan atas dari batubara tipe low rank coal dan materi unburned carbon lainnya. Komposisi batubara bisa dilihat di artikel berikut: Certificate of Analysis (CoA) Batubara Uji Laboratorium
    Pada CoA batubara yang berpengaruh besar terhadap agglomerasi adalah kandungan alkali seperti K2O dan Na2O. Agglomerasi dibedakan menjadi 2 yaitu: [Mettanant et al, 2009]
    1. Defluidization & Sintering Induced Agglomeration, dipengaruhi karena terhambatnya proses fluidisasi di bed furnace bisa disebabkan karena water content pada fuel atau tekanan udara yang kurang. Hal ini mengakibatkan overheating pada spot bottom boiler sehingga tercapai melting point temperature bahkan diatas titik leleh fuel system misalnya saja potassium salt meleleh pada 754 oC [Basu, 2006]. Sintering adalah ikatan kimia sementara antara partikel yang disebabkan oleh difusi molekular pada interface partikel dan HANYA TERJADI ketika temperatur diatas temperatur penggumpalan mula bed partikel yang digunakan [Siegell, 1976].

    2. Melt Induced Agglomeration, terjadi karena kandungan kimia pada fuel system mencapai melting point-nya sehingga terjadi penggumpalan pada bottom boiler. Basu (2006) pernah melakukan eksperimen sebagai berikut:
    Produk dari reaksi silica + alkali berupa eutectic mixture of silicate memiliki melting point 874 oC, sehingga ketika boiler furnace dioperasikan pada max 900 oC memiliki potensi untuk agglomerasi ketika batubara memiliki kandungan alkali yang besar (K2O dan Na2O). Umumnya untuk umpan batubara kecil kemungkinan terjadi namun tidak untuk biomass.
    Hulkkonen et al (2003) melakukan publikasi untuk menentukan potensi agglomerasi suatu fuel system yang dinamakan "Agglomeration Index" seperti berikut:
    Diketahui bahwa Gol IA-Alkali (K, Na) adalah PENYEBAB aglomerasi sedangkan Gol IIA-Alkali Tanah (Ca, Mg) adalah PENCEGAH aglomerasi. Berikut alternatif yang bisa digunakan untuk menghindari agglomerasi:
    Bisa ditarik kesimpulan bahwa penggunaan pasir efektif untuk menghindari agglomerasi adalah yang dominan kandungan alumina ore/bauxite dan juga manganese ore. Sedangkan jika pasir yang dominan adalah silica/quartz maka bisa ditambahkan dolomite atau batu kapur. Namun juga terdapat pertimbangan, mengapa boiler CFB yang beroperasi di Indonesia kebanyakan tidak memakai umpan limestone/batu kapur ?? karena umpan batubara yang dipakai kebanyakan adalah tipe rendah/low rank coal, dimana ini adalah batubara muda yang letaknya paling atas sehingga masih bersentuhan dengan tanah dan kapur sehingga kandungan kapur masih cukup tinggi.

    Penulis pernah melakukan uji bottom ash menggunakan XRD sebagai berikut: [Feriyanto, 2020]

    Analisa:
    • Kandungan silica (SiO2) adalah chemical utama pada pasir dan normal ada di bottom ash dengan %komposisi tersebut
    • Al2O3 bisa berasal dari batubara + pasir, dengan tidak ada dampak penyebab agglomerasi pada pembakaran di furnace [Mettanant et al, 2009].

    • NaAlSi2O6 adalah senyawa kompleks yang merupakan gabungan antara Na + Al + 2 SiO2 + O2 . Ketika semua unsur bereaksi yaitu silica (SiO2) + alkali (Na/K) maka akan terbentuk eutectic mixture of silicate (NaSiO2) dan berdasarkan uji XRD ini terjadi di sampel tersebut. Tipe agglomerasi yang terbentuk adalah "melt-induced" yang terjadi pada temperatur tinggi >874 oC [Mettanant et al, 2009].

    Rekomendasi:

    • Menambahkan serbuk batu kapur (CaCO3) atau dolomit (CaO-MgO) pada proses pembakaran di furnace boiler. Ini berfungsi sebagai penghambat terbentuknya agglomerasi [Mettanant et al, 2009].

    • Mengatur pola operasi dengan menjaga temperatur bed furnace <874 oC (berdasarkan hasil uji XRD bottom ash boiler). Hal ini karena alkali silicate (Na/K + SiO2) memiliki titik leleh yang rendah yaitu NaSiO2 pada 874 oC dan KSiO2 pada 754 oC [Basu, 2006].
    • Untuk kejadian ini dimungkinkan terjadi melt-induced agglomeration karena ditemukan senyawa eutectic mixture of silicate (NaSiO2) pada bottom ash
    Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
    Feriyanto, Y.E. (2020). Karakteristik Pasir (Bed Sand Material) dan Agglomeration pada Boiler CFB, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

    Referensi:
    [1] Feriyanto, Y.E. (2020). Uji Laboratoium Bottom Ash Using XRD, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
    [2] Feriyanto, Y.E. (2020). Certificate of Analysis (CoA) Batubara Uji laboratorium, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
    [3] Mettanant, V., Basu, P., and Butler, J. (2009). Agglomeration of Biomass Fired Fluidized Bed Gasifier and Combustor. J. of Chem. Eng, Vol. 87

    Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI