Trending Topik

Certificate of Analysis (CoA) Batubara Uji Laboratorium

Diposting oleh On Saturday, July 25, 2020

Certificate of Analysis (CoA) adalah sertifikat hasil uji analisis spesimen di laboratorium. Untuk CoA batubara terdapat beberapa komponen yang diuji seperti yang dikuti pada Handbook Steam Plant Operation (Woodruff et al, 2000) sebagai berikut:
  • Moisture (Kandungan Air)-(ASTM D3173)
Tahap uji di laboratorium adalah sampel sebanyak 1 gram ditaruh di oven pada temperatur 220 oF = 105 oC selama 1 jam. Perbedaan berat sebelum dan sesudah dibandingkan dan itu menunjukkan kandungan air. Diambil suhu 105 oC karena air akan teruapkan pada temparatur 100 oC namun karena thermocouple mengukur bagian luar wadah atau sistem saja bukan langsung ke bahan yang di-oven maka diberi spaceoC untuk toleransi. Terdapat 2 jenis moisture yaitu: (isurface (moisture pada permukaan batubara); (iiinherent (moisture pada rongga kapiler batubara)
  • Volatile Matter (Unsur Mudah Menguap)-(ASTM D3175)
Tahap uji di laboratorium adalah sampel diatas dilanjutkan ditempatkan di furnace dan ditutup rapat dengan penkondisian temperatur 1700 oF = 927 oC (mirip dengan pembakaran sebenarnya di boiler PLTU). Gas yang terdeteksi keluar disebut volatile matter. Ini menandakan batubara mudah terbakar.


  • Fixed Carbon (Bahan yang Terbakar)-(ASTM D3172)
Tahap uji di laboratorium adalah melanjutkan lagi sampel diatas namun dengan pengkondisian furnace dibiarkan terbuka kemudian temperatur dinaikkan sehingga sampel sisa yang tertinggal adalah abu. Selisih berat merupakan kandungan fixed carbon (yang terbakar saja). Fixed Carbon = bobot batubara-(bobot moisture+volatile matter+ash). Komposisi umum carbon sebagai berikut: lignite (C70H5O25), subbituminous (C75H5O20), bituminous (C80H5O15dan anthracite (C94H3O3)
  • The Hardgrove Grindability Index (HGI)-(ASTM D409) 
Pengukuran secara empiris yang berhubungan dengan mudah tidaknya batubara untuk dihancurkan. Semakin tinggi menandakan batubara lunak mudah dihancurkan
  • Ash Content (Sisa Pembakaran)-(ASTM D3174, ASTM D3682)
Residu material sisa pembakaran di furnace meliputi: SiO2, Al2O3, TiO2, Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O
  • Total Sulfur (ASTM D2492)
Jumlah kandungan sulfate sulfur, pyritic sulfur dan organic sulfur di batubara. Pyritic sulfur adalah indikator potensial dari coal yang bisa menyebabkan abrasif
  • Ash Fusion Temperature (AFT-ASTM D1857)
Temperatur dimana bentuk cone ter-deformasi ke specific shape karena pengaruh oxidazing-reducing. Temperatur ini selaras dengan karakteristik ash melting, dimana bisa digunakan untuk mengklasifikasikan slagging potential. Teknik yang digunakan adalah batubara dibakar dibawah temperatur oksidasi yaitu 799-899 oC sehingga menghasilkan abu dan abu kemudian ditekan pada sebuah cetakan untuk membentuk triagular pyramid (cone) kemudian dipanaskan pelan-pelan sehingga cone mengalami pelunakan sehingga berubah bentuk lebih spesifik seperti berikut:
Terdapat urutan ash melting yaitu: (1original cone dengan ukuran tinggi 19 mm dan lebar dasar 6.35 mm; (2IT (initial deformation) adalah cone mulai melunak; (3ST (softening temperature) adalah cone telah ter-deformasi menjadi spherical (tinggi cone=lebar dasar cone), pada titik ini softening temperature=fusion temperature; (4HT (hemispherical temperature) adalah cone melebur membentuk bulatan dimana tinggi cone = 1/2 lebar dasar cone); (5FT (fluid temperature) adalah cone telah meleleh sepenuhnya (max tinggi 1.59 mm)
  • Abrasiveness Index
Tingkat abarasif dari batubara, dimana memiliki pengaruh terhadap life-time crusher. Tingkat abrasif ini selaras dengan tingkat kandungan quartz/silica. Teknik yang bisa dilakukan adalah dengan mencuci batubara ke larutan asam kemudian menggunakan mikroskop untuk dilakukan pengamatan setiap 1000 partikel terhitung.
  • Coke (Kokas)
Ketika batubara dipanaskan maka materi ringan akan mudah menguap sedangkan materi berat akan mengalami hydrocarbon crack yang membebaskan gas, tar dan residu carbon. Sisa carbon yang berisi ash dan sulfur dipanggil kokas (coke)
  • Slagging & Fouling Factor
Keduanya adalah endapan/deposit yang mengganggu proses transfer panas, dimana: (islagging/scaling adalah deposit yang bersifat sangat keras dan treatment minimalisir menggunakan chemical. Umumnya terdapat pada area yang langsung bersentuhan dengan radiasi api/panas sehingga ketika kena panas maka semakin lama deposit mengeras seperti kristal; (iifouling adalah deposit lunak yang terbentuk karena lapisan suspended solid/ash yang tipis terus-menerus dan umumnya terletak pada area yang tidak bersentuhan langsung dengan api/panas sehingga tidak sampai mengkristal. Treatment minimalisir bisa menggunakan scrapper dan water jet compressor. Berikut formula yang bisa digunakan untuk analisa kemungkinan proses terjadinya slagging & fouling:


Heating value diukur menggunakan bomb calorimeter yaitu peralatan yang terdiri dari bomb (untuk membakar) dan calorimeter (rangkaian komponen untuk mengukur kalori). Langkah kerja sebagai berikut:
1 gram sampel yang sudah dihancurkan dan dikeringkan ditempatkan di-tray dari bomb. Tray kemudian ditaruh di steel bomb yang dilengkapi fuse wire (aliran listrik) untuk membakar. Bomb kemudian ditutup, dihubungkan dengan oxygen tank dan ditekan sehingga sampel terbakar. Disisi luar bomb diberi water sehingga panas yang dihasilkan dari pembakaran sampel di bomb diserap oleh water, diberi juga stirrer untuk meratakan panas pada semua area water. Kenaikan suhu di water diukur menggunakan thermometer. Kemudian dilakukan perhitungan seperti rumus dibawah ini.

