Berikut perhitungan Maximum Allowable Working Pressure (MAWP) untuk macam-macam bentuk peralatan dan tipe failure:
Bentuk Cylinder Shell (badan tabung tutup datar) dengan 2 failure yaitu: (i) stress melingkar/sambungan longitudinal; (ii) stress longitudinal/sambungan melingkar
Bentuk Spherical Shell (badan bundar) atau hemispherical head (bagian atas kubah setengah bundar)
Bentuk Elliptical Head (bagian atas kubah ellips)
Bentuk Torispherical Head
Bentuk Conical Shell (badan kerucut)
Rumus Perhitungan Remaining Life:
Rumus Long-Term (LT) Corrosion Rate
Rumus Short-Term (ST) Corrosion Rate
Contoh Aplikasi Perhitungan:
Referensi:
[1] API 510. (2003). Pressure Vessel Inspection Code: Maintenance Inspection, Rating, Repair, and Alteration
[2] API 570. (2006). Inspection, Repair, Alteration, and Rerating of In-Service Piping Systems
Material tembaga (Cu) memiliki sifat properties yang baik sebagai heat-exchanger
seperti thermal conductivity yang sangat baik dibawah silver/perak
(Ag). Material Cu based yang umumnya dikenal di lapangan seperti brass/kuningan
(CuZn-Al) atau bronze/perunggu (CuSn) dan di PLTU penggunaan material
Cu banyak digunakan di heat-exchanger seperti condenser, oil cooler, radiator dan lain-lain
dimana fluida yang mengalir didesain air sungai atau air demineralisasi
dengan sifat low conductivity dan tidak korosif. Pertimbangan pemakaian
material Cu based ini dibandingkan lainnya, dimana pada umumnya tube
condenser PLTU terbuat dari titanium (Ti) adalah karena material Cu memiliki thermal conductivity
yang tinggi sehingga transfer panas lebih maksimal (efisiensi pertukaran panas
tinggi), dengan dimensi yang minim (size dan jumlah) maka bisa sebanding
dengan material lain dengan desain size dan jumlah yang besar. Dari
beberapa kelebihan tersebut, juga terdapat kelemahan dari material Cu based
seperti tidak tahan korosif (pH, air laut/salinitas), mudah leaching
lapisan Cu2O oleh larutan ammonia (NH3), amine (NH2)dan nitrate
(NO2), tidak tahan abrasif karena low strength dan
low hardness. (Schweitzer, 2010)
Berikut
kutipan dari handbookSchweitzer
(2010) sebagai berikut:
Berdasarkan Revie & Uhlig (2008) berikut kutipannya:
Berdasarkan grafik
tersebut bisa diketahui bahwa semakin lama material brass terpapar ammonia
(NH3) maka sifat properties stress akan menurun yang
menandakan material bersifat getas/rapuh sehingga mudah cracking yang
disebut dengan Stress Corrosion Cracking (SCC).)
Berdasarkan Revie
& Uhlig (2008), ammonia yang ada pada condensate
PLTU pada umumnya merupakan hasil reaksi hydrazine (oxygen scavenger
chemical) yang bisa terjadi pada 2 tahap yaitu:
Reaksi LAMBAT pada
suhu 175 oC
Reaksi CEPAT pada
suhu 300 oC
Berikut
reaksinya:
3 N2H4 +
O2 ---> N2 + 2 H2O
3 N2H4 --->
N2 + 4 NH3
Ammonia (NH3) sangat dihindari untuk
penggunaan material Cu based dan terdapat 2 substitusi oxygen scavenger
yang bisa memberikan protective film pada iron (Fe) dan copper (Cu) yaitu:
(Revie & Uhlig, 2008)
SSCC pada brass
bisa diminimalisir dengan 4 prosedur sebagai berikut: (Revie & Uhlig,
2008)
Stress-Relief Heat Treatment
Menjauhi kontak dengan ammonia (NH3)
yang juga didukung dengan dissolved oxygen (DO) yang cukup tinggi
karena kehadirannya sedikit saja bisa menyebabkan cracking
Menambahkan cathodic protection.
