Trending Topik

Magnetic Particle Testing (MT) Teknik NDE (Non-Destructive Examination)

Diposting oleh On Saturday, December 26, 2020

Magnetic Testing (MT)/Magnetic Particle Testing (MPT)/Magnetic Particle Examination (MPE)/Magnetic Particle Inspection (MPI) adalah salah satu teknik NDE yang digunakan untuk mendeteksi cacat pada sambungan las-lasan dan diskontinuitas pada permukaan material ferromagnetic (tertarik KUAT daya magnet). Magnetic Testing (MT) tidak akurat digunakan pada paramagnetic (tertarik LEMAH daya magnet) dan tidak bisa pada diamagnetic (TIDAK tertarik daya magnet). Material sampel yang umum digunakan adalah besi (Fe), nikel (Ni), kobal (Co) dan alloy.

Terdapat 3 tipe Magnetic Testing (MT) yaitu:

  1. Dry, visible powder
  2. Wet, visible suspension
  3. Wet, fluorescent suspension

Berikut tahapan untuk tipe DRY VISIBLE POWDER:
  • Surface Preparation, Membersihkan permukaan material dari pengotor bisa menggunakan air, solvent, brush dan grinder untuk pengotor yang keras seperti deposit/scale.
  • Contrast Background, Pemberian dasar warna yang berbeda dengan bahan aplikasi agar medan magnetic yang terbentuk bisa terlihat dengan sempurna
  • Magnetization, Meletakkan peralatan pembangkit magnet kutub positif (+) dan negatif (-) pada material sampel
  • Particle Application, Menuangkan bahan partikel untuk tipe dry powder misalnya serbuk besi diantara 2 kutub magnet sehingga terbentuk medan magnetik

  • Removing Particle, Membersihkan bahan partikel dengan blowing sehingga yang murni menempel tersisa adalah diskontinuitas yang terjadi
  • Viewing & Intrepretation, Melakukan analisa dan dokumentasi

Berikut tahapan untuk tipe WET VISIBLE SUSPENSION:
  • Surface Preparation, Membersihkan permukaaan sampel material sebagai contoh ini menggunakan solvent kemudian mengelap sampai bersih
  • Contrast Background, Pemberian dasar warna yang berbeda dengan bahan aplikasi agar medan magnetic yang terbentuk bisa terlihat dengan sempurna

  • Liquid Application & Magnetization, Untuk tipe wet (basah) bahan aplikasi adalah cairan yang disemprot diantara 2 pembangkit magnet kitub positif (+) dan negatif (-)

  • Viewing & Intrepretation, Melakukan analisa secara visual untk melihat medan magnetik yang terbentuk dan jika ada diskontinuitas maka akan terbentuk medan magnetik yang tidak beraturan

Berikut tahapan untuk tipe WET FLUORESCENCE SUSPENSION:
  • Surface Preparation, Setelah sampel dibersihkan kemudian menempatkan pada 2 kutub magnet berlawanan
  • Liquid Fluorescence Application, Menyemprotkan cairan fluorescence pada sampel material
  • Viewing & Intrepretation, Menggunakan UV light dan akan terlihat crack yang terjadi

Sistem pembangkit magnet sehingga menimbulkan kutub positif (+) dan negatif (-) bisa berasal dari:
  • Coil wrap
  • Current injection
  • Proximity conductor
  • Yoke
  • Fixed Particle Magnetic machine

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Magnetic Particle Testing (MT) Teknik NDE (Non-Destructive Examination), Best-Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] EPRI. Guidelines for the Non-Destructive Examination of Boiler

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Liquid Penetrant Test (PT) Teknik NDE (Non-Destructive Examination)

Diposting oleh On Monday, December 14, 2020

Penetrant Test (PT) adalah salah satu teknik Non-Destructive Testing (NDT) yang menggunakan cairan penyemprot untuk mengetahui cacat material (metal, glass, plastic, ceramic dll) melalui perbedaan warna atau perpendaran (fluorescence). 


