Trending Topik

Eksternal/External dan Internal Treatment Boiler Water PLTU

Diposting oleh On Wednesday, June 30, 2021

Eksternal Treatment Boiler adalah tindakan penanganan diluar boiler system. Di PLTU ini diartikan sebagai persiapan air sebelum masuk siklus boiler. Terdapat macam-macam eksternal treatment boiler water PLTU sebagai berikut:

  • Chemical Softening (Pelunakan Air Menggunakan Bahan Kimia)

Softening (pelunakan) adalah lawan dari hardness (pengerasan), detail bisa dibaca di: Pengaruh Kesadahan Air (Hardness) dan Alkalinity di Boiler Water


Terdapat 2 tipe pelunakan air yaitu: (i) carbonate, menggunakan lime/kapur [Ca(OH)2]; (ii) non-carbonate, menggunakan sodium carbonate/soda ash (Na2CO3). Sistem pelunakan tersebut menghasilkan CaCO3 dan MgCO3 yang bersifat mengendap sehingga bisa terbuang blowdown.

  • Koagulasi-Flokulasi (Pengendapan Lumpur)
Penambahan bahan koagulan-flokulan diperlukan di clarifier/sedimentation pond untuk mempercepat pengendapan, detai baca di: Koagulasi/Koagulan-Flokulasi/Flokulan-Sedimentasi
  • Injeksi Anti-Biofouling Agent (Melemahkan Perkembangbiakan Biota Air)
Air yang digunakan di PLTU sebagian besar adalah air laut yang mengandung alga, lumut, tritip dan mikroba laut. Ketika biota tersebut tumbuh di sepanjang perpipaan maka bisa menyebabkan fouling sehingga mengganggu proses operasi. Detail bisa dibaca di: Anti-Biofouling Agent Oxidizing dan non-Oxidizing
  • Desalination untuk Minimalisir Salinitas Air Laut
Desalination yang umum dipakai di PLTU ada beberapa tipe, detail baca di: Macam-Macam Desalination System
  • Demineralization untuk Minimalisir Kandungan Mineral
Demineralization juga memiliki beberapa tipe, detail di: Macam-Macam Demineralization
  • pH Adjustment Menggunakan NaOH dan HCl
Buffering pH ditujukan untuk menjaga nilai pH disekitaran 7 untuk menghindarkan dari kerusakan alat. Bahan kimia yang umum digunakan adalah asam kuat (HCl) dan basa kuat (NaOH). Umumnya di PLTU letak adjustment di inlet clarifier, inlet RO dan outlet condensate. Detail baca di: Pengaruh pH di Sistem PLTU
  • Oxygen Scavenger Menggunakan Hydrazine (N2H4)

Oxygen (O2) bisa menyebabkan reaksi korosi oksida atau dissolved gas (CO2) bisa menyebabkan pH air drop karena terbentuknya asam bicarbonate. Keberadaan O2 di PLTU dipantau ketat menggunakan O2 analyzer dan peralatan utama yang bekerja untuk minimalisir adalah mechanical deaerator, detail baca di: Prinsip Kerja Mechanical Deaerator pada Gas Terlarut di PLTU. Selain itu, juga digunakan chemical hydrazine (N2H4) untuk membantu pengikatan dissolved gas yang diletakkan di outlet condensate (before deaerator) dan inlet economizer (after deaerator). Detail baca di: Memilih Jenis Oxygen Scavenger yang Tepat

Internal Treatment Boiler adalah tindakan penanganan didalam boiler system. Di PLTU ini dimulai dari inlet economizer (feed water) sampai menjadi superheated steam. Berikut macam-macam internal treatment boiler water.

  • Phospate Treatment Untuk Pelumpuran dan Buffering pH

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Eksternal/External dan Internal Treatment Boiler Water PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
Kurita. (1999). Handbook of Water Treatment, Second Edition. Japan

Pengelolaan Limbah B3 Padat dan Cair di PLTU

Diposting oleh On Thursday, June 10, 2021

Limbah padat di PLTU yang paling banyak jumlahnya ada 2 yaitu fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu dasar). Fly ash adalah abu ringan yang berasal dari sisa pembakaran batubara di boiler,  memiliki massa jenis rendah dan di-filter dengan peralatan electrostatic precipitator (ESP) sebelum dibuang ke stack. Fly ash yang tertangkap ESP akan terbuang langsung ke truk khusus berbentuk kapsul dan biasanya dikirim ke pabrik semen untuk campuran karena mengandung silica yang cukup tinggi. Sedangkan bottom ash adalah abu yang memiliki massa jenis besar dan umumnya bisa didapatkan dari dasar boiler yang merupakan sisa bahan bakar yang tidak terbakar atau pengotor umpan boiler yang terikut.
Limbah cair PLTU cukup banyak meliputi sisa regenerasi dan chemical cleaning dari WTP, buangan blowdown steam drum, ceceran oil MOT dll. Di PLTU memiliki treatment khusus untuk limbah cair berupa waste water treatment plant (WWTP) yang lengkap dengan fasilitasnya. Detail bisa dibaca di; "WWTP PLTU dan PLTGU"
Perundang-undangan tentang lingkungan hidup menetapkan tata cara pengelolaan limbah padat di PLTU mulai dari: Penghasil limbah B3-Pengangkut-Pengumpul-Pengolah-Penimbun.
Berdasarkan PP No 101 Tahun 2012 tentang "pengelolaan limbah B3" terdapat beberapa inti yang didapat sebagai berikut:
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah zat/energi/komponen lain yang karena sifat, konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan lingkungan dan kelangsungan hidup manusia
Limbah B3 adalah sisa suatu usaha/kegiatan yang mengandung B3
Limbah B3 berdasarkan kategori bahayanya terdiri atas:
  • Kategori 1
  • Kategori 2

Limbah B3 berdasarkan kategori sumbernya terdiri atas:
  • Dari sumber tidak spesifik
  • Dari B3 kadaluwarsa, tumpah dan tidak memenuhi spesifikasi akan dibuang
  • Dari sumber spesifik, terbagi menjadi 2 yaitu: (i) dari sumber spesifik umum; (ii) dari sumber spesifik khusus
Karakteristik limbah meliputi:
  • Mudah meledak
  • Mudah menyala
  • Reaktif
  • Infeksius
  • Korosif
  • Beracun
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengurangan limbah B3, meliputi:
  • Substitusi bahan, di PLTU misalnya limbah B3 berasal dari bahan bakar coal sehingga apakah coal bisa diganti dengan bahan lain agar tidak mengandung B3 yang cukup besar misalnya biomass
  • Modifikasi proses, di PLTU penggunaan ESP dan bag filter dimaksudkan agar limbah B3 yang dilepas ke lingkungan seminimal mungkin dan penempatan limbah B3 di tempat penampungan khusus yang dikontrol dengan intens
  • Penggunaan teknologi ramah lingkungan, di PLTU penjagaan temperatur operasi agar tidak membentuk NOx serta penambahan injeksi kapur untuk mengikat SOx dilakukan. Lebih detail baca di: Cara Kontrol NOx dan SOx pada Gas Buang

Lama waktu penyimpanan limbah B3:
  • 90 hari sejak limbah B3 dihasilkan sebesar 50 kg/hari atau lebih
  • 180 hari sejak limbah B3 dihasilkan <50 kg/hari untuk limbah B3 kategori 1
  • 365 hari sejak limbah dihasilkan <50 kg/hari untuk limbah B3 kategori 2 dari sumber tidak spesifik dan spesifik umum
  • 365 hari sejak limbah dihasilkan untuk limbah B3 kategori 2 dari sumber khusus
Syarat untuk dapat melakukan kegiatan penyimpanan limbah B3 adalah:
  • Wajib memiliki izin lingkungan
  • Melakukan permohonan secara tertulis kepada bupati/walikota dan melampirkan persyaratan izin (identitas pemohon, akta perusahaan, nama, sumber, karakteristik dan jumlah limbah B3)
Fasilitas penyimpnana limbah B3 dapat berupa:
  • Bangunan, di PLTU ini berupa bangunan khusus untuk menyimpan limbah B3, letaknya dipinggir dari main equipment, tertutup, terbatas akses, diberi tulisan dan tanda yang jelas
  • Tangki/kontainer, di PLTU untuk limbah cair ditaruh dalam wadah kontainer yang kuat, tertutup, terbatas akses, diberi tulisan dan tanda yang jelas
  • Silo, untuk limbah padat seperti fly ash ditempatkan di silo yang langsung terhubung dengan truk kapsul sebelum dibuang ke waste pile
  • Tempat tumpukan limbah (waste pile), di PLTU berupa area luas yang diberi alas agar tidak terjadi resapan limbah padat dan terdapat sumur pantau untuk mengontrol pencemaran lingkungan
  • Waste impoundment
Pemanfaatan limbah B3 meliputi:
  • Sebagai substitusi bahan baku, di PLTU ini digunakan sebagai bahan pembuat batako yang semula menggunakan semen dan pasir, sekarang diganti dengan fly-ash dan bottom-ash yang bagus kandungan silica-nya
  • Sebagai substitusi sumber energi
  • Sebagai bahan baku, di PLTU limbah padat dikirimkan ke pabrik semen untuk campuran silica karena sangat bagus kadar-nya untuk campuran bahan baku semen
  • Sesuai perkembangan IPTEK
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Pengelolaan Limbah B3 Padat dan Cair di PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] PP No 101 Tahun 2012
[2] Feriyanto, Y.E. (2016). Training & Sertfikasi Ahli K3 Kimia. Yogyakarta

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Hubungan Conductivity (EC) dan Total Dissolved Solid (TDS)

Diposting oleh On Sunday, May 30, 2021

Conductivity/Electrical Conductivity (EC) adalah kemampuan larutan dalam menghantarkan arus listrik, hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa hal seperti: konsentrasi dissolved ion, kekuatan ion, dan temperatur pengukuran. EC memiliki satuan µS/cm. 

Total Dissolved Solid (TDS) adalah banyaknya jumlah kandungan padatan terlarut (dissolved ion) pada larutan yang meliputi padatan organik maupun anorganik, memiliki satuan mg/L=ppm atau ppb. 
Apakah antara keduanya terdapat saling hubungan?? secara teori bisa dilakukan pendekatan hubungan antara keduanya. Tentu pendekatan itu didasarkan pada trial percobaan beberapa kali dan menemukan kecenderungan kesamaan. Persamaan umum/hubungan conductivity dan TDS adalah: [Rusydi, 2018]
TDS = k. EC (pada 25 oC)


Hubungan antara conductivity dan TDS tidak selalu linear, bahkan penelitian yang sudah lama dilakukan sampai sekarang masih menggunakan konstanta (k) dalam range dan ini bukan angka mutlak namun hanya pendekatan dari beberapa trial experiment. Nilai konstanta (k) bisa dilihat di tabel diatas dalam range 0.55-0.75.
Berikut percobaan Rusydi (2018):
Berdasarkan percobaan tersebut bisa didapatkan kesimpulan:
  • Nilai konstanta (k) untuk fresh water di 2 tempat berbeda menunjukkan hasil yang berbeda yaitu 0.65 dan 0.89. Sehingga nilai konstanta (k) untuk mencari pendekatan hubungan EC dan TDS bukan mutlak sesuai standar namun harus dicari berdasarkan trial percobaan masing-masing kondisi sampel
Berdasarkan Kurita Handbook of Water Treatment Second Edition (1999), berikut rumus hubungannya:
  • Nilai konstanta (k) yang disarankan dalam rentang 0.7-0.75
Berdasarkan beberapa literatur dan percobaan dari peneliti terdahulu bisa disimpulkan bahwa sebenarnya terdapat hubungan antara EC dan TDS walaupun tidak selalu linear dan nilai konstanta (k) harus dilakukan trial experiment untuk menentukan kedekatnnya.