Menggunakan inhibitor H2S
Terdapat kelayakan
operasi untuk tipe material Cu based terhadap fluida yang
mengalir melewatinya, seperti:(Revie & Uhlig, 2008)
Fresh water, tipe pure copper (Cu) dan admiralty.
Brackish/payau dan sea water/air laut,
tipe admiralty, cupro-nickel, alumunium brass.
Pollutant water/mengandung TDS tinggi/kontaminan
kimia tinggi, tipe cupro-nickel.
Alumunium Brass
(CuZn-Al)
cocok ketika full sea water dan jika mengandung pollutant water
maka mudah sekali pitting, material ini cocok untuk debit air
yang tinggi.
Tipe cupro/cupper-nickel
ada 2 yang umum dipakai yaitu: (Revie & Uhlig, 2008)
30% Ni-70% Cu, sifat properties ini lebih
tahan terhadap SCC daripada 10-20% Ni-Cu atau CuZn-Al (brass).
Berarti menandakan kandungan nikel (Ni) yang membuat alloy menjadi
tahan korosi
10-20% Ni-90% Cu
Berdasarkan Ahmad
(2006) berikut kutipannya:
Terdapat 4 tipe
SCC yaitu: (Ahmad, 2006)
1.Chloride SCC, disebabkan oleh hadirnya salinitas air laut/garam yang
didukung dengan oksigen cukup pada temperatur tinggi
2.Caustic SCC, disebabkan oleh kondisi basa (pH tinggi)
3.Sulphide SCC, disebabkan oleh kontaminan hydrogen sulphide (H2S)
4.Seasonal Cracking, ini istilah yang umum digunakan oleh SCC di brass/kuningan/CuZn-Al/Cu
based karena cemaran ammonia (NH3)
Berikut senyawa kimia yang
bisa menyababkan material Cu based mengalami SCC: (Ahmad, 2006) (Caesarvery,
2021)
·Ammonia (NH3), kehadirannya melarutkan protective layer material
Cu based yaitu Cu2O dan terlebih ketika terdapat dissolved
oxygen (DO) maka ammonia sangat merusak (destructive)
permukaan Cu yang bisa memperparah SCC
·Hydrogen sulphide (H2S)
·SO2yang didukung moisture (basah) sehingga mudah terbentuk SO3 dan
H2SO4
·Asam Nitrat (HNO3)
·Amine (NH2)
Berdasarkan handbookRevie (2011) berikut kutipannya:
Berdasarkan Revie
(2011) tersebut didapatkan informasi bahwa ammonia (NH3)
yang berasal dari dekomposisi hydrazine (N2H4)
mempercepat korosi pada Cu alloy. Ketahanan material Cu alloy
contohnya brass/kuningan (CuZn) terhadap SCC pada range pH 7.3-11.3.
Terdapat 3 faktor
utama yang menyebabkan ammonia (NH3) mengalami SCC pada
material Cu alloy: (Revie, 2011) (Caesarvery, 2021)
Korosi pada lapisan film (Cu2O)
yang mengurangi fungsi anodik
Terlarutnya Zn anodic pada grain
boundaries
Stabilisasi dari valensi Cu
Berdasarkan handbookRevie
(2011) tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
Penambahan 5-40% nickel (Ni) meningkatkan mechanical
properties seiring peningkatan temperatur seperti tahan korosi pada
lingkungan brackish/payau dan sea water/air laut
Cupro/Cupper-Nickel (CuNi) lebih stabil daripada brass/kuningan (CuZn) pada
aliran yang mengalir dan SCC. CuNi lebih baik daripada CuZn pada polllutant
water
Penambahan unsur iron/besi (Fe) pada CuNi membentuk
pembentukan protective layer untuk menciptakan ketahanan terhadap air
laut
Copper tidak cocok digunakan untuk aliran
yang mengalir kencang karena bersifat low hardness dan low
strength
60 Cu-40 Zn (kuningan) cocok
digunakan untuk operasi temperatur rendah dengan fluida air sungai,
danau dan tanah. CuZn tahan terhadap hydrogen sulphide (H2S).