Berdasarkan EPRI Guidelines, uji Penetrant Test (PT) digunakan untuk menemukan diskontinuitas pada material yang terbuka terhadap permukaan. Macam-macam diskontinuitas sebagai berikut:


  1. Cracks (retak), cacat permukaan berupa retak akibat tegangan
  2. Seams (lapisan), goresan memanjang sejajar arah pengerolan
  3. Laps (lipatan), terlipatnya logam panas
  4. Porosity (keropos), terperangkapnya gas dalam logam cair
  5. Non-Metalic Inclusion (pemasukan), masuknya impurities pada logam cair
  6. Cold Cracking, cacat pada permukaan bahan berupa tampilan garis (lurus atau lengkungan terputus) berwarna gelap
  7. Hot Tear/Shrinkage Crack, retakan yang terjadi sebelum selesainya proses pembekuan karena adanya gangguan
  8. Blow Hole, cacat berupa lubang-lubang karena adanya gas sewaktu proses pencetakan material
  9. Lamination, cacat berupa lekukan ke arah luar seperti lapisan baru yang lebih tebal
  10. Lack of Penetration, cacat las karena filler las tidak masuk sampai ke akar sambungan
  11. Lack of Fusion, cacat karena tidak sempurnanya penyambungan antara filler las dan logam induk

Uji Penetrant Test (PT) umumnya digunakan untuk mendeteksi thermal-mechanical fatigue, flow-induced fatigue, creep fatigue, weld crack. Terdapat beberapa macam teknik Penetrant Test (PT) dan berikut daftarnya:

Melihat daftar tersebut, bisa diketahui terdapat 3 macam teknik Penetrant Test (PT) yang bisa digunakan, berikut penjelasannya:
  • Post Emulsifible Fluorescent
Digunakan untuk menemukan crack yang sangat kecil dengan tingkat sensitifitas tertinggi. Menggunakan liphopilic penentrant (oil based) dan membutuhkan emulsifier pada permukaan sampel.
  • Water Washable Fluorescent
Diaplikasikan untuk sampel material yang memiliki permukaan sedang-kasar dan juga untuk mendeteksi kebocoran (leak). Menggunakan hidrophilic (water based), tipe ini yang umum digunakan untuk sampel material besar karena proses cepat namun harus hati-hati karena penetrant bisa luntur ketika pencucian berlebih.
  • Solvent Removable
Umumnya diaplikasikan untuk deteksi spot testing dan ketika sampel material jauh dari air dan listrik (kebutuhan washing) serta ketika pengujian dilakukan secara portable. Tipe ini juga sering digunakan untuk aplikasi sampel material yang kecil.

Berikut tahapan dalam uji Penetrant Test (PT):

  • Surface Preparation, Membersihkan area yang akan diuji menggunakan wash liquid solvent atau brush dan grinder untuk impurities yang keras seperti di boiler dengan tujuan impurities (deposit, paint, scale, oil, grease) terangkat dan tidak menutupi pori-pori/crack material.

  • Penetration, Menyemprotkan cairan penetrant umumya merah (visible penetrant) pada material dan membiarkan selama minimal 15 menit agar proses penyerapan maksimal. Terdapat 2 tipe penetrant yaitu lipophilic (oil based) dan hydrophilic (water based).
  • Removal of Excess, Membersihkan cairan penetrant dengan menggunakan lap kain yang bersih dengan gerakan satu arah sehingga cairan penetrant benar-benar terdapat pada crack dan tidak meluber ke area yang normal.
  • Development, Segera menyemprotkan developer (cairan pengembang) umumnya cairan putih (color contrast) atau suspended powder sebagai pengontras cairan penetrant sehingga ketika terdapat diskontinuitas akan mudah untuk dibedakan. Diusahakan menunggu waktu antara 10-60 menit agar cairan bekerja maksimal. Developer digunakan untuk mengangkat cairan penetrant yang terserap diskontinuitas.
  • Interpretation, Melakukan inspeksi visual diskontinuitas yang terjadi
  • Rinse, Membersihkan dengan segera menggunakan wash liquid solvent setelah analisa dan dokumentasi selesai dilakukan