Analisis batubara dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu:
  • Proximate Analysis (ASTM D3172)
Pengujian batubara meliputi: volatile matter, fixed carbon dan ash content. Lebih gampangnya memahami adalah pengujian batubara secara umum yang tidak spesifik
  • Ultimate Analysis (ASTM D3176)
Pengujian batubara meliputi: carbon (C), hydrogen (H), nitrogen (N) dan sulfur (S). Lebih gampangnya adalah pengujian batubara secara spesifik sampai level unsur
  • Heating Value (ASTM D2015)
Maksimum energi teoritis bahan bakar yang tersedia untuk memproduksi steamGross calorific value ini berasal dari batubara yang diukur menggunakan adiabatic bomb calorimeter. Pengukuran kalori batubara mengacu pada prinsip stoikiometri seperti reaksi pembakaran hydorcarbon berikut:

CxHy + O2 ---> CO2 + H2O

H2O bisa dalam 2 fase yaitu liquid (cair) dan gas (uap) dan berdasarkan perbedaan tersebut terdapat 2 heating value yaitu:
1Higher Heating Value (HHV) adalah energi yang dikeluarkan dari pembakaran unit bahan bakar dengan produknya adalah ash, gas (CO2, SO2, Ndan liquid water). Lebih mudahnya adalah panas dari proses pembakaran pada volume konstan sehingga semua kandungan air ter-kondensasi dalam bentuk cair (H2O cair). Ketika H2O ter-kondensasi dari uap ke cair maka akan melepas kalor sehingga menambah kalori batubara. Mengapa nilai high heating value (HHV) lebih tinggi daripada LHV?? karena heating yang terhitung pada batubara adalah gabungan antara batubara sendiri dengan kalor laten pengembunan air (H2O dari uap menjadi cair) ---> HHV = kalori batubara + kalor latent pengembunan H2O.

2. Low Heating Value (LHV)-(ASTM D407) adalah panas dari proses pembakaran pada volume konstan sehingga semua kandungan air terbentuk menjadi uap (H2O uap). 
Basis pengukuran heating value batubara terbagi menjadi 4 yaitu:
  1. As Received Basis (AR), sampel batubara yang diterima oleh laboratorium sebelum ada proses pengeringan sehingga nilai kalor adalah apa adanya di lapangan. Umumnya basis inilah yang digunakan untuk menghitung efisiensi boiler metode heat-loss
  2. Air Dried Basis (ADB), sampel batubara yang sudah dilakukan pengringan sehingga tidak mengandung SURFACE moisture lagi
  3. Dry Basis (DB), sampel batubara yang tidak mengandung SURFACE + INHERENT moisture (teoritis)
  4. Dry Ash Free Basis (DAFB), sampel batubara yang murni terbebas dari moisture content & ash content, hanya terdapat volatile matter & fixed carbon.

Contoh CoA batubara:

Simak Penjelasan di Video Berikut:
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Certificate of Analysis (CoA) Batubara Uji Laboratorium, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation. Eighth Edition Handbook

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Macam-Macam Analisa Bahan Bakar PLTU (Coal & Fuel Oil) Adopted from The Babcock & Wilcox Company

Diposting oleh On Sunday, July 19, 2020

PLTU umumnya menggunakan bahan bakar yang bervariasi tergantung tipe boiler dan kebijakan pemerintah tentang energi primer. Beberapa jenis bahan bakar yang umum digunakan di PLTU yaitu batubara, fuel oil/residual oil dan biomassa (kayu, limbah pertanian dan cangkang kelapa/kelapa sawit).
Batubara dikelompokkan berdasarkan umur terbentuk dan kandungan carbon (C), berikut urutan pembentukan batubara:
Analisis batubara dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu:
  • Proximate Analysis (ASTM D3172)
Pengujian batubara meliputi: volatile matter, fixed carbon dan ash content. Lebih gampangnya memahami adalah pengujian batubara secara umum yang tidak spesifik
  • Ultimate Analysis (ASTM D3176)
Pengujian batubara meliputi: carbon (C), hydrogen (H), nitrogen (N) dan sulfur (S). Lebih gampangnya adalah pengujian batubara secara spesifik sampai level unsur
  • Heating Value (ASTM D2015)
Maksimum energi teoritis bahan bakar yang tersedia untuk memproduksi steam. Gross calorific value ini berasal dari batubara yang diukur menggunakan adiabatic bomb calorimeter. Pengukuran kalori batubara mengacu pada prinsip stoikiometri seperti reaksi pembakaran hydorcarbon berikut:

CxHy + O2 ---> CO2 + H2O

H2O bisa dalam 2 fase yaitu liquid (cair) dan gas (uap) dan berdasarkan perbedaan tersebut terdapat 2 heating value yaitu:
1. Higher Heating Value (HHV) adalah energi yang dikeluarkan dari pembakaran unit bahan bakar dengan produknya adalah ash, gas (CO2, SO2, N2 dan liquid water). Lebih mudahnya adalah panas dari proses pembakaran pada volume konstan sehingga semua kandungan air ter-kondensasi dalam bentuk cair (H2O cair). Ketika H2O ter-kondensasi dari uap ke cair maka akan melepas kalor sehingga menambah kalori batubara. Mengapa nilai high heating value (HHV) lebih tinggi daripada LHV?? karena heating yang terhitung pada batubara adalah gabungan antara batubara sendiri dengan kalor laten pengembunan air (H2O dari uap menjadi cair) ---> HHV = kalori batubara + kalor latent pengembunan H2O.