Penambahan unsur timbal/lead (Pb) cocok digunakan untuk HE/condenser
yang berpendingin air laut/sea water
Penambahan unsur Al pada brass/kuningan/76
Cu-22 Zn-2 Al membantu pembentukan protective layer untuk
ketahanan terhadap mechanical destructive (abrasif). Penambahan
unsur arsenik (As) digunakan untuk membuat ketahanan brass pada
pollutant water, brackish dan sea water
Berdasarkan Standard
EPRI (2004) sebagai berikut:
Berdasarkan Standar EPRI
(2004) didapatkan informasi sebagai berikut:
Hydrazine (N2H4) tepatnya digunakan tanpa aditif
atau ketika ada maka digunakan amine
Aplikasi hydrazine dijaga pada range pH 8.5-9.6 untuk cupper
alloy dan untuk all-ferrous alloy 8.5-10.5
pH control bisa menggunakan sodium hydroxide (NaOH) untuk material all-ferrous
namun untuk cupper alloy digunakan azoles untuk corrosion
protection. Macam-macam azoles sebagai berikut:
1.Tolyltriazole (TTA)
2.Benzotriazole (BZT)
3.Mercaptobenzothiazole (MBT)
Berdasarkan Standard EPRI (1985) sebagai berikut:
Berdasarkan Standard EPRI (2001) sebagai berikut:
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2022). Analisa Ketahanan Material Cu Based (Brass-CuZn atau CuZnAl). Properties, Korosi dan Material Substitusi. www.caesarvery.com
Referensi:
[1] Revie, R.W., and Uhlig, H.H. (2008). Handbook Corrosion and Corrosion Control, An Intoroduction to Corrosion Science and Engineering. Fourth Edition, John Wiley & Sons
[2] Revie, R.W. (2011). Handbook Uhlig's Corrosion, Third Edition. John Willey & Sons
[3] Ahmad, Z. (2006). Handbook Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Elsevier
[4] Schweitzer, P.A. (2010). Handbook of Fundamentals of Corrosion Mechanisms, Causes, and Preventative Methods. CRC Press. London & New York
[5] EPRI. (2004). Closed Cooling Water Chemistry Guideline
Material konstruksi yang umumnya kita temui seperti jembatan, tiang listrik, rangka bangunan, peralatan di industri/PLTU dan masih banyak lagi lainnya pada umumnya adalah iron-steel (FeC) atau baja carbon atau carbon steel. Pada proses casting-nya material tersebut ditambahkan sedikit aditif unsur untuk memperbaiki sifat properties-nya. Detail bisa dibaca di: Mechanical Properties Unsur Logam (Metallurgy).
Proses korosi pada besi terjadi karena pada larutan yang bersifat anodik (sebagai tanda nilai bilangan oksidasi besi mengalami kenaikan) terdapat reaksi pelepasan elektron (kodrat semua unsur untuk mencapai keadaan stabil/mencari peasangan), berikut reaksinya: (Revie and Uhlig, 2008)
Fe ---> Fe2+ + 2e
Area yang anodik tersebut bisa dihambat dengan adanya anoda tumbal (sacrificial anode) atau injeksi arus (impressed current) sehingga besi sebagai material dasar digantikan fungsi anoda-nya oleh logam yang mudah teroksidasi (reduktor kuat) atau aliran elektron digantikan oleh fungsi injeksi arus sehingga tidak ada elektron yang hilang dari besi.