Di PLTU, conductivity dimonitor ketat meliputi di beberapa titik seperti:
  • Outlet mixed bed, ditujukan untuk menganalisa kemampuan resin dalam ion exchange
  • Outlet condensate, ditujukan untuk menganalisa kebocoran tube condenser
  • Saturated steam, ditujukan unuk menganalisa potensi carry-over steam drum dan potensi korosi di boiler
  • Superheated steam, ditujukan untuk menganalisa kualitas steam yang masuk turbine
Pengujian TDS lebih sulit dan mahal daripada EC, namun memiliki kelebihan keakuratan untuk penentuan kandungan padatan terlarut fase larutan. Teknik yang dipakai untuk mengukur TDS yang valid adalah gravimetri dengan memanaskan larutan diatas sedikit titik didihnya (jika air dipanaskan pada 105-110 oC) sehingga pelarut menguap dan yang tersisa hanya padatan (endapan) yang ditimbang antara sebelum dipanaskan dengan sesudah dipanaskan.

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Hubungan Conductivity (EC) dan Total Dissolved Solid (TDS), Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook
[2] Rusydi, A.F. (2018). Correlation Between Conductivity and Total Dissolved Solid in Various Type of water: A Review. J. of Earth and Environmental Science, Vol. 118
[3] Kurita. (1999). Handbook of Water Treatment, Second Edition. Japan

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Proses Terbentuknya Varnish (Material Tak Larut)-Sludge (Lumpur)-Soot (Jelaga) di Oil Tribology

Diposting oleh On Tuesday, May 25, 2021

Varnish (Jelaga) adalah lapisan tipis ada permukaan material yang disebabkan oleh produk oksidasi pada oli pelumas. Varnish bersifat lengket seperti lumpur pekat tipis yang bisa menyebabkan kegagalan operasional peralatan [Kon et al, 2020]. Varnish berbeda dengan sludge, dimana varnish ini menempel tipis pada permukaan yang dilewati lubricating oil [Sasaki et al, 2013]. Penempelan ini karena sifat polaritas-nya dan menempel pada peralatan dengan temperatur tinggi (bearing turbine, heat exchanger) pada kisaran temperatur 250 o[Prasad et al, 2008], namun terbentuknya pada temperatur rendah karena tingkat kelarutan material menurun seiring penurunan temperatur [Farooq, 2009]

Penempelan ini sebagai akibat tidak terlarutnya residu aditif/organik. Varnish tidak bisa dihilangkan dengan cara filterisasi dan menggunakan cara-cara tertentu seperti berikut: [Farooq, 2009]. 

  1. Chemical cleaning-flushing, berfungsi sebagai aditif pada oli sehingga menghambat pembentukan varnish
  2. Electrostatic charge induced agglomeration-retention, berfungsi sebagai pelunak varnish deposit sehingga mudah larut kembali
  3. Adsorption pada medium adsorbent, berfungsi menghilangkan sifat polaritas dari varnish sehingga tidak mudah lagi menempel

Proses Terbentuknya Varnish: [Farooq, 2009]

  1. Setiap oil turbine pasti membentuk material insoluble (varnish) ketika beroperasi
  2. Laju pembentukan material insoluble sangat dipengaruhi pola operasi seperti oksidasi, hot spot, kontaminasi kimia, filter yang mempengaruhi electrostatic discharge, micro-dieseling dan kompresi adiabatik karena gelembung-gelembung udara masuk ke oli
  3. Oksidasi disebabkan oleh udara atmosfer masuk ke sistem atau degradasi dari aditif dan senyawa hydrocarbon (-CH-) pada oil
  4. Hot spot bisa disebabkan karena kebocoran gland seal steam, (umumnya temperatur steam 450-550 oC)
  5. Gelembung udara bisa berasal dari kebocoran piping/seal pompa dan ketika terikut kompresi maka bisa menambah temperatur oil sampai 1000 oF = 538 oC
  6. Electrostatic discharge bisa ditimbulkan dari gesekan internal antara oil dan material logam seperti filter sehingga menimbulkan sparking

Sludge (lumpur) umumnya terdapat pada peralatan dengan temperatur rendah (botom tank), bisa dihilangkan dengan filterisasi atau drain sedimen. Sludge terbentuk karena adanya kenaikan viskositas pada temperatur tinggi sebagai akibat dari reaksi polycondensation dan polymerisation, yang bersifat tidak larut, memiliki berat molekul yang besar dan terendapkan [Rasberger, 1994]. Proses sesuai diagram berikut:

Sludge pada oil turbine bisa disebabkan oleh reaksi antara hydrocarbon (-CH-) pada oil dengan residu antioxidant (amines, phenolic), defoamer, antirust dan demulsfier (polyester) [Liu et al, 2016]. Anti-Oxidant/Oxidation Inhibitor jenis phenol cocok digunakan untuk temperatur rendah sedangkan amine cocok pada temperatur tinggi [Farooq, 2009]. Semua aditif tersebut dimaksudkan untuk menjaga kualitas oil ketika digunakan seperti oxidation stability, wear, TAN, TBN, varnish dan sludge namun aditif tersebut ada life-time atau batas kelarutan sehingga seiiring meningkatkan operating time bisa menimbulkan residu yang berdampak pada menurunnya kualitas oil. Selain itu, sludge juga bisa terbentuk ketika aditif pada oli ter-ekspose pada temperatur tinggi yaitu 290-540 o[Liu et al, 2016]. 