2. Low Heating Value (LHV)-(ASTM D407) adalah panas dari proses pembakaran pada volume konstan sehingga semua kandungan air terbentuk menjadi uap (H2O uap). 
Basis pengukuran heating value batubara terbagi menjadi 4 yaitu:
  1. As Received Basis (AR), sampel batubara yang diterima oleh laboratorium sebelum ada proses pengeringan sehingga nilai kalor adalah apa adanya di lapangan. Umumnya basis inilah yang digunakan untuk menghitung efisiensi boiler metode heat-loss
  2. Air Dried Basis (ADB), sampel batubara yang sudah dilakukan pengringan sehingga tidak mengandung SURFACE moisture lagi
  3. Dry Basis (DB), sampel batubara yang tidak mengandung SURFACE + INHERENT moisture (teoritis)
  4. Dry Ash Free Basis (DAFB), sampel batubara yang murni terbebas dari moisture content & ash content, hanya terdapat volatile matter & fixed carbon.
  • Volatile Matter (ASTM D3175), materi yang mudah menguap yang menandakan batubara mudah terbakar
  • The Hardgrove Grindability Index (HGI)-(ASTM D409) adalah pengukuran secara empiris yang berhubungan dengan mudah tidaknya batubara untuk dihancurkan. Semakin tinggi menandakan batubara lunak mudah dihancurkan
  • Total Sulfur (ASTM D2492), jumlah kandungan sulfate sulfur, pyritic sulfur dan organic sulfur di batubara. Pyritic sulfur adalah indikator potensial dari coal yang bisa menyebabkan abrasif
  • Ash Fusion Temperature (AFT-ASTM D1857), temperatur dimana bentuk cone ter-deformasi ke specific shape karena pengaruh oxidazing-reducing. Temperatur ini selaras dengan karakteristik ash melting, dimana bisa digunakan untuk mengklasifikasikan slagging potential. Teknik yang digunakan adalah batubara dibakar dibawah temperatur oksidasi yaitu 799-899 oC sehingga menghasilkan abu dan abu kemudian ditekan pada sebuah cetakan untuk membentuk triagular pyramid (cone) kemudian dipanaskan pelan-pelan sehingga cone mengalami pelunakan sehingga berubah bentuk lebih spesifik seperti berikut:
Terdapat urutan ash melting yaitu: (1) original cone dengan ukuran tinggi 19 mm dan lebar dasar 6.35 mm; (2) IT (initial deformation) adalah cone mulai melunak; (3) ST (softening temperature) adalah cone telah ter-deformasi menjadi spherical (tinggi cone=lebar dasar cone), pada titik ini softening temperature=fusion temperature; (4) HT (hemispherical temperature) adalah cone melebur membentuk bulatan dimana tinggi cone = 1/2 lebar dasar cone); (5) FT (fluid temperature) adalah cone telah meleleh sepenuhnya (max tinggi 1.59 mm)
  • Ash Content (ASTM D3174, ASTM D3682), kandungan ash sisa pembakaran batubara yang meliputi: SiO2, Al2O3, TiO2, Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O
  • Moisture Content (ASTM D3173), kadar air pada batubara dan nilai ini didapatkan ketika batubara dialiri panas 104-110 oC (set suhu tersebut dimaksudkan agar air benar-benar teruapkan semua pada 100 oC. Terdapat 2 jenis moisture yaitu: (i) surface (moisture pada permukaan batubara); (ii) inherent (moisture pada rongga kapiler batubara)
  • Abrasiveness Index, tingkat abarasif dari batubara, dimana memiliki pengaruh terhadap life-time crusher. Tingkat abrasif ini selaras dengan tingkat kandungan quartz/silica. Teknik yang bisa dilakukan adalah dengan mencuci batubara ke larutan asam kemudian menggunakan mikroskop untuk dilakukan pengamatan setiap 1000 partikel terhitung.
  • Coke (Kokas), ketika batubara dipanaskan maka materi ringan akan mudah menguap sedangkan materi berat akan mengalami hydrocarbon crack yang membebaskan gas, tar dan residu carbon. Sisa carbon yang berisi ash dan sulfur dipanggil kokas (coke)
  • Fixed Carbon (ASTM D3172), material inti batubara yang didapatkan dari: Fixed Carbon = bobot batubara-(bobot moisture+volatile matter+ash). Komposisi umum carbon sebagai berikut: lignite (C70H5O25), subbituminous (C75H5O20), bituminous (C80H5O15) dan anthracite (C94H3O3)
  • Slagging & Fouling Factor, keduanya adalah endapan/deposit yang mengganggu proses transfer panas, dimana: (i) slagging/scaling adalah deposit yang bersifat sangat keras dan treatment minimalisir menggunakan chemical. Umumnya terdapat pada area yang langsung bersentuhan dengan radiasi api/panas sehingga ketika kena panas maka semakin lama deposit mengeras seperti kristal; (ii) fouling adalah deposit lunak yang terbentuk karena lapisan suspended solid/ash yang tipis terus-menerus dan umumnya terletak pada area yang tidak bersentuhan langsung dengan api/panas sehingga tidak sampai mengkristal. Treatment minimalisir bisa menggunakan scrapper dan water jet compressor. Berikut formula yang bisa digunakan untuk analisa kemungkinan proses terjadinya slagging & fouling:


Berikut contoh certificate of analysis (CoA) batubara:
Analisa fuel oil sebagai berikut:
  • Ultimate Analysis, sama dengan coal analysis
  • API Gravity, digunakan di industri perminyakan untk menentukan relatifitas densitas minyak. API gravity memiliki hubungan dengan specific gravity, sesuai rumus berikut:

  • Heating Value, sama dengan coal analysis
  • Viscosity, pengukuran ketahanan internal terhadap flow dan yang umum dipakai di perminyakan ada 4 satuan yaitu: [i] saybolt universal second (SUS), [ii] saybolt furol second (SFS), [iii} absolute viscosity (centipoise), [iv] kinematic viscosity (centistokes)
  • Pour Point, temperatur terendah dimana bahan bakar cair mengalir pada kondisi standar
  • Flash Point, temperatur dimana bahan bakar cair akan memproduksi uap yang mudah tersulut/terbakar sendirinya namun sesaat tidak terbakar terus-menerus
  • Water & Sediment, bahan bakar cair umumnya mengandung sedimen berupa calcium, sodium, magnesium dan iron. Sedangkan untuk heavy fuel, sedimen bisa berupa carbon.
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Macam-Macam Analisa Bahan Bakar PLTU (Coal & Fuel Oil), Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] The Babcock & Wilcox Company. Sources of Chemical Energy
[2] Wijayanto, Y. (2016). Heat Rate Improvement. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Prinsip Pembakaran Hydrocarbon untuk Mencapai Efisiensi Tinggi di PLTU

Diposting oleh On Sunday, July 12, 2020

Pembakaran di furnace boiler PLTU (combustion) menggunakan bahan bakar berbagai macam dan Indonesia sudah mulai pengurangan penggunaan hasil olahan minyak bumi untuk pembakaran. Pemerintah menghimbau untuk penggunaan batubara, geothermal, solar cell, tenaga angin, mikro-hidro dan lain-lain yang ramah lingkungan dengan istilah "energi baru-terbarukan". Penggunaan batubara (coal) yang notabene termasuk dalam energi yang tidak dapat diperbaharui masih belum bisa ditinggalkan karena beberapa alasan seperti: melimpahnya SDA ini di Indonesia, kemampuan dalam membangkitkan daya listrik yang besar, dan kemampuan fleksibilitasnya dalam digunakan untuk PLTU batubara dengan kualitas paling jelek sekalipun.
Berdasarkan "Handbook Steam Plant Operation (Woodruff et al, 2000)" berikut beberapa informasi yang didapatkan:
Gambar 1. Data %Excess Air untuk Berbagai Bahan Bakar
Gambar 2. Data Properties Unsur yang Terlibat dalam Pembakaran

BACA JUGAPerhitungan Efisiensi Boiler Berdasarkan ASME PTC 4.1

Berdasarkan Basu (2015) berikut standarnya:
Proses pembakaran batubara di boiler PLTU mengikuti skema berikut: [Basu, 2015]
Berdasarkan grafik tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
  1. Pada temperatur 200 oC, batubara mengalami drying & heating
  2. Pada temperatur 300-800 oC, kandungan volatile batubara mulai terlepas
  3. Pada temperatur >800 oC, terjadi pembakaran sempurna batubara
Data excess air untuk setiap bahan bakar berbeda-beda dan hasil diatas berdasarkan best-practice experienced para engineer dengan trial-error system. Terdapat rumus yang bisa digunakan untuk menghitung %excess air seperti diatas yang didapatkan dari reaksi stoikiometri standar. Mengapa didalam pembakaran membutuhkan excess air?? karena proses pembakaran hydrocarbon(CxHy) pasti membutuhkan oksigen (O2) sedangkan produk samping hasil pembakaran ada 2 yaitu carbon dioksida (CO2) dan carbon monoksida (CO).  Detail stoikimoteri pembakaran bisa dibaca di artikel: Perhitungan Stoikiometri pada Pembakaran Batubara

C + O2 ---> CO2

C + ½ O2 ---> CO

Carbon dioksida inilah yang diinginkan karena menghasilkan energy (heat) yang besar dibandingkan jika menghasilkan CO (pembakaran tidak sempurna dan ada hydrocarbon tidak habis terbakar). Berdasarkan reaksi stoikiometri diatas diketahui bahwa untuk membakar 1 mol C maka kebutuhan udara untuk menghasilkan CO2 adalah 1 mol sedangkan CO adalah 1/2 mol. Alasan itulah yang dipakai mengapa harus ada excess air pada setiap pembakaran. Apakah tidak ada pengendali %excess air ?? mutlak ada, karena ketika udara terlalu excess maka akan terdapat dry flue gas dengan indikasi over oksigen pada gas buang (flue gas) padahal gas tersebut mengandung heat energy sehingga menyebabkan efisiensi turun.
Heating value diperlukan untuk mengukur energi yang bisa dihasilkan dari suatu bahan bakar. Dalam Certificate of Analysis (CoA) pengujian batubara terdapat 2 istilah yang dipakai yaitu: (i) proximate analysis untuk uji moisture content, fixed carbon, volatile matter dan ash content; (ii) ultimate analysis untuk uji C, H, O, N, S. Pengujian heating value bisa didapatkan dari pengujian menggunakan bomb calorimeter atau dengan pendekatan "Dulong Formula" seperti rumus diatas.

Terdapat permasalahan pada pembakaran batubara yang menurunkan efisiensi yaitu adanya "Unburned Carbon" dan kehilangan energi karena carbon tidak terbakar dikenal dengan istilah "Unburned Carbol Loss", ini disebabkan karena beberapa hal seperti:
  • Unburned carbon loss terkumpul di bottom ash dan fly ash) karena tidak terbakar, bisa disebabkan karena udara pembakaran yang kurang, sistem sirkulasi pembakaran tidak merata atau mengandung moisture yang besar sehingga tidak tertembus panas dan lain-lain.
  • Kehadiran CO pada flue gas, ini mengindikasikan kurangnya udara pembakaran sehingga carbon tidak habis terbakar
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Prinsip Pembakaran Hydrocarbon untuk Mencapai Efisiensi Tinggi di PLTU), Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation. Eighth Edition Handbook
[3] Feriyanto, Y. E. (2019). Perhitungan Efisiensi Boiler Metode Heat-Loss Menurut ASME PTC 4.1, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Cara Menurunkan Temperatur Superheated Steam (Desuperheater) di PLTU

Diposting oleh On Monday, June 22, 2020

Superheated Steam (uap kering) adalah saturated steam (uap basah) yang dipanaskan terus-menerus pada tekanan yang sama sehingga heat (Btu/lb atau kJ/kg) naik. Heat adalah energi panas yang bisa digunakan untuk menggerakkan turbine.
Di operasi PLTU, temperatur superheated steam dijaga pada kondisi tertentu untuk menjaga kualitas heat agar tidak terlalu boros atau kurang dan sesuai dengan kemampuan desain blade turbine. Jika temperatur terlalu tinggi, bisa menyebabkan efisiensi turun dan pemuaian di turbine melebihi ambang batas sehingga perlu dilakukan beberapa alternatif untuk menurunkan temperatur seperti: (Woodruff et al, 2000)

  • Attemperation/Desuperheater
Teknik ini ada 2 yaitu: (i) injeksi langsung dan kontak dengan superheated steam dengan spray, dikenal dengan "spray desuperheater". Spray ini menggunakan demineralized water sehingga kualitas air harus terjaga karena terdapat kontaminan sedikit saja berdampak sangat besar ke blade turbine; (ii) "drum type attemperator" umumnya pada boiler tipe pulverizer dan stocker (memiliki 2 drum yaitu steam drum bagian atas dan water drum bagian bawah). Sistem pendinginan memanfaatkan penggunaan tube yang berisi air dingin di drum bagian bawah (water drum) dengan sistem perendaman antara air dingin dengan tube superheated steam
Dikutip dari Handbook Babcock & Wilcox Company, berikut skematik direct contact spray:
Terdapat 3 tipe desuperheater direct contact sebagai berikut:
1. Single-Stage Attemperator
2. Tandem Attemperator
3. Multiple-Stage Attemperator
  • Flue Gas Bypass/Flue Gas Proportioning
Flue gas umumnya digunakan untuk membantu pemanasan di economizer, air heater dan superheater. Dengan pengurangan flue gas yang ke superheater dengan pengaturan damper maka temperatur superheater menjadi turun yang berakibat menurunnya temperatur superheated steam.

  • Flue Gas Recirculation
Melakukan adjust untuk mensirkulasikan berulang flue gas setelah digunakan sehingga flue gas akhir akan menyerap panas dari peralatan yang dilewati (furnace) sehingga temperaturnya turun dan temperatur flue gas naik kemudian dibuang ke stack.
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Cara Menurunkan Temperatur Superheated Steam (Desuperheater) di PLTU, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook
[2] The Babcock & Wicox Company. Boilers, Superheaters and Reheaters

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Uji Pengaruh Proses dan Kondisi Operasi pada Koagulan-Flokulan di Sedimentation Pond Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

Diposting oleh On Monday, April 20, 2020

Uji Pengaruh Proses dan Kondisi Operasi pada Koagulan-Flokulan di Sedimentation Pond Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Yuni Eko Feriyanto
YE_Feriyanto@yahoo.com; YE.Feriyanto@gmail.com
Thesis Magister Manajemen Teknologi Industri, ITS-Surabaya
Abstrak. Serangkaian proses pengolahan air di PLTU meliputi beberapa sistem yaitu pre-treatment, desalination dan demineralization. Pada tahap pre-treatment water system terdapat proses pengendapan lumpur yang dibantu dengan zat kimia koagulan-flokulan dan prosesnya dikenal dengan istilah koagulasi-flokulasi. Terdapat beberapa masalah di pengolahan air PLTU yaitu sering tersumbatnya membrane RO. Penyumbatan tersebut menyebabkan seringnya chemical cleaning membrane dan jika terjadi terus-menerus maka degradasi membrane tidak dapat dihindarkan dan menyebabkan kejebolan sehingga harus dilakukan penggantian. Akar penyebab masalah setelah diteliti lebih lanjut adalah banyaknya suspended solid/lumpur yang terikut sehingga bisa dipastikan kinerja sedimentation pond dalam mengendapkan lumpur belum optimal. Teknik jar test dilakukan untuk simulasi scale-down proses dan kondisi operasi koagulasi-flokulasi dengan menggunakan beberapa variabel seperti %dosis (D), residence time (R) dan agitator speed (A). Parameter terukur yang umum dilakukan di PLTU untuk mengukur keefektifan kinerja sedimentation pond adalah turbidity dan TSS. Hasil ar test berupa data kombinasi variabel alternatif yang diukur parameter sebelum dan sesudah penambahan koagulan-flokulan kemudian hasil tersebut dilakukan pengolahan data dan seleksi alternatif. Hasil seleksi dilakukan perangkingan dan didapatkan variabel alternatif dengan urutan rangking-1 yaitu D40R20A80 kemudian rangking-2 yaitu D60R30A80. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan data bahwa variabel yang berpengaruh signifikan adalah kondisi operasi dibandingkan proses reaksi sehingga usulan yang tepat untuk permasalahan pengendapan lumpur di PLTU Kepulauan Bangka Belitung adalah evaluasi titik injeksi koagulan-flokulan, evaluasi sekat underflow-upper flow dan jika tidak bisa dilakukan maka cukup dilakukan penambahan filter kassa pada outlet lamella filter. Ketika proses sedimentasi sudah optimal maka akan sangat berpengaruh terhadap kinerja membrane RO sehingga berdampak pada penurunan biaya pokok produksi dan kehandalan unit PLTU.
1. Pendahuluan
Sedimentation pond didesain agar secara alami fluida yang mengandung lumpur /suspended solid terendapkan secara alami dengan bantuan gaya gravitasi. Proses pengendapan di sedimentation pond sering ditemui kurang optimal yang ditandai dengan masih tingginya parameter kekeruhan (turbidity) dan Total Dissolved Solid (TSS). Ketika sedimentation pond secara physical-mechanical belum mampu menurunkan lumpur maka teknik lain yang disarankan adalah dengan menambahkan bantuan chemical yaitu koagulan-flokulan, dimana koagulan berfungsi mengikat ion-ion di fluida agar mengumpul membentuk butiran lumpur halus (floc) sehingga massa meningkat dan terendapkan secara alami karena gaya gravitasi (Engelhardt, 2014). Ketika penambahan koagulan belum mampu menurunkan lumpur secara signifikan maka ditambahkan flokulan yang berfungsi menambah massa floc (butiran-butiran halus lumpur) (Blake, 1975).
Menurut Culp (1974), partikel koloid mempunyai ukuran yang sangat kecil yaitu antara 1 milimikron sampai 1 mikron serta memiliki sifat muatan listrik negatif sejenis sehingga membentuk suatu keadaan stabil yang saling tolak-menolak satu sama lain. Kondisi seperti itu menyebabkan antara partikel terjadi ikatan tolak-menolak sehingga sulit dalam penggabungan partikel untuk membentuk floc. Penambahan elektrolit muatan positif yang berasal dari zat koagulan diperlukan untuk stabilisasi sistem koloid sehingga terjadi gaya tarik-menarik dan massa menjadi lebih besar akhirnya secara gravitasi mengendap di dasar sedimentation pond.
Boughou et al. (2016) menggunakan parameter TSS, temperatur, pH, turbidity, conductivity, BOD dan COD untuk mengukur keefektifan penggunaan koagulan FeCl3 yang digunakan pada sampel air limbah pemukiman. Daud et al. (2015) menggunakan parameter COD, TSS, warna, minyak dan pH untuk mengukur keefektifan koagulasi-flokulasi pada limbah biodiesel. Beltran et al. (2009) menggunakan parameter COD, turbidity, pH, conductivity, warna, TSS dan biaya untuk mengukur kualitas air limbah sesudah dilakukan penambahan beberapa jenis koagulan.
Berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu dan sesuai dengan yang dilakukan di unit Pembangkit Listrik Tehaga Uap (PLTU) maka parameter yang digunakan untuk evaluasi sedimentation pond adalah turbidity dan TSS. Penelitian ini mengambil objek pengolahan air umpan di PLTU Kepulauan Bangka-Belitung dengan umpan yang berasal dari air laut. Berikut disajikan data pengukuran kualitas air umpan sebelum masuk ke sedimentation pond.
Berdasarkan Tabel 1 didapatkan data bahwa baik musim kemarau dan hujan nilai turbidity dan TSS diatas standar dengan nilai normalnya adalah turbidity <5 NTU dan TSS <10 mg/L. Sedimentation pond masih membutuhkan bantuan chemical yaitu koagulan-flokulan untuk membantu pengendapan dan sudah menjadi kebiasaan operasional di PLTU ketika kualitas air outlet sedimentation pond masih tinggi maka langkah awal yang dilakukan adalah menambah dosis koagulan-flokulan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Daud et al. (2015) dinyatakan bahwa dosis yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menurunkan kinerja koagulasi-flokulasi dan membutuhkan dosis yang optimum untuk penggunaan yang efektif yaitu ditandai dengan tidak bertambahnya efisiensi secara signifikan ketika penambahan dosis. Pernyataan tersebut selaras dengan kondisi yang terjadi di sedimentation pond yaitu ketika injeksi koagulan-flokulan berlebih maka akan timbul hamburan lumpur seperti lapisan film yang melayang-layang berwarna keputihan. Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dilakukan uji jar test dengan beberapa variabel sehingga bisa diperoleh yaitu: (i) efek pengaruh proses seperti pemberian dosis; dan (ii) efek kondisi operasi seperti residence time dan agitator velocity pada keoptimalan koagulasi-flokulasi.
Struktur pembiayaan operasional PLTU ada dua yaitu: (1) biaya operasi meliputi: pengolahan air dan pengelolaan uap; (2) biaya pemeliharaan meliputi: corrective maintenance, predictive maintenance dan preventive maintenance. Obyek penelitian ini ada pada struktur biaya operasi yaitu biaya pengolahan air dengan breakdown-nya seperti: penggantian membrane RO, konsumsi chemical cleaning membrane RO, dan konsumsi koagulan-flokulan. Tingginya biaya operasional berdampak pada peningkatan biaya pokok produksi sehingga harus segera dilakukan tindakan penanganan masalah yang menjadi penyebab utama.
History kejadian di PLTU Kepulauan Bangka-Belitung adalah sering terjadi penyumbatan membrane RO sehingga periode chemical cleaning menjadi lebih pendek dan mengharuskan banyak membrane RO untuk dilakukan penggantian. Kejadian seperti itu jika terjadi berulang-ulang dalam waktu yang relatif berdekatan maka apabila terjadi gangguan pada satu peralatan maka berdampak pada peralatan lain karena sistem kerja peralatan Water Treatment Plant (WTP) adalah seri. Dampak yang bisa ditimbulkan adalah menurunnya kehandalan WTP system sehingga stok air turun dan defisit air untuk produksi unit PLTU. Kejadian seperti itu mengharuskan unit PLTU membeli air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). History kejadian seperti itu akan menaikkan nilai biaya pokok produksi bahkan berakibat pada menurunnya kehandalan unit PLTU.
Koagulasi-flokulasi bekerja efektif didukung oleh dosis yang optimal serta proses dan operasi yang tepat seperti %dosis, waktu tinggal dan putaran pengadukan [Boughou et al., 2016]. Untuk mengetahui keefektifan koagulasi-flokulasi maka digunakan beberapa parameter kualitas air seperti turbidity, conductivity, pH, TSS dan TDS [Boughou et al., 2016; Beltran et al., 2009; Daud et al., 2015]. Koagulasi-flokulasi efektif ditunjang dengan kondisi operasi yang optimal sehingga untuk mendapatkan data tersebut digunakan percobaan jar test yaitu percobaan skala laboratorium scale down kondisi operasi existing menggunakan beberapa variabel. Penelitian terdahulu Daud et al. (2015) tentang koagulasi-flokulasi juga menggunakan variabel proses dan operasi sesuai standar yaitu %dosis, waktu tinggal dan putaran pengaduk.
Percobaan jar test pada penelitian ini menggunakan variabel yaitu %dosis, waktu tinggal dan putaran pengaduk dengan parameter yang diuji adalah turbidity dan TSS untuk kondisi sebelum dan sesudah penambahan koagulan-flokulan. Hasil jar test berupa kombinasi variabel proses dan operasi koagulan-flokulan dilakukan pengolahan data dengan menyetarakan satuan yaitu persentase (%) kenaikan atau penurunan kualitas air kemudian hasilnya dilakukan seleksi dan rangking prioritas untuk dipilih dan digunakan untuk melakukan evaluasi sedimentation pond system.

2. Metode Penelitian
2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk percobaan ini adalah: (i) jar test kit merk VELP JLT6; (ii) beaker glass; (iii) botol sampel jenis plastik; (iv) analytic pipet 10-100 µL volume merk M100; (v) digital TSS meter merk HACH DR 6000; (vi) neraca analytic merk KERN ABS 220-4; (vii) digital turbidity meter merk HACH 2100Q dan ORION AQ3010.
Bahan yang digunakan adalah: (i) air laut kondisi pasang dan hujan; (ii) air demineralization; (iii) koagulan tipe alumunium hydroxychloride; dan (iv) flokulan tipe polyacrylamide(PAM)-anionic.
2.2 Tahapan Jar Test
Jar test pada penelitian ini menggunakan 6 paddle motor dengan beaker glass 1 liter dengan prosedur percobaan sebagai berikut: (i) menempatkan air laut di beaker glass kemudian mengukur parameter kualitas air sebelum perlakuan koagulasi-flokulasi; (ii) mengatur putaran pengaduk pada 150 rpm disertai penambahan koagulan (dosis-D) dan mereaksikan selama 0,5 menit; (iii) menurunkan putaran pengaduk (agiitator velocity-A) sesuai variabel yaitu 40/60/80 rpm disertai penambahan flokulan dengan waktu tinggal  (residence time-R) pengikatan suspended solid sesuai variabel yaitu 10/20/30/40 menit; (iv) akhir percobaan melakukan pengukuran kualitas air dengan cara mengambil air sampel ±2 cm dari permukaan air; (v) mengukur kualitas air menggunakan parameter kualitas air yang telah ditentukan sehingga diperoleh data kualitas air sesudah perlakuan koagulasi-flokulasi.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil Percobaan
Jar test yang telah dilakukan didapatkan data sebanyak 48 variabel alternatif yang masing-masing diukur data sebelum dan sesudah perlakukan penambahan koagulan-flokulan.
Tabel 2. Hasil Percobaan Jar Test
No
Variabel Alternatif*
Turbidity
TSS
A
B
A
B
1
D20R10A40
13,7
13,3
21
16
2
D20R10A60
27,0
10,9
33
20
3
D20R10A80
10,3
6,87
13
10
4
D20R20A40
17,8
12,6
21
16
5
D20R20A60
26,2
12,4
31
21
6
D20R20A80
17,5
12,0
27
16
7
D20R30A40
44,5
19,4
42
19
8
D20R30A60
29,6
14,9
32
24
9
D20R30A80
19,1
12,9
29
17
10
D20R40A40
43,2
16,5
40
17
11
D20R40A60
29,6
14,3
30
22
12
D20R40A80
9,14
7,73
13
10
13
D40R10A40
14,4
10,5
21
19
14
D40R10A60
26,0
8,55
33
20
15
D40R10A80
19,3
7,33
29
15
16
D40R20A40
17,7
10,8
21
17
17
D40R20A60
25,8
11,3
30
24
18
D40R20A80
29,2
5,44
36
13
19
D40R30A40
41,7
11,4
40
16
20
D40R30A60
26,8
12,4
32
25
21
D40R30A80
28,7
5,72
30
18
22
D40R40A40
40,6
11,9
41
18
23
D40R40A60
27,3
13,0
32
25
24
D40R40A80
24,3
5,65
30
21

No
Variabel Alternatif*
Turbidity
TSS
A
B
A
B
25
D60R10A40
17,4
8,54
21
19
26
D60R10A60
25,9
6,20
32
19
27
D60R10A80
21,8
6,21
32
21
28
D60R20A40
35,8
10,8
40
14
29
D60R2AA60
27,9
9,04
31
22
30
D60R20A80
26,9
4,59
32
18
31
D60R30A40
39,8
10,9
43
18
32
D60R30A60
35,5
10,7
32
23
33
D60R30A80
27,8
5,44
35
13
34
D60R40A40
16,9
9,08
21
15
35
D60R40A60
16,6
9,99
22
17
36
D60R40A80
20,9
4,95
32
19
37
D80R10A40
4,39
3,57
11
7
38
D80R10A60
27,1
6,44
32
15
39
D80R10A80
20,0
5,08
37
17
40
D80R20A40
6,05
4,11
13
9
41
D80R20A60
15,8
7,24
21
13
42
D80R20A80
14,5
4,37
20
11
43
D80R30A40
6,95
4,06
15
9
44
D80R30A60
16,6
6,77
22
15
45
D80R30A80
9,22
6,79
12
11
46
D80R40A40
7,41
3,81
13
9
47
D80R40A60
16,9
7,57
23
16
48
D80R40A80
10,4
4,96
16
13
*Note: “A” adalah data sebelum treatment dan “B” adalah data sesudah treatment
3.2 Pengolahan Data
Berdasarkan data hasil jar test sebanyak 48 buah kemudian dilakukan pengolahan data berupa penyetaraan satuan sehingga bisa digunakan untuk membandingkan kinerja 2 parameter tersebut dalam meningkatkan kualitas air.
Hasil perhitungan seperti ditampilkan di Tabel 3 dibawah ini:
Tabel 3. Hasil Pengolahan Data Hasil Jar Test
No
Variabel Jar Test
%Kenaikan/Penurunan Nilai Parameter
Turbidity (%)
TSS
(%)
1
D20R10A40
2,9
23,8
2
D20R10A60
59,6
39,4
3
D20R10A80
33,5
23,1
4
D20R20A40
29,2
23,8
5
D20R20A60
52,7
32,3
6
D20R20A80
31,4
40,7
7
D20R30A40
56,4
54,8
8
D20R30A60
49,7
25,0
9
D20R30A80
32,5
41,4
10
D20R40A40
61,8
57,5
11
D20R40A60
51,7
26,7
12
D20R40A80
15,4
23,1
13
D40R10A40
27,1
9,5
14
D40R10A60
67,1
39,4
15
D40R10A80
62,0
48,3
16
D40R20A40
39,0
19,0
17
D40R20A60
56,2
20,0
18
D40R20A80
81,4
63,9
19
D40R30A40
72,7
60,0
20
D40R30A60
53,7
21,9
21
D40R30A80
80,1
40,0
22
D40R40A40
70,7
56,1
23
D40R40A60
52,4
21,9
24
D40R40A80
76,7
30,0

No.
Variabel Jar Test
%Kenaikan/Penurunan Nilai Parameter
Turbidity (%)
TSS
(%)
25
D60R10A40
50,9
9,5
26
D60R10A60
76,1
40,6
27
D60R10A80
71,5
34,4
28
D60R20A40
69,8
65,0
29
D60R20A60
67,6
29,0
30
D60R20A80
82,9
43,8
31
D60R30A40
72,6
58,1
32
D60R30A60
69,9
28,1
33
D60R30A80
80,4
62,9
34
D60R40A40
46,3
28,6
35
D60R40A60
39,8
22,7
36
D60R40A80
76,3
40,6
37
D80R10A40
18.7
36,4
38
D80R10A60
76.2
53,1
39
D80R10A80
74.6
54,1
40
D80R20A40
32.1
30,8
41
D80R20A60
54.2
38,1
42
D80R20A80
69.9
45,0
43
D80R30A40
41.6
40,0
44
D80R30A60
59.2
31,8
45
D80R30A80
26.4
8,3
46
D80R40A40
48.6
30,8
47
D80R40A60
55.2
30,4
48
D80R40A80
52.3
18,8
3.3    Seleksi Variabel Alternatif dan Rangking Prioritas
Tahap seleksi variabel alternatif ini ditujukan untuk mengetahui variabel yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kualitas air. Terdapar 2 parameter untuk mengukur kualitas air dan diputuskan prioritas parameter yang memiliki pengaruh besar di WTP system dengan urutan yaitu: (i) turbidity; dan (ii) TSS. Pemilihan ini juga didasarkan pada best practice yang didapatkan di lapangan karena berhubungan langsung dengan indikator online analyzer. Hasil data kemudian diurutkan sesuai rangking prioritas seperti yang ditampilkan di Tabel 4.
Tabel 4. Rangking Prioritas Alternatif Terseleksi
No
Variabel Jar Test
%Kenaikan/Penurunan Nilai Parameter
Turbidity (%)
TSS
(%)
1
D40R20A80
81,4
63,9
2
D60R30A80
80,4
62,9
3
D40R30A80
80,1
40,0
4
D80R10A60
76.2
53,1
5
D80R10A80
74.6
54,1
6
D40R30A40
72,7
60,0
7
D60R30A40
72,6
58,1
8
D40R40A40
70,7
56,1
3.4    Pembahasan
Hasil percobaan jar test didapatkan data rangking prioritas sebagai berikut: (i) rangking-1 adalah D40R20A80 (dosis 40%, residence time 20 menit dan agitator velocity 80 rpm), (ii) rangking-2  adalah D60R30A80 (dosis 60%, residence time 30 menit dan agitator velocity 80 rpm). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa variabel proses yaitu pemberian dosis koagulan-flokulan (D) kurang berpengaruh signifikan dalam optimalnya proses koagulasi-flokulasi. Variabel proses adalah reaksi kimia koagulan dengan ion-ion pada suspended solid sedangkan flokulan adalah reaksi penggabungan inti floc yang sudah terbentuk dari hasil pengikatan oleh koagulan kemudian menjadi lebih besar dan bisa terendapkan secara alami karena pengaruh gaya gravitasi. Sedangkan untuk variabel kondisi operasi memiliki pengaruh signifikan terhadap koagulasi-flokulasi yaitu residence time (R) dan velocity agitator (V). Residence time memberikan waktu yang cukup untuk butiran-butiran floc mengumpul dan semakin berat sedangkan agitator velocity mendukung agar floc yang sudah mengumpul dan semakin berat tidak pecah kembali sehingga pengendapan akan lebih optimal.Di PLTU Kepulauan Bangka-Belitung, sedimentation pond terbagi menjadi 3 kolam yaitu: (i) kolam underflow-upperflow; (ii) kolam lamella filter (lembaran-lembaran filter berlubang mirip sarang lebah); dan (iii) kolam pendiaman atau penampungan akhir. Kejadian yang masih sering dijumpai adalah banyaknya hamburan lumpur mirip lapisan film tipis di kolam. Hasil identifikasi didapatkan informasi bahwa hamburan tersebut adalah floc yang sudah mulai terbentuk dan pecah karena turbulensi aliran yang terlalu besar. Kuantitas hamburan tersebut sebanding dengan penambahan penambahan dosis flokulan sehingga hal ini mendukung hasil jar test bahwa penambahan dosis kurang berpengaruh signifikan terhadap koagulasi-flokulasi karena bisa membuat suspended solid meningkat.Hasil percobaan jar test didapatkan data bahwa penggunaan dosis koagulan-flokulan bisa diturunkan 40% sampai 60% dengan syarat kondisi operasi seperti residence time tercapai pada 20-30 menit dan agitator velocity 80 rpm (profil aliran laminer). Hasil ini bisa digunakan untuk memberikan masukan terhadap operasioanal unit di PLTU Kepulauan Bangka Belitung pada operasional di sedimentation pond dengan urutan evaluasi sebagai beriku: (i) evaluasi letak injeksi koagulan-flokulan yang ideal yaitu tapping koagulan ditempatkan di perpipaan inlet sebelum masuk sedimentation pond dengan syarat aliran turbulen (umumnya ditambahkan static mixer yaitu pipa yang diberi baffle agar aliran umpan teraduk dengan koagulan) sedangkan flokulan ditempatkan di kolam awal sedimentation pond dengan syarat aliran laminer; (ii) evaluasi sedimentation pond meliputi: penghitungan residence time air umpan dan jika didapatkan kurang dari 20-30 menit maka melakukan re-engineering atau redesign atau modifikasi berupa penambahan jumlah sekat underflow-upperflow; (iii)  jika  poin (ii) tidak bisa dilakukan maka ditambahkan filter kassa pada bagian outlet lamella yang berfungsi sebagai filter tambahan agar lapisan film atau hamburan lumpur tidak sampai ke bak penampungan akhir.
4.     Kesimpulan
Penulis di penelitian ini menyimpulkan bahwa proses koagulasi-flokulasi dipengaruhi oleh kondisi operasi seperti residence time dan agitator velocity sedangkan untuk pengaruh proses seperti %dosis kurang berpengaruh signifikan. Hasil seleksi variabel alternatif dan dilakukan rangking prioritas didapatkan data sebagai berikut: (i) rangking-1 adalah D40R20V80 dengan definisi yaitu penurunan dosis 40%, residence time 20 menit dan agitator velocity 80 rpm; dan (ii) rangking-2 adalah D60R30V80 dengan definisi yaitu dosis 60%, residence time 30 menit dan agitator velocity 80 rpm.
Rekomendasi yang disarankan berdasarkan data hasil rangking prioritas untuk operasional di sedimentation pond PLTU Kepulauan Bangka-Belitung secara berurutan sebagai berikut: (i) evaluasi letak tapping injeksi koagulan-flokulan; (ii) evaluasi desain sedimentation pond; dan (iii) jika poin (ii) tidak bisa dilakukan maka cukup menambahkan tambahan filter kassa di outlet lamella.

Silakan Downloading International Proceeding Journal Open Acces di https://doi.org/10.1088/1757-899X/1096/1/012102
References
  1. Boughou, N., Majdy, I., Cherkaoul, E., Khamar, M., dan Nounah, A. The Physico-Chemical Treatment by Coagulation-Flocculation Releases ofSlaughterhouse Wastewater in the City of Rabat (Morocco). Journal of CODEN (USA) : PCHHAX, 8(19), 93-99 (2016).
  2. Daud, Z., Awang, H., Latif, A., Nasir, N., Ridzuan dan M., dan Ahmad, Z. SuspendedSolid, Color, COD and Oil and Grease Removal from Biodiesel Wastewater byCoagulation and Flocculation Processes. Proceeding of The World Conference on Technology, Innovation and Entrepreneurship, Procedia Social and Behavioral Sciences, 195, 2407-2411 (2015).
  3. Engelhardt, T. (2014). Coagulation, Flocculation and Clarification of Drinking Water. HACHCompany.
  4. Blake, W., dan Edward, S. (1975). The Effect of Alum Concentration and Chemical Addition on Coagulation. American Water Works Association, Vol. 77, Issue 4, pp. 138-146.
  5. Culp, Gordon, L., dan Russel, C. (1974). New Concept in Water Purification.Van Nostrand Reinhold Company.
  6. Beltran, P., Roca, J., Pia, A. Melon, M., dan Ruiz, E. (2009). Application of MulticriteriaDecision Analysis to Jar Test Result for  Chemicals Selection in thePhysical-Chemical Treatment of Textile Wastewater. Hazardous Materials, Vol. 164, pp. 288-295.