Sedangkan area cathodic (sebagai tanda terdapat pengurangan bilangan oksidasi), ditempati oleh media yang bisa menghantarkan arus elektron seperti kelembapan/air/elektrolit. Berikut reaksinya:
H+ + e ---> ½ H2
Reaksi katodik (reduksi) dipercepat pada pH asam dan diperlambat pada pH basa atau netral. Cathodic reaction juga bisa dipercepat dengan adanya dissolved oxygen (DO) yang dikenal dengan istilah "Depolarization" seperti reaksi berikut:
2 H+ + ½ O2 + 2e---> H2O
Dengan adanya pendukung lingkungan yang lengkap seperti moisture dan oxygen atmosfer maka permukaan besi akan bereaksi sebagai berikut:
Fe + H2O + ½ O2 ---> Fe(OH)2
Warna Fe(OH)2adalah putih dan terkadang juga berwarna hijau atau hijau kehitaman yang disebabkan reaksi oksidasi lanjutan dengan oxygen. Fe(OH)2ini masih belum tergolong karat masih sedimen/deposit pengotor permukaan iron. Ketika masih terdapat moisture dan excess oxygen maka akan lanjut bereaksi sebagai berikut:
Fe(OH)2
+ ½ H2O + ¼ O2 --->
Fe(OH)3
Warna Fe(OH)3
adalah orange atau merah kecoklat-coklatan yang sudah tergolong karat (rust) dan lebih lanjut tergolong menjadi 2 yaitu non-magnetic disebut hematite (Fe2O3) warna kemerahan dan magnetic (Fe3O4) warna kehitaman. Detail bisa dbaca di: Analisa kerak (Scale & Deposit) pada Boiler Turbine Condenser
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2022). Proses Korosi pada Iron-Steel atau Carbon Steel atau Besi Baja yang Umumnya pada Material Konstruksi. www.caesarvery.com
Referensi:
[1] Revie, R.W., and Uhlig, H.H. (2008). Handbook Corrosion and Corrosion Control, An Intoroduction to Corrosion Science and Engineering. Fourth Edition, John Wiley & Sons
Transformator merupakan komponen vital dalam industri kelistrikan dan hampir semua industri memiliki trafo untuk mengatur tegangan. Dari bidang kimia terdapat beberapa uji dalam predictive maintenance (PdM) yang secara rutin dilakukan seperti uji Dissolved gas Analysis (DGA) atau gas terlarut, Break Down Voltage (BDV) atau tegangan tembus dan Furan atau senyawa aromatik. Dari 3 uji kimia tersebut, terdapat kesinambungan dan keterkaitan analisa yang bisa digunakan untuk judgment assesment, treatment atau overhaul trafo yang bisa digunakan oleh bidang elektrik melakukan tindakan lebih lanjut.
Transformator sendiri terdiri dari beberapa bagian penting, bisa dibaca di artikel: Bagian-Bagian dari Trafo Arus Kuat 3 Fase. Bagian yang akan menjadi perhatian khusus pada 3 uji kimia adalah oli, insulation paper selulosa, silica gel, fan/radiator dan konservator. Berikut penjelasan terkait hubungan antara 3 uji kimia di trafo:
Uji DGA digunakan untuk mengetahui detail AKIBAT yang ditimbulkan oleh pemanasan oil trafo dengan indikator pembacaan DGA adalah: (i) senyawa hydrocarbon rantai 1 (alkana), rantai 2 (alkena) dan rantai 3 (alkuna) sebagai akibat degradasi/pemutusan ikatan rantai hydrocarbon karena pemanasan, detai bisa dibaca di: Proses Pembentukan Gas-Gas Terlarut di Minyak Trafo; (ii) senyawa CO dan CO2 sebagai indikator degradasi selulosa paper yang berbahan dasar nabati/bubur kertas; (iii) senyawa H2Osebagai indikator reaksi samping pembentukan gas hydrocarbon hasil degradasi oil trafo atau reaksi oil trafo dengan udara atmosfer. Nilai DGA semakin rendah semakin baik dan judgment awal ketika hasil DGA abnormal adalah purifikasi oil untuk meminimalisir gas hydrocarbon, karena gas ini mudah terbakar dan bisa menyebabkan trafo meledak.
Uji BDV digunakan untuk mengetahui SEBAB mengapa gas hydrocarbon, CO dan CO2 bisa muncul yang mengindikasikan fungsi oil trafo sebagai insulation sudah menurun. Perlu diketahui bahwa fungsi oil trafo sebagai berikut: (i) peredam panas/pendingin; (ii) isolasi antar bagian dalam trafo; (iii) peredam getaran medan magnet; dan (iv) pelumas khususnya On Load Tap Changer (OLTC). Ketika fungsi oil tersebut berkurang maka tegangan bisa tembus (SEBAB) yang mengakibatkan overheating pada oil terjadi dan terbentuklah gas hydrocarbon diawal (AKIBAT 1) dan kemudian perlahan selulosa paper terdegradasi (AKIBAT 2). Nilai BDV semakin tinggi semakin baik dengan artian oil tidak mudah ditembus oleh tegangan. Judgment individu ketika hanya uji BDV abnormal tanpa DGA adalah melakukan purifikasi dengan harapan bahwa nilai BDV rendah karena kontaminan seperti air sedangkan judgment ketika abnormal uji untuk BDV + DGA adalah purifikasi disertai make-up oil atau mengganti beberapa %volume oil. Ketika rekomendasi tersebut belum membuahkan hasil (artian kualitas oil tetap buruk) maka harus melakukan uji furan
Ketika 2 uji kimia meng-konfirmasi ketidaknormalan maka judgment awal adalah fungsi oil sebagai insulation menurun sehingga mengakibatkan overehating didalam trafo yang siiring berjalannya waktu akan mengikis selulosa paper.
Furan test digunakan di akhir sebagai konfirmasi, apakah dengan adanya fungsi oil yang menurun tadi sudah memperparah selulosa paper rusak. Furan menghasilkan beberapa senyawa aromatik yang menyusun selulosa/bubur kertas sehingga dengan mengetahui kuantitas senyawa pada oil bisa digunakan untuk mengetahui tingkat degradasi yang terjadi. Furan inilah judgment akhir untuk memutuskan apakah oil trafo perlu diganti atau tidak bahkan bisa digunakan untuk replace trafo.
Tugas bidang kimia sudah selesai dengan output memberikan rekomendasi yang segera bisa dilakukan oleh bidang elektrik. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh bidang elektrik:
Preventive Maintenance (PM) rutin thermography pada peralatan kabel RST, oil tank, trafo, dan fan/radiator
Melakukan pengecekan arus terminal
Semeriksa setting running fan/radiator
Memeriksa warna silica gel
Purifikasi oil, bila perlu make-up oil yang lebih baik dilakukan ketika online daripada offline hal ini terkait sifat gas itu sendiri yang bersifat mengisi ruang. Ketika online berarti pertumbuhan gas terus-menerus bertambah dan homogenisasi tercapai sehingga diharapkan ketika purifikasi selesai maka baseline kualitas oil adalah benar-benar baik
Ketika rekomendasi bertepatan dengan overhaul dan trafo offline maka bisa melakukan asesment secara menyeluruh seperti: (i) TAN DELTA digunakan untuk menguji kondisi isolasi trafo; (ii) SFRA (Sweep Frequency Response Analysis) untuk mengevaluasi mechanical integrity/ada tidaknya perubahan struktur mekanik peralatan; (iii) DIRANA (Dielectric Response Analysis) untuk memprediksi kondisi isolasi seperti oil conductivity dan kadar moisture pada selulosa paper; (iv) Pengecekan relay Bucholz; (v) Pengujian grounding dll
Berdasarkan data-data ini bisa disimpulkan bahwa terdapat hubungan/keterkaitan pada beberapa uji oil trafo dan itu merupakan sequence. Bidang-bidang yang saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri juga menjadi faktor keberhasilan menyehatkan trafo, dimana umumnya yang ditemui untuk asesment trafo adalah bidang elektrik saja padahal didalamnya ada peran bidang kimia dalam analisis mendalam tentang root-cause failure analysis (RCFA) yang menghasilkan beberapa rekomendasi.
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Hubungan/Keterkaitan Dalam Uji Oil Transformer/Trafo Meliputi DGA-BDV-Furan, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya
Oil Lubricating (pelumas oli) memiliki peran vital dalam melumasi antar 2 permukaan yang bergesekan. Berikut peran oil lubricating:
Pelumas, peminimalisir gesekan & keausan
Pendingin, penyalur panas keluar dari komponen yang bergesekan
Pembersih, pembilas ruang yang bergesekan dari kotoran seperti carbon, sludge & varnish
Pelindung, pencegah kerusakan material akibat oksidasi dan korosi
Pemindah tenaga & panas
Perapat, pencegah kebocoran
Pada oli selain base oil (kandungan utama mineral/sintetik/hewani/nabati) juga terdapat aditif/additive yang berfungsi meningkatkan performa oli sebagai pelumasan. Berikut macam-macam chemical additive pada oli:
Anti Wear, berfungsi mencegah terkikisnya material yang bergesekan, memberikan lapisan film pelindung yang cukup tebal dan melicinkan sehingga gesekan terminimalisir
Anti-Corrosion, berfungsi mencegah terjadinya korosi pada material yang dilewati pelumasan, karena oli mengandug asam & basa serta pengaruh oksidasi yang kondisi tersebut bisa menyebabkan korosi pada material
Anti-Oxidant, berfungsi mencegah terjadinya oksidasi antara oil dengan udara atmosfer
Anti-Foam, berfungsi mencegah terjadinya pembusaan pada oil yang bersifat merugikan karena mengganggu pelumasan dan sirkulasi oil
Anti-Acid, berfungsi mencegah terjadinya reaksi pembentukan asam yang merugikan peralatan
Detergent, berfungsi membilas ruang yang dilewati pelumasan dari kontaminan/kotoran
Anti-Dispersant, berfungsi mengikat kontaminan tak larut bisa berikatan dengan oli
Anti-Depresant/Pour Point, berfungsi mencegah oli membeku pada temperatur rendah dan tetap mengalir pada kondisi tersebut
Viscosity Improver, berfungsi mejaga kestabilan viskositas yang diakibatkan kontaminan atau mengurangi laju perubahan viskosits akibat perubahan temperatur
Berdasarkan literatur dari Ceco (211) sebagai berikut:
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, YE. (2021). Chemical Aditif pada Pelumas Oli (Oil Lubricating Additive). www.caesarvery.com. Surabaya
Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2016). Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya
[2] Ceco, E. (2011). Image Analysis in the Field of Oil Contamination Monitoring
Perbandingan material yang bisa digunakan di pipa air laut (sea water pipe) sebagai berikut:
Kesimpulan:
Urutan
kelayakan: HDPE – SS316L – SS 316
HDPE
lebih layak karena tingkat fleksibilitas terhadap kontur dan ketahanan
korosi-erosi air laut serta ketahanan SS ada batasnya terhadap serangan Cl-
SS
316L lebih layak dibandingkan SS 316 karena kehadiran Mo dan Ni lebih
besar
SS
316L/SS 316 lebih layak dibandingkan karena kehadiran Mo yang tidak dimiliki
SS 304L/SS 304
Berdasarkan Schweitzer, P.A. (2010) sebagai berikut:
Berikut kutipan dari handbook Revie & Uhlig (2008):
Kutip Artikel ini Seabagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Perbandingan Material Antara SS 316, SS 316L, SS 304, SS 304L dan HDPE untuk Pipa Air Laut. www.caesarvery.com. Surabaya
Referensi:
[1] Schweitzer, P.A. (2010). Handbook of Fundamentals of Corrosion Mechanisms, Causes, and Preventative Methods. CRC Press. London & New York
[2] Revie, R.W., and Uhlig, H.H. (2008). Handbook Corrosion and Corrosion Control, An Intoroduction to Corrosion Science and Engineering. Fourth Edition, John Wiley & Sons