Terdapat 2 tipe penetrant yaitu visible dan fluorescent, dimana untuk visible penetrant seperti langkah yang sudah dijelaskan diatas (EPRI Guidelines). Fluorescent penetrant umumnya berwarna kuning atau kuning kehiajauan dan diterapkan pada UV light. Berikut tahapannya:
  • Penetration, Peralatan dilakukan pembersihan kemudian dicelupkan ke fluorescent penentrant
  • Dwelling, Pendiaman hasil celupan ±30 menit agar penetrant meresap maksimal (kapilaritas)
  • Rinse, Pembersihan dari sisa penetrant yang tersisa tidak terserap oleh diskontinuitas material sampel
  • Drying, Pengeringan material sampel pada hot dryer temperatur 60-70 oC selama ±10 menit

 
  • Development, Pelumuran sampel material pada bahan pengembang (developer) dan disini contoh powder.
  • UV Backlight, Melakukan intrepretasi sampel material dan akan terlihat diskontinuitas yang terjadi



Kutip Artike ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Liquid Penetrant Test (PT) Teknik NDE (Non-Destructive Examination), Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] EPRI. Guidelines for the Non-Destructive Examination of Boilers
[2] Feriyanto, Y.E. (2019). Macam-Macam Uji untuk Analisa Kerusakan Material Tube Condenser dan Analisa Korosi. www.caesarvery.com. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Analisa Profil Kerusakan WATER SIDE TUBE (INNER) Boiler PLTU (2 of 3)

Diposting oleh On Monday, November 16, 2020

  • Low pH/Acid Corrosion/Saline Corrosion

Terjadi ketika fluida yang mengalir memiliki pH asam yang bisa berasal dari residual acid cleaningresidual regenerant system, kebocoran tube condenser (tercemar saline water berupa SO42- dan Cl-) atau berlebihnya kandungan gas CO2 membentuk H2CO3 yang bersifat asam pH 5-5.5. Dalam proses reaksinya, iron (Fe) menggantikan hydogen ion (acid) kemudian iron ter-oksidasi dan menghasilkan gelembung gas hydogen pada permukaan iron. Berikut reaksinya: [Port and Herro, 1991] [Frayne, 2002]

Fe + 2H+ + Cl- ---> H+ Fe2+ + Cl- 

Berikut profil kerusakan tube boiler akibat acid corrosion:

Profil yang menjadi ciri khas dari acid corrosion adalah bopeng-bopeng merata dan cukup dalam di semua permukaan material. Bopeng tersebut merupakan hasil dari pecahnya gelembung gas hydogen ketika acid menyerang iron steel. Sifat ion acid SO42- dan Cl- adalah menyerang lapisan pasifasi, cathodic depolarizing agent dan kandungan ion tersebut jika tinggi di boiler water bisa menyebabkan stress corrosion cracking (SCC) [Frayne, 2002].
  • Cold End/Sulphide/Dew Point Corrosion
Fenomena failure ini pernah dialami secara langsung oleh Feriyanto (2019) di unit pembangkitan 2 x 30 MW pada peralatan Air-Pre Heater (APH). Dari hasil kajian enjiniringnya berikut data yang didapatkan:
Tampak gambar diatas material APH dari carbon steel dan corten steel mengalami kegetasan dan banyak ditemukan serpihan serta kerak material berwarna merah kecoklatan.
Desain dari APH sendiri adalah vertical seperti gambar dan korosi/failure material banyak terdapat pada ujung material.
Kemudian dilakukan analisa komposisi kerak menggunakan XRD dan didapatkan data bahwa kandungan dominannya adalah magnetite dan sulfurMagnetite pada material merupakan lapisan warna hitam sebagai pasifasi permukaan terhadap serangan korosi sedangkan sulfur berasal dari ash sisa pembakaran batubara. Dalam keadaan kering sebenarnya sulfur tidak korosif dan berbeda ketika basah/lembab sehingga harus dilakukan pendalaman operasional di APH. 
Dew Point Corrosion adalah korosi yang terjadi ketika gas didinginkan dibawah titik saturasi/kondensasi-nya. Sulfuric acid (H2SO4) ter-kondensasi pada temperatur 116-166 oC  atau lebih besar tergantung konsentrasi gas SOdan konsentrasi air-uap di flue gas [Port and Herro, 1991]. 
Berikut data operasi inlet-outlet APH PLTU 2x30 MW:
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui terdapat range temperature yang cukup jauh dan ini belum lagi jika dibandingkan dengan furnace karena menurut handbook Port and Herro (1991) dew point corrosion akan terdukung dengan adanya penurunan yang drastis temperatur dari 1650 oC (furnace) menjadi 121 oC (APH). Sehingga berdasarkan dara tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa penyebab failure APH adalah dew point corrosion karena temperatur outlet APH antara 116-166 o. Untuk memperkuat apakah berlanjut ke sulfide corrosion maka dilakukan trending CoA batubara yang digunakan, berikut datanya.