Pada bearing steam turbine kemungkinan terpapar temperatur tinggi adalah kebocoran seal steam turbine atau hasil gesekan vibrasi bearing turbine yang terlalu tinggi. Sludge bisa dilakukan uji dengan: [Liu et al, 2016] [Farooq, 2009]

  • FTIR, digunakan untuk menganalisis degradasi oil dan pengurangan antioxidant pada oli
  • SEM, digunakan untuk menganalisis surface morfology dari sludge
  • Thermo Gravimetric (TG), untuk menganalisis thermal stability dan thermal degradation pada oli
  • Energy Dispersive Analysis X-ray (EDAX), digunakan untuk mengetahui komponen/element kimia sludge, alat ini diintegrasikan dengan SEM sehingga terkenal dengan nama SEM-EDX atau SEM-EDAX dan dari penelitian Liu et al (2016) didapatkan senyawa kimi pada sludge adalah C, H, O, N dan <4% wt metal 

Proses Degradasi Oil Membentuk Sludge: [Liu et al, 2016]

  1. Reaksi yang terjadi adalah autocatalytic reaction
  2. Oksidasi dan degradasi oil disebabkan oleh kombinasi reaksi antara air dan udara atmosfer pada temperatur tinggi
  3. Proses oksidasi diawali dengan putusnya atom-H pada senyawa hydrocarbon oil (-CH-)
  4. Kemudian diikuti terbentuknya alkyl radical + O2 dan menghasilkan alkyl-peroxyl radical yang kemudian + H(atom hydorcarbon yang tidak bereaksi)
  5. Free radical yang terbentuk tersebut berekasi dengan hydrocarbon radical + (alcohol, aldehyde, keton dan carboxylic acid) oleh polimerisasi kondensasi membentuk SLUDGE
Beberapa Penyebab Sludge or Varnish:
  1. Aerasi pada fluida
  2. Percikan api/listrik (spark)
  3. Degradasi panas saat penyimpanan oil
  4. Kontaminan anti-freeze
  5. Pengumpalan jelaga (soot)
  6. Oksidasi oil
  7. Hydrolisis
  8. Penyimpanan kondisi dingin berkepanjangan
  9. Kontaminan caustic detergent
  10. Oil kontak dengan permukaan panas
  11. Kontaminan radiologi
  12. Efisiensi pembakaran mesin bakar yang rendah
  13. Fuel yang kaya kandungan aromatic
  14. Kontamination sulfation
Soot (jelaga) adalah padatan sebagai produk samping pembakaran dan keberadaanya normal pada motor bakar/diesel engine. Soot (jelaga) ini ada pada sekeliling piston dan keberadaan oli pelumas adalah mengikat soot agar tidak menebal dan gesekan dengan dinding ruang piston.

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Pembahasan Lengkap Varnish (Jelaga) dan Sludge (Lumpur) di Oil Tribology, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:

[1] Kon, T., Honda, T., and Sasaki, A. (2020). Estimation of the Oxidative Deterioration of Turbine Oil Using membrane Patch Color. J. of Advances in Tribology, ID 1708408

[2] Liu, Z., Wang, H., Zhang, L., Sun, D., Cheng, L., and Pang, C. (2016). Composition and degradation of Turbine Oil Sludge. J. Therm Anal Calorim

[3] Rasberger, M. (1994). Oxidative Degradation and Stabilisation of Mineral Oil Based Lubricants. Chemistry and Technology Lubricants, Chapman & Hall

[4] Prasad, R.S., Ryan, H.T., Dell, S., Pheneger, D.D., and Sheets, R.M. (2008). Formation of Deposits from Lubricants in Hign Temperature Applications

[4] Sasaki, A., Aoyama, H., Honda, T, Iwai, Y., and Yong, C.K. (2013). A Study of the Colors of Contamination in Used Oils. Tribology Transactions

[5] Farooq, K. (2009). Varnish Removal and Control in Turbine Lubrication Systems. Proceeding of the ASME 2009 Power Conference. USA

[6] EPRI. (2002). Lube Oil Predictive Maintenance, Handling, and Quality Assurance Guideline

Condenser/Condensor/Kondensor Industri Beserta Bagian dan Fungsinya

Diposting oleh On Monday, May 10, 2021

Condenser/Condensor/Kondensor adalah alat untuk peng-konversi steam/uap menjadi cair. Pada beberapa industri yang memanfaatkan siklus uap-air untuk efisiensi pasti menggunakan condenser tak terkecuali di PLTU yang pasti ada peralatan ini. Condenser/Kondensor adalah peralatan untuk kondensasi sehingga menghasilkan produk akhir berupa kondensat/condensate water.

Condenser/kondensor dibedakan menjadi beberapa macam seperti berikut:

  • Berdasarkan lewatan, yang umum dijumpai ada 2 yaitu: 1x lewatan dan 2x lewatan
  • Berdasarkan jenis pendingin/cooling, yang umum dijumpai yaitu: pendingin air (laut, sungai, demineral, coolant) dan udara
  • Berdasarkan tipe, yang umum dijumpai yaitu: shell and tube dan plate
  • Berdasarkan arah aliran, yang umum dijumpai adalah searah, berlawanan dan tegak lurus
  • Berdasarkan siklus, yang umum dijumpai adalah open (once through) dan close (cooling tower)

Di PLTU, jenis condenser/kondensor adalah 2x lewatan shell and tube, tegak lurus dengan pendingin air laut/air sungai. Berikut gambar condenser di PLTU:

Jika dibuat skema penampangnya seperti berikut:
Hampir semua PLTU memiliki penampang condenser seperti diatas dimana tube berbahan dari bermacam-macam material tergantung dari pabrikan yang telah menghitung kebutuhan pertukaran panas antara steam dan air pendingin, berikut tabel conductifity thermal beberapa material:
Cara pembacaan conductivity menggunakan %IACS, untuk cara membacanya bisa dibaca di artikel: "Analisa ECT dan Teori Pendukungnya"
Pengalaman penulis yang telah mengunjungi PLTU dari Aceh s/d Maluku masih menemukan 3 jenis material tube condenser yang digunakan yaitu: PLTU di SumSel menggunakan SS 304, PLTU di KalBar menggunakan kuningan/brass dan sebagian besar lainnya adalah Titanium. Kemudian penulis melakukan kajian analisis ternyata perbedaan yang mendasar pemilihan material tersebut karena didasarkan pada:
  1. Properties cooling water, untuk air laut pasti menggunakan titanium karena memang high corrosion resistance, untuk air sungai/payau menggunakan SS 304 atau brass
  2. Keefektifan pertukaran panas, untuk hasil maksimal dan dipastikan tingkat abrasiveness rendah maka urutan pemilihan adalah brass, SS dan Ti
  3. Dimensi tube condenser, untuk panjang tube 9-10 m dengan pendingin air sungai yang tingkat korosifitas rendah menggunakan SS 304, sedangkan yang memiliki panjang 4-6 m pendingin air laut korosifitas tinggi menggunakan Ti
Condenser/kondensor di PLTU untuk tube dialiri oleh pendingin air laut/sungai dan shell dialiri oleh uap tekanan rendah (LP steam). Air pendingin bisa memenuhi seluruh tube dari bawah sampai atas karena adanya vacuum pump pada ujung vessel inlet condenser, sehingga air yang masuk dipaksa untuk naik keatas sehingga memenuhi seluruh area tube-in.
Bagian-Bagian dari Condenser/Kondensor Meliputi:
  • Shell
Bagian luar tube yang dilewati uap tekanan rendah dari turbine
  • Tube
Pipa yang dilewati oleh air pendingin pada sisi dalam dan sisi luar kontak dengan steam sehingga terjadi pertukaran panas dan steam-pun ter-kondensasi menjadi cair (condensate)
  • Support
Penyangga bagian tube didalam shell condenser, terdiri dari beberapa bagian agar tube yang panjang tidak bengkok dan kuat menahan tekanan dari steam maupun air pendingin
  • Cover
Penutup luar condenser
  • Water Box
Tempat akumulasi air pendingin pada tube-in maupun tube-end. Di tube-in air terkumpul sebelum masuk tube dan tube-end air terkumpul sebelum kembali lagi melewati tube (2x lewatan)
  • Hotwel
Tempat penampungan condensate water terletak dibawah condenser
  • Anoda Tumbal/Sacrifial Anode/Cathodic Protection
Logam yang terpasang di beberapa sudut condenser untuk menghindarkan dari potensi korosi material inti condenser. Material terpilih didasarkan pada potensial elektroda pada Deret Volta yang diharapkan akan mengalami reduksi terlebih dahulu dibandingkan material yang dilindungi. Di PLTU daya besar terdapat impressed current yang juga merupakan salah satu tipe cathodic protection. Lebih detail perbedaan keduanya bisa dibaca di artikel berikut: "Macam-Macam Cara Pencegahan Korosi"
  • Vacuum Priming Pump/Venting
Peralatan/accesoris yang terpasang pada ujung atas inlet condenser yang berfungsi menarik air agar memenuhi seluruh bagian tube sehingga tube berisi air dan terhindarkan dari over-heat karena terpapar steam terus-menerus
  • Baffle
Sekat yang membagi aliran pendingin antara inlet dan outlet
  • Ball Cleaning
Perlengkapan pembersih tube ketika continuous operation, prinsipnya adalah mendorong rubber ball ke inlet tube sampai outlet tube sehingga sediment di inner tube yang mengganggu proses pertukaran panas bisa terbuang
  • Debris Filter
Perlengkapan sebelum air pendingin masuk ke inlet tube berupa filter auto-backwash yang bisa menyaring air pendingin dari kotoran padatan seperti plastik, cangkang kerang, kayu yang bisa menyumbat tube
  • Injeksi Anti-Biofouling
Prinsip yang digunakan adalah menghambat kehidupan biota laut bisa dengan cara melemahkan perkembangbiakan, meracuni atau membuat mabuk sehingga belum sempat beraktifitas di sepanjang aliran air pendingin. Injeksi yang sering ditemui adalah chlorin cair dan gas, copper ion, non-oxidizing agent. Lebih detail pembahasan tersebut silakan dibaca di artikel: "Pemilihan Macam-Macam Anti-Biofouling Agent"
  • Tapping Point Sampling
Sampling yang diukur di condenser meliputi chloride, pH, conductivity, sodium (optional), hardness (Ca & Mg), silica (optional). Untuk lebih detail dampak pada parameter tersebut bisa dibaca di artikel: "Pengaruh pH di Sistem PLTU"
  • Measurement Analyzer
Monitoring online selama condenser beroperasi difungsikan untuk mengontrol kinerja agar sistem vacuum optimal sehingga kondensasi maksimal dan efisiensi PLTU meningkat. Analyzer yang pasti ada adalah pressure indicator (PI), temperature indicator (TI), flow indicator (FI). Analyzer ini digunakan untuk mengkomunikasikan rekomendasi ketika condenser mengalami ketidaknormalan misalnya membutuhkan shutdown, derating 1 sisi (half condenser), mengaktifkan ball cleaning, pemeliharaan debris filter atau penambahan injeksi anti-biofouling dll.
Beberapa Macam Uji pada Condenser:
  1. Eddy Current Testing (ECT)
  2. Helium Leak Detector
  3. Fluorescence Leak Detector
  4. Vacuum Leak Detector
  5. Ultrasonic Leak Detector
Salah satu parameter ukur optimalnya kinerja condenser adalah condenser back-pressure atau vacuum condenser. Apakah keduanya berbeda?? TIDAK, itu hanya penilaian umur yang berbeda sudut pandang saja, dimana condenser back-pressure adalah tekanan yang diberikan ke turbine (tekanan balik) sedangkan vacuum condenser adalah tekanan ke arah condenser (tekanan lurus searah LP steam). Condenser dikatakan optimal ketika condenser back-pressure bernilai rendah atau vacuum condenser bernilai tinggi. Berdasarkan EPRI "Heat Rate Improvement" terdapat beberapa penyebab condenser vacuum low sebagai berikut:
  1. Kebocoran tube condenser, hal ini mengakibatkan steam lolos ke lingkungan ikut air pendingin sehingga vacuum menjadi rendah
  2. Beban condenser berlebih, disebabkan karena kapasitas BFP dan heater drain pump yang terlalu kecil
  3. Tube fouling, hal ini menyebabkan pertukaran panas menjadi tidak optimal sehingga condensate yang dihasilkan menurun
  4. Rendahnya flowrate CWP, menyebabkan transfer panas turun
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Condenser/Condensor/Kondensor Industri Beserta Bagian dan Fungsinya, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
EPRI. (1998). Heat Rate Improvement Reference Manual

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Heat-Rate Improvement untuk Efisiensi PLTU Berdasarkan Standard EPRI

Diposting oleh On Friday, April 30, 2021

Pada perhitungan laporan efisiensi suatu pembangkit listrik sering ditemukan pada dokumen serah terima dari EPC ke owner yaitu "as-designed" dan "as-built". Terdapat perbedaan antara keduanya yaitu as-designed adalah proses flow berdasarkan hasil perhitungan software/asusmsi yang telah ditetapkan diawal, sedangkan as-built adalah kondisi riil yang terpasang dengan beberapa peralatan/part/valve ada yang diubah menyesuaikan dengan kondisi di lapangan, kualitas bahan bakar yang berbeda, air umpan dan air pendingin yang berbeda dll. Ketika perhitungan untuk laporan efisiensi maka baseline performa PLTU sekarang dibandingkan dengan hasil commisioning as-built. Perbedaan antara "as-designed" dan "as-built" terdapat pada beberapa hal sebagai berikut:

  • Extraction line pressure drop
  • Reheater pressure drop
  • Pengurangan performa desain turbine meliputi perubahan HP, IP dan LP
  • Pengurangan performa desain boiler meliputi superheat & reheat spray flow, excess air yang dibutuhkan dan efisiensi APH

Pada perhitungan efisiensi thermal PLTU overall terdapat ketentuan asumsi didalam EPRI sebagai berikut:
Ketika akan melakukan commisioning atau pembuatan baseline baru untuk perhitungan efisiensi PLTU, maka dibuatkan grafik load vs heat rate dan sesuai standard EPRI sebagai berikut:
Terdapat beberapa toleransi keakuratan yang disyaratkan di EPRI sebagai berikut:
Batasan toleransi tersebut didapatkan dari perbandingan alat ukur yang ter-kalibrasi, berikut range batasan yang disyaratkan EPRI:
  • Coal flow rate ≤ 1%
  • Uji laboratorium ± 1%
  • Pengukuran kelistrikan 0.1-0.5%
Untuk mengetahui asal kemungkinan heat-rate losses maka di EPRI sudah dibuatkan heat-rate logic tree, sehingga pengguna bisa langsung melakukan optimasi kemungkinan losses yang menyebabkannya, berikut kutipan tersebut:
Tipe-Tipe Heat-Rate Losses Secara OVERALL Seperti:
1. Boiler Losses, bisa disebabkan karena:
  • Penurunan efisiensi boiler
  • Kenaikan exit flue gas
  • Leakage air heater
  • Kelebihan excess air/kenaikan exit O2

2. Condensate/Feed Water Losses, bisa disebabkan karena:
  • Peningkatan terminal temperature difference (TTD)
  • Peningkatan drain cooler approach (DCA)
  • Penurunan kinerja boiler feed pump (BFP)

Terminal Temperature Difference (TTD) adalah mengukur seberapa dekat jarak temperature antara feedwater outlet dengan saturation temperature-nya
Drain Cooler Approach (DCA) adalah mengukur seberapa dekat jarak temperature antara heater drain temperature outlet dengan feedwater inlet 
3. Circulating Water Losses, bisa disebabkan karena:
  • Peningkatan condenser backpressure atau vacuum condenser rendah
4. Turbine Losses, bisa disebabkan karena:
  • Penurunan efisiensi pada HP, IP & LP steam
  • Penurunan steam flow
  • Penurunan generator output
Beberapa Penyebab Condenser Vacuum Low sebagai berikut:
  1. Kebocoran tube condenser, hal ini mengakibatkan steam lolos ke lingkungan ikut air pendingin sehingga vacuum menjadi rendah
  2. Beban condenser berlebih, disebabkan karena kapasitas BFP dan heater drain pump yang terlalu kecil
  3. Tube fouling, hal ini menyebabkan pertukaran panas menjadi tidak optimal sehingga condensate yang dihasilkan menurun
  4. Rendahnya flowrate CWP, menyebabkan transfer panas turun
  5. Peningkatan temperature inlet air pendingin, ini menyebabkan kemampuan pertukaran panas
Beberapa Penyebab Kenaikan Make-Up Water Consumption sebagai berikut:
  1. Kebocoran tube boiler, ini tentu akan membuang banyak feedwater (demineralized water) sehingga air siklus akan turun
  2. Excess venting deaerator, ini berisi steam dan feedwater sehingga ketika venting terlalu besar
  3. Excess blowdown
  4. Excess steam lost pada venting condenser
  5. Kebocoran valve
  6. Kebocoran seal pompa
Beberapa Penyebab Tingginya Dry-Gas Losses sebagai berikut:
  • Terlalu tinggi excess air, hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti:
  1. Penyumbatan pada air-preheater (APH), bisa terjadi pada hot-side (dalam) atau cold-side (luar) namun lebih banyak pada sisi luar karena moisture yang terbentuk sehingga mencapai titik dew-point-nya. Dampaknya adalah peningkatan exit flue gas temperature karena kurang maksimal terserap oleh udara yang disemburkan oleh fan
  2. Memastikan tipe soot-blowing yang cocok untuk APH, biasanya menggunakan 2 tipe yaitu: (i) dry superheated steam; (ii) compressed air (ini tidak sebagus penggunaan oleh steam)
  3. Korosi APH
  • Rendah penyerapan panas di boiler system, bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti:
  1. Kebocoran di boiler dan ducting
  • Ketidak-akuratan O2 monitoring system
Beberapa Penyebab Tingginya Unburned Carbon Losses sebagai berikut:
  • Excess air yang kurang tepat
  • Mixing yang kurang pas antara udara dan fuel di furnace
  • Size coal yang tidak sesuai desain
  • Tingginya surface moisture pada batubara
Beberapa Penyebab Tingginya Throttle Pressure/Main Steam Valve (MSV) Turbine sebagai berikut:
  • Instrument error, hal yang paling utama diduga adalah alat ukur instrumentasi dan cara cepat yang bisa dilakukan adalah membandingkan antara pressure di SH outlet drum dengan MSV
  • Tidak mengikuti set point yang telah ditetapkan, memverifikasi apakah MSV turbine tidak fully open
Beberapa Penyebab Rendahnya Throttle Temperature sebagai berikut:
  • Instrument error, hal yang paling utama diduga adalah alat ukur instrumentasi dan cara cepat yang bisa dilakukan adalah membandingkan temperature antara SH outlet & throttle temperature
  • Throtlle pressure/MSV terlalu tinggi
  • Tingginya desuperheater flow, DSH berfungsi menurunkan temperature SH agar sesuai standar Siklus Rankine. Lebih detail baca: Cara Menurunkan Temperature Superheated Steam
  • Permukaan SH kotor, hal ini bisa disebabkan karena slagging dari sisi outside tube (diselesaikan dengan cara soot-blowing) atau deposit di inside tube (diselesaikan dengan chemical cleaning). Baca detail di: Proses Chemical Cleaning di Tube Boiler
  • Rendahnya excess air, hal ini menyebabkan pembakaran tidak sempurna terjadi sehingga kalor yang belum terbakar masih banyak sehingga kalor yang terserap oleh feedwater menjadi turun
  • Rendahnya set-point
Beberapa Penyebab Tingginya SH Spray Flow (Desuperheater-DSH) sebagai berikut:
  • Instrument error, hal yang paling utama diduga adalah alat ukur instrumentasi dan cara cepat yang bisa dilakukan adalah menghitung flow dari steam temperature masuk dan yang meninggalkan desuperheater
  • Steam temperature set-point terlalu rendah
  • Excess air terlalu tinggi
  • Temperature feedwater terlalu rendah, ini bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
  1. HPH bypass, mengecek temperature sebelum & sesudah bypass. Melakukan close valve dan me-repair jika terjadi leakage
  2. Tingginya temperature difference (TD) HPH
  • Valve DSH bocor
Beberapa Penyebab Tingginya Auxiliary Power sebagai berikut:
  • Instrument error, hal yang paling utama diduga adalah alat ukur instrumentasi dan cara cepat yang bisa dilakukan adalah mengukur per titik area menggunakan ampere meter, melakukan performance test beban maksimum, mengukur dengan alat PDMA dll
  • Rendahnya efisiensi fan
  • Tingginya excess air, ini memaksa fan bekerja extra sehingga overload dan konsumsi power juga meningkat
Beberapa Penyebab Tingginya Carbon Monoxide (Pembakaran Tidak Sempurna) sebagai berikut:
  • Instrument error, hal yang paling utama diduga adalah alat ukur instrumentasi dan cara cepat yang bisa dilakukan adalah mengecek CO menggunakan portable flue gas analyzer pada beberapa titik di flue gas seperti inlet-outlet air heater
  • Rendahnya excess air, udara yag kurang menyebabkan oksigen berkurang sehingga untuk mencapai pembakaran sempurna belum bisa tercapai
  • Rendahnya distribusi udara di boiler furnace
  • Atomization dari fuel yang rendah (untuk bahan bakar gas cair)
Beberapa Penyebab Tingginya Unburned Carbon sebagai berikut:
  • Pembakaran yang tidak sempurna
  • Bubbling bahan bakar tidak sempurna di boiler furnace (pada CFB boiler)
  • Densitas coal yang terlalu besar
Beberapa Penyebab Tingginya Air Heater Leakage/Rendahnya Air Heater Effectiveness sebagai berikut:
  • Instrument error, hal yang paling utama diduga adalah alat ukur instrumentasi dan cara cepat yang bisa dilakukan adalah mengecek pressure drop air heater
  • Korosi pada air heater, hal ini bisa berdampak pada bocornya air heater sehingga flue gas terikut aliran udara atmosfer
Beberapa Penyebab Rendahnya Condenser Cleanliness sebagai berikut:
  • Instrument error, hal yang paling utama diduga adalah alat ukur instrumentasi dan cara cepat yang bisa dilakukan adalah membandingkan temperature hotwell dengan back-pressure, melakukan verifikasi temperature outlet cooling water dengan mengukur flow dibandingkan dengan kurva pompa
  • Macrofouling, ini berbentuk biota laut yang berukuran besar seperti kerang, tritip dll. Bisa diatasi dengan melakukan inspeksi inlet tube-sheet, membandingkan pressure antara aktual dengan tube bundle untuk mengecek pressure drop
  • Microfouling, ini berbentuk biota laut yang berukuran kecil (mikroorganism/bakteri/tumbuhan laut).  Bisa diatasi dengan melakukan evaluasi injeksi chlorine dan pembersihan tube (ball cleaning)
  • Kebocoran excess air

Beberapa Penyebab Tingginya HPH/LPH Terminal Temperature Difference (TTD) sebagai berikut:
  • Instrument error, hal yang paling utama diduga adalah alat ukur instrumentasi dan cara cepat yang bisa dilakukan adalah mengecek steam pressure di heater dengan turbine (standar turbine pressure ±3% lebih tinggi)
  • Tube fouling
  • Leakage tube
  • Venting yang kurang maksimal
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Heat-Rate Improvement untuk Efisiensi PLTU Berdasarkan Standard EPRI, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
EPRI. (1998). Heat Rate Improvement Reference Manual

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI

Stoikometri pada Pembakaran Batubara (Excess Air dan Air Fuel Rasio) di Boiler Furnace PLTU

Diposting oleh On Tuesday, April 20, 2021

Pembakaran batubara (hydrocarbon kompleks) di boiler furnace diharapkan terjadi pembakaran sempurna menghasilkan karbondioksida (CO2yang bercirikan asap putih atau bening dan menghindarkan dari pembakaran tidak sempurna menghasilkan karbon monoksida (CO) yang bercirikan asap hitam pekat. Ketika pembakaran batubara tidak sempurna berarti terdapat carbon yang tidak habis terbakar (unburned coal) sehingga efisiensi pembangkit menurun dan terjadi pemborosan energi bahan bakar. Pembakaran tidak sempurna terjadi karena minimnya excess air (O2). Tujuan dari excess air pada pembakaran di boiler furnace adalah untuk pembakaran sempurna menghasilkan (CO2) dan menghindarkan pembakaran tidak sempurna (CO). Sesuai reaksi:

C + O ---> CO

C + 3/2 O2 ---> CO2

Kebutuhan O2 antara kedua reaksi tersebut berbeda, dimana kebutuhan yang lebih besar adalah untuk menghasilkan CO2 dan inilah tujuan excess air.

Secara teoritis berarti dalam pembakaran hydrocarbon (coal) harus melebihkan sedikit bahan bakar agar terjadi pembakaran sempurna dan harus melakukan perhitungan secara kimia perbandingan mol antar reaktan untuk menghasilkan produk yang dikenal dengan istilah stoikiometri. Enjiniring pembangkitan harus memiliki formula untuk mengetahui kebutuhan udara pembakaran ketika spesifikasi batubara yang masuk berbeda-beda. Disinilah peranan penting chemical engineer di PLTU. Seperti contoh CoA batubara berikut:



Berikut urutan cara menghitung excess air dan kebutuhan udara pembakaran di boiler furnace:

  1. Mendata dari CoA %berat unsur penyusun utama batubara yaitu: C, H, O, N dan S
  2. Mencari di tabel periodik berat atom (Ar/Mr) setiap unsur yaitu: C (12), H(1), O (16), N (14) dan S (32)
  3. Menghitung mol unsur=gr/mr dengan gr dibuat basis misalnya 100 gram atau 100 kg agar mudah menghitungnya,kemudian mengalikan dengan %berat masing-masing unsur
  4. Menghitung mol/mol C. ini dimaksudkan agar rumus molekul kimia batubara menjadi sederhana yaitu membagi semua mol dengan mol terbesar (untuk kasus ini C adalah mol terbesar)
  5. Membentuk rumus kimia batubara yaitu: CxHyOzNxS

  6. Mencari data komposisi udara dan ini sudah baku yaitu: 20.9% ~21% O2 dan 78% Nsehingga perbandingan O2 : N= 1 : 3.762
  7. Melanjutkan penyetaraan reaksi pembakaran sesuai stoikimoteri berikut: A CxHyOzNxSy (hydrocarbon) + B (O2 + 3.762 N2) udara ---> C CO2 + D H2O + E SO2 + F N2

  8. Kemudian menghitung rasio air/fuel
Berdasarkan perhitungan tersebut dengan basis massa per ton maka setiap 1 ton fuel (coal) maka membutuhkan 8.58 ton udara. Umumnya satuan flow udara pembakaran di PLTU adalah m3/h sehingga harus di-konversi ke ton/h, berikut detailnya:
  • Rumus n=mol=massa/mr dengan mr udara= 28.9 massa/mol
  • Densitas udara= 1.225 kg/m3
  • Satuan yang umum di udara pembakaran (PA + SA Fan) adalah m3/h, sehingga untuk konversi ke ton/h = m3/h x 1.225 kg/m=1.225 kg/h=0.001225 ton/h

Poin-Poin Pentingnya:
  • Setiap bahan bakar (hydrocarbon) PASTI terdiri dari unsur berdasarkan urutan komposisi prioritas C, H, O, N dan S 
  • Setiap pembakaran PASTI terdiri dari reaktan hydorcarbon + O2 atau karena di PLTU ini digunakan untuk menghitung kebutuhan udara pembakaran dalam massa maka reaksi pembakarannya adalah hydorcarbon + udara (O2 + N2) walaupun dalam pembakarannya nanti Ntidak bereaksi karena boiler furnace masih <1200 oC sehingga diakhir reaksi (produk) Nharus dimunculkan kembali
  • Pembakaran batubara PASTI menghasilkan produk gas berupa CO2, H2O, CO2 dan N2 (akibat tidak bereaksi kimia)

Berdasarkan handbook Frayne (2002) tersebut didapatkan informasi yaitu:
  • Excess air untuk bahan bakar batubara (coal) adalah 20-50%
  • Excess air untuk bahan bakar gas atau minyak adalah 5-20%
  • Setiap 10% excess air berdampak pada kehilangan 1% efisiensi boiler
Menurut Basu (2015) sebagai berikut:
Excess air untuk beberapa tipe boiler PLTU berbeda-beda sebagai berikut:
  • Stoker: 20-30%
  • Bubbling Fluidized Bed (BFB): 20-25%
  • Circulating Fluidized Bed (CFB): 15-20%
  • Pulverized: 15-30%
Proses pembakaran batubara di boiler PLTU mengikuti skema berikut: [Basu, 2015]
Berdasarkan grafik tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
  1. Pada temperatur 200 oC, batubara mengalami drying & heating
  2. Pada temperatur 300-800 oC, kandungan volatile batubara mulai terlepas
  3. Pada temperatur >800 oC, terjadi pembakaran sempurna batubara

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2021). Stoikometri pada Pembakaran Batubara (Excess Air dan Air Fuel Rasio) di Boiler Furnace PLTU, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2020). Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[2] Frayne, C. (2002). Boiler Water Treatment Principles and Practice. Vol. 1. New York-USA
[3] Basu, P. (2015). Circulating Fluidized Bed Boiler, Design Operation and Maintenance. Canada

Ingin Konsultasi dengan Tim Website, Silakan Hubungi DISINI