Berdasarkan data tersebut, memang didapatkan informasi bahwa kandungan sulfur cukup tinggi dan  ini merupakan karakteristik dari low rank coal, sehingga reaksi lanjutan sulfide corrosion bisa terjadi. Berikut reaksinya:

S + O2 ---> SO

Fraksi kecil antara 1-3% dari SOyang diproduksi ter-oksidasi menjadi SOlewat reaksi langsung dengan atom oksigen pada udara pembakaran.

SO2 + O ---> SO3

Bisa terjadi reaksi lain ketika SOyang diproduksi terdapat katalis seperti ferric oxide (FeO), vanadium pentaoxide (V2O5) dan nikel (Ni).

SO2 + ½ O2 + katalis ---> SO3

Ketika temperatur operasi dibawah dew point sulfuric acid, maka bisa terjadi reaksi sebagai berikut:

H2SO4 + Fe ---> FeSO4 + H2

Berikut profil kerusakan yang disebabkan oleh dew point corrosion:

  • Thermal Fatigue Corrosion Cracking
Korosi ini terjadi karena kelelahan material (cyclic tensile stress) yang dioperasikan pada area yang korosif sehingga material mudah terserang korosi. Tahap awal dari korosi tipe ini adalah oxide layer rusak kemudian terjadi crack mikrostruktur yang terlihat menggunakan mikroskop pembesaran 200x dan 400x seperti dibawah ini: [Port and Herro, 1991]
Berikut profil kerusakan tube boiler akibat thermal fatigue atau fatigue corrosion:
Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:





  • Cavitation/Kavitasi
Kavitasi adalah terdapatnya gelembung akibat fluida dioperasikan pada tekanan sangat rendah dibawah tekanan uap. Perbedaan tekanan antara inlet dan outlet yang sangat tinggi mendukung terbentuknya gelembung gas yang bisa menghantam material (water hammering). Berikut profil kerusakan tube boiler akibat kavitasi: [Port and Herro, 1991]
Berikut rangkuman jenis kerak (scale/deposit) dan karakteristiknya di tube boiler:  [Port and Herro, 1991]
Berikut rangkuman jenis failure di boiler system: [EPRI Guidelines]

Kutip Artikel Ini (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Analisa Profil Kerusakan Tube Boiler PLTU, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[2] The Babcock & Wilcox Company. Water and Steam Chemistry, Deposits and Corrosion
[4] Feriyanto, Y.E. (2019a). Macam-Macam Korosi, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[5] Feriyanto, Y.E. (2019b). Training Boiler Failure Analysis. Yogyakarta
[6] Port, R.D., and Herro, H.M. (1991). The Nalco Guide to Boiler Failure Analysis. McGraw-Hil, Inc
[8] Feriyanto, Y.E. (2019). Analisa Kebocoran Tube APH, Best Practice Experience in Power Plant. Kajian Enjiniring. Surabaya
[9] EPRI. Guidelines for the Non-destructive Exmaintaion of Boiler
[10] Frayne, C. (2002). Boiler water Treatment, Principle and Practice. Vol. 1 and 2. New York-USA
[11] EPRI. (2006). Boiler Condition Asseement Guideline, Fourth Edition

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK