Kandungan air pada oil lubricating/oli pelumas dihindari keberadaannya karena akan menurunkan kemampuan oli dalam sistem pelumasan. Terdapat beberapa macam kontaminan air (water/moisture) seperti yang sudah dijelaskan di: Kandungan Air (Water Content) di Minyak Pelumas. Pengujian kontaminan air ini di laboratorium menggunakan beberapa teknologi seperti:
Crackle Test/Uji Pecah/Letupan Gekembung
Metodenya yaitu meneteskan droplet oli pada hot plate di temperature kisaran 160 oC sehingga kandungan air akan mendidih pada suhu 100 oC dan membentuk gelembung yang kemudian pecah sehingga bisa teramati secara visual biasa. Semakin besar gelembung yang dihasilkan semakin besar kontaminan air pada oli. Karakteristik metode crackle test adalah: (i) murah; (ii) cepat dan mudah; (iii) tidak membutuhkan keahlian operator khusus; (iv) uji hanya bersifat kualitatif dan subjektif tanpa kuantitatif; (v) mudah dilakukan di site; (vi) jenis water yang terukur adalah free & emulsified. Berikut skematiknya:
Teknik crackle test cocok digunakan untuk kandungan air >500 ppm [EPRI, 2002]. Beberapa hal yang bisa mengganggu pembacaan adalah volatile solvent dan gas.
Calcium Hydride Test Kit
Metodenya adalah oli yang mengandung air dan sudah diketahui volumenya direaksikan dengan calcium hydride yang sudah diketahui jumlahnya. Kedua senyawa dilarutkan dan akan menghasilkan gas hydrogen sesuai reaksi:
CaH2 + 2 H2O ---> Ca(OH)2
+ 2 H2
Gas hydrogen yang dihasilkan memiliki tekanan yang dihubungkan dengan manometer dan berdasarkan reaksi stoikiometri yang dikonversikan maka mol hydrogen bisa digunakan untuk menentukan mol air.
Karakteristik metode calcium hydride test kit sebagai berikut: (i) biaya rendah; (ii) mudah dilakukan; (iii) portable; (iv) uji kuantitatif; (v) solvent dan chemical membutuhkan keahlian khusus karena vessel bertekanan; (vi) cocok untuk menguji water tipe free & emulsified mulai dari 0-50 ppm
Karl Fischer (KF) Titration (ASTM D6304-Coulometric; ASTM D1744-Volumetric)
Metodenya adalah menggunakan prinsip titrasi yaitu mengukur konsentrasi dari larutan yang tidak diketahui dengan larutan yang sudah diketahui konsentrasi dan jumlahnya. Titrant adalah larutan titrasi yang diketahui konsentrasi dan jumlahnya (ex: iodine) dimasukkan ke buret dan akan digunakan untuk mereaksikan kimia dengan larutan yang tidak diketahui (dalam hal ini adalah oil yang terkontaminasi air). Volume iodine yang digunakan adalah sama dengan volume air yang terdapat pada oli. Karakteristik dari metode Karl Fischer (KF) coulometric titration adalah: (i) dapat digunakan untuk mengukur water content tipe free, emulsified & dissolved water; (ii) membutuhkan skill operator khusus; (iii) umumnya cocok untuk laboratorium bukan portable karena kondisi alat dan bahan kimia yang digunakan; (iv) mengukur water content kuantitatif; (v) pengembangan teknologi lebih jauh menggunakan potentiometric cell untuk menentukan end point/titik akhir kesetimbangan reaksi titrasi; (vi) sangat baik untuk mengukur water <200 ppm; (vii) terdapat 2 metode yaitu volumetric & coulometric; (viii) tipe coulometric lebih handal/akurat dibandingkan volumetric pada low water concentration
Relative Humidity Meter/Saturation Meter (ASTM D7546)
Metodenya adalah memadukan antara thermal conductivity, resistive dan capacitive.Ketika jumlah kandungan air pada oli dibawah saturation poin (dew point) maka secara tidak langsung bisa adigunakan untuk menentukan kandungan air. Berikut gambar alatnya:
Capacitive sensor digunakan untuk menentukan relative humidity.
Infrared (IR) Spectroscopy/FTIR Analysis
Metode yang digunakan adalah menganalisis spektrum materi, dimana setiap materi memiliki panjang gelombang karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik dari metode FTIR adalah: (i) cocok untuk screening water content >1000 ppm; (ii) bisa dengan mudah membandingkan antara fresh/new oil dengan oli yang diuji; (iii) karena keterbatasan presisi dan deteksi limit sehingga IR sepectroscopy kurang cocok untuk water content <1000 ppm
Dean & Stark/Distillation Method (ASTM D95)
Ini adalah metode paling sederhana yaitu dengan menguapkan air pada titik didihnya kemudian ditampung dan dihitung volumenya. Karakteristik metode ini adalah: (i) membutuhkan sampel yang besar
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2022). Macam-Macam Metode Pengukuran Kadar Air (Water/Moisture Content) pada Oli Pelumas (Oil Lubricating). www.caesarvery.com
[3] Garvey, R., and Fogel, G. (1996). Estimating Water Content in Oils: Moisture in Solution, Emulsified Water, and Free Water. US Department of Defense
Dust Suppression adalah penekan/peminimalisir debu. Di pertambangan batu bara atau PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara dan sisa pembakaran berupa fly ash (abu terbang/ringan) penggunaan dust suppression umum dilakukan. Terdapat 2 tipe dust suppression yaitu: (i) water medium; (ii) chemical medium.
Water medium terbagi menjadi 4 yaitu: [Zhou and Qin, 2021]
Water Injection, injeksi air ini bermanfaat untuk pembasahan awal coal/dust body. Umumnya yang sering kita dengar adalah water gun. Teknik ini efektif menurunkan dust 30-50% namun meningkatkan moisture/water content coal sampai 0.7% [Zhou and Qin, 2021]; 1-2.5% [Liu et al, 2018]
Water Spray, sistem atomisasi air dengan area covering luas, simpel dan biaya rendah. Efisiensi metode ini bisa dinaikkan dengan menambah flowrate dan tekanan air. Efisiensi dust control metode ini bisa mencapai >60%
Wet Dust Scrubber, bentuk tirai air untuk perangkap dust air sebelum dibuang ke atmosfer, cocok untuk aplikasi sebelum cerobong
Magnetized Water, ini meng-adopsi teknik physical untuk meningkatkan kemampuan pembasahan dengan menurunkan tegangan permukaan dan viskositas dari air serta meningkatkan sistem atomisasi
Penggunaan medium air memiliki efisiensi yang rendah <50% karena dust memiliki kemampuan hydrofobic (menolak air) dan juga surface tension (tegangan permukaan) yang tinggi, sehingga diperlukan chemical medium berbasis surfactant yang bisa menghubungkan antara 2 sifat tersebut dan berdampak antara permukaan larutan dan udara bisa bergabung serta debu bisa tertangkap [Zhou and Qin, 2021]. 2 cara surfactant meningkatkan kemampuan pembasahan yaitu: (i) mengurangi tegangan permukaan air; (ii) meng-konversi permukaan coal agar bersifat hydrophilic dengan menyerap sifat hydrophobic [Liu et al, 2018]
Chemical medium terbagi menjadi 3 yaitu: [Zhou and Qin, 2021]
Foam, ini terbentuk dari injeksi udara ter-kompresi dengan larutan sehingga terbentuk foaming/busa. Konsentrasi foam yang umum digunakan adalah 0.8-3%. [Xu et al, 2020]
Surfactant, prinsip menggandeng 2 tangan yaitu menurunkan hydrophobic dan meningkatkan hydrofilic. Chemical surfactant seperti sodium dodecyl ether sulfate (SDES), sodium fatty alcohol polyoxyethylene ether sulfate (AES), exopolysaccharide (EPS) [Xu et al, 2020]. Surfactant adalah senyawa organic yang terdiri dari kepala bersifat polar (hydrophilic, lipophobic, oleophobic) dan ekor bersifat non-polar (hydrophobic, liphophilic, oleophilic). Hydrophilic surfactant terbagi menjadi 4 kelas yaitu: (i) anionic, ex: sodium dodecyl sulfate-SDS ; (ii) non-anionic, ex: octylphenol ethoxylate; (iii) cationic, ex: cetyl trimethyammnoium bromide-CTAB; and (iv) amphoteric [Xu et al, 2018].
Humectant Spray
Berikut kelebihan dan kelemahan masing-masing metode dust suppression:
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2022). Coal Dust Suppression/Penangkap Debu Abu Terbang Batu Bara/Water & Chemical Medium Based. www.caesarvery.com
Referensi:
[1] Zhou, Q., and Qin, B. (2021). Coal Dust Suppression Base on Water Mediums: A Review of Technologies and Influencing Factors. J. of Fuel 302, 121196
[2] Xu, C., Wang, H., Wang, D., Zhu, X., Zhu, Y., Bai, X., and Yang, Q. (2020). Improvement of Foaming Ability of Surfactant Solutions by Water-Soluble Polymers: Experiment and Molecular Dynamics Simulation. J. of Ploymers, pp 12-571
[3] Liu, Z., Cao, A., Guo, X., and Li, J. (2018). Deep-Hole Water Injection Technology of Strong Impact Tendency Coal Seam-A Case Study in Tangkou Coal Mine. Arabian Journal of Geosciences, 11:12
[4] Xu, G., Chen, Y., Eksteen, J., and Xu, J. (2018). Surfactant-Aided Coal Dust Suppression: A Review of Evaluation Methods and Influencing Factors. J. Science of the Total Environment, 639, pp. 1060-1076
Korosi adalah hasil oksidasi
metal dari beberapa agent oxidizing di lingkungan. Selama proses korosi,
elektron mengalir melewati metal dan ion mengalir dari satu area ke area lain
pada larutan yang disebut dengan proses elektrokimia. Proses oksidasi (korosi)
besi oleh ion hydrogen sesuai reaksi:
2H+ + Fe ---> Fe2+ + H2
Banyka
korosi terjadi pada besi disebabkan oleh kegagalan pembersihan dan pasifasi
yang benar pada peralatan baru. (McCoy, 1984)
Alkali dan garam asam lemah
digunakan untuk emulsify, saponify, oily untuk menetralkan residu asam dari
chemical cleaning dan untuk membentuk pasifasi pada permukaan metal.
Sebagian besar korosi tipe
fouling dan deposit terlarut oleh HCl yang bersifat asam kuat. Semua asam kuat
cocok diterapkan dengan sebelumnya diberi inhibitor untuk meminimalisir
serangan asam pada metal. HCl adalah chemical termurah untuk digunakan dalam
chemical cleaning. HCl pada konsentrasi 5-10% efektif untuk melarutkan ferric
oxide (Fe2O3), sesuai reaksi:
Fe2O3 + 6H+ ---> 2
Fe3+ + 3 H2O
Fe2O3
+ Fe + 6H+ ---> 3Fe2+ + 3H2O
HCl cocok digunakan untuk
cleaning carbon steel, low-chromium steel, cast iron, admiralty brass, bronze,
cupro nickle dan monel. Laju korosi ketika chemical cleaning ergantung pada:
(i) metal yang dicleaning; (ii) konsentrasi inhibitor; (iii) konsentrasi asam;
(iv) lama paparan; (v) temperature; (vi) velocity larutan asam.
HCl tidak boleh digunakan pada stainless steel, titanium, zinc, alumunium dan galvanized iron. Hal ini karena ion chloride pada konsentrasi serendah 40 ppm saja bisa menyebabkan intergranular atau transgranular cracking. HCl juga bisa menyebabkan hydrogen embrittlement pada titanium
Agent penetral HCl adalah CaCO3, (Ca(OH)2, Na2CO3, NaOH
Asam sulfat (sulphuric acid)
jarang sekali digunakan dalam chemical cleaning karena sifatnya pada pelarutan
yang menghasilkan panas tinggi dan mudah mengiritasi kulit. Cara pencampurannya
juga unik, dimana HCl dituangkan secara perlahan ke air dan tidak sebaliknya
karena akan menghasilkan percikan panas yang tinggi. Konsentrasi H2SO4
yangdigunakan antara 5-15% pada temperatur yang tidak lebih dari 180 oF
dan umumnya digunakan untuk cleaning stainless steel
Agent penetral H2SO4
adalah gypsum (CaSO4), lime/limestone (CaCO3) atau
soda ash (Na2CO3 dan caustic soda (NaOH) yang terbaik.
Sulfamic acid/asam sulfamat (HSO3NH2)
adalah bahan kimia asam yang cukup mahal dibandingkan lainnya namun memiliki
kelebihan bisa digunakan oleh user yang kurang pengalaman dan di indoor tanpa
membutuhkan keahlian kontraktor tersertifikasi. Ketika sulfamic acid digunakan
untuk acid cleaning, itu tidak menyebabkan pitting. Bahkan ketika penerapannya
dikombinasikan dengan NaCl (10% HSO3NH2, 5% NaCl) itu
efektif untuk melarutkan ferric oxide (Fe2O3)
Pasifasi sulfamic acid cocok menggunakan sodium nitrit dan
jika masih banyak residu acid di tube maka pasivasi kurang sempurna. Reaksi
pasifasi seperti berikut:
HSO3NH2
+ NO2- ---> N2 + H2O + SO42-
+ H+
Urutan tingkat korosifitas asam
dari terendah ke tertinggi adalah citric-sulfamic-phosphoric-hydrochloric
Sesudah dilakukan chemical cleaning pada permukaan tube maka
harus dilakukan pasifasi karena permukaan tube secara alamiah mebgalami
oksidasi cepat dengan adanya udara atmosfer. Pasifasi sangat dibutuhkan pada
iron (besi) dibandingkan chromiu, nickle, copper, brass, monel dan cupronickel
karena material tersebut memiliki pasifasi alamiah sendiri ketika kontak dengan
udara yang diberi nama oxide film. Permukaan material yang tertutup oleh oil,
scale, deposit tidak dapat dilakukan pasifasi sehingga normalnya harus
dilakukan water jetting sebelum pasifasi.
Sulfamic acid sangat mudah dilakukan penanganan, penyimpanan
dan pencampuran tanpa membutuhkan keahlian khusus. Sulfamic acid cocok untuk
material stainless steel. Sulfamic acid harga cukup mahal sehingga cook
digunakan pada volume kecil. Penerapan konsentrasi antara 5-10% dengan waktu
tinggal diijinkan antara 4-12 jam.
Berdasarkan Google Patent (2013) sebagai berikut:
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2022). Industrial Chemical Cleaning Tube Boiler Condenser. www.caesarvery.com
Referensi:
[1] McCoy, J.W. (1984). Industrial Chemical Cleaning.
Chemical Publishing-USA
[2] Google Patent-CN103361664A. (2013). Cleaning Method of
Carbon Steel Pipeline and Cleaning Agents. China
Berikut perhitungan Maximum Allowable Working Pressure (MAWP) untuk macam-macam bentuk peralatan dan tipe failure:
Bentuk Cylinder Shell (badan tabung tutup datar) dengan 2 failure yaitu: (i) stress melingkar/sambungan longitudinal; (ii) stress longitudinal/sambungan melingkar
Bentuk Spherical Shell (badan bundar) atau hemispherical head (bagian atas kubah setengah bundar)
Bentuk Elliptical Head (bagian atas kubah ellips)
Bentuk Torispherical Head
Bentuk Conical Shell (badan kerucut)
Rumus Perhitungan Remaining Life:
Rumus Long-Term (LT) Corrosion Rate
Rumus Short-Term (ST) Corrosion Rate
Contoh Aplikasi Perhitungan:
Referensi:
[1] API 510. (2003). Pressure Vessel Inspection Code: Maintenance Inspection, Rating, Repair, and Alteration
[2] API 570. (2006). Inspection, Repair, Alteration, and Rerating of In-Service Piping Systems
Material tembaga (Cu) memiliki sifat properties yang baik sebagai heat-exchanger
seperti thermal conductivity yang sangat baik dibawah silver/perak
(Ag). Material Cu based yang umumnya dikenal di lapangan seperti brass/kuningan
(CuZn-Al) atau bronze/perunggu (CuSn) dan di PLTU penggunaan material
Cu banyak digunakan di heat-exchanger seperti condenser, oil cooler, radiator dan lain-lain
dimana fluida yang mengalir didesain air sungai atau air demineralisasi
dengan sifat low conductivity dan tidak korosif. Pertimbangan pemakaian
material Cu based ini dibandingkan lainnya, dimana pada umumnya tube
condenser PLTU terbuat dari titanium (Ti) adalah karena material Cu memiliki thermal conductivity
yang tinggi sehingga transfer panas lebih maksimal (efisiensi pertukaran panas
tinggi), dengan dimensi yang minim (size dan jumlah) maka bisa sebanding
dengan material lain dengan desain size dan jumlah yang besar. Dari
beberapa kelebihan tersebut, juga terdapat kelemahan dari material Cu based
seperti tidak tahan korosif (pH, air laut/salinitas), mudah leaching
lapisan Cu2O oleh larutan ammonia (NH3), amine (NH2)dan nitrate
(NO2), tidak tahan abrasif karena low strength dan
low hardness. (Schweitzer, 2010)
Berikut
kutipan dari handbookSchweitzer
(2010) sebagai berikut:
Berdasarkan Revie & Uhlig (2008) berikut kutipannya:
Berdasarkan grafik
tersebut bisa diketahui bahwa semakin lama material brass terpapar ammonia
(NH3) maka sifat properties stress akan menurun yang
menandakan material bersifat getas/rapuh sehingga mudah cracking yang
disebut dengan Stress Corrosion Cracking (SCC).)
Berdasarkan Revie
& Uhlig (2008), ammonia yang ada pada condensate
PLTU pada umumnya merupakan hasil reaksi hydrazine (oxygen scavenger
chemical) yang bisa terjadi pada 2 tahap yaitu:
Reaksi LAMBAT pada
suhu 175 oC
Reaksi CEPAT pada
suhu 300 oC
Berikut
reaksinya:
3 N2H4 +
O2 ---> N2 + 2 H2O
3 N2H4 --->
N2 + 4 NH3
Ammonia (NH3) sangat dihindari untuk
penggunaan material Cu based dan terdapat 2 substitusi oxygen scavenger
yang bisa memberikan protective film pada iron (Fe) dan copper (Cu) yaitu:
(Revie & Uhlig, 2008)
SSCC pada brass
bisa diminimalisir dengan 4 prosedur sebagai berikut: (Revie & Uhlig,
2008)
Stress-Relief Heat Treatment
Menjauhi kontak dengan ammonia (NH3)
yang juga didukung dengan dissolved oxygen (DO) yang cukup tinggi
karena kehadirannya sedikit saja bisa menyebabkan cracking
Menambahkan cathodic protection.
Menggunakan inhibitor H2S
Terdapat kelayakan
operasi untuk tipe material Cu based terhadap fluida yang
mengalir melewatinya, seperti:(Revie & Uhlig, 2008)
Fresh water, tipe pure copper (Cu) dan admiralty.
Brackish/payau dan sea water/air laut,
tipe admiralty, cupro-nickel, alumunium brass.
Pollutant water/mengandung TDS tinggi/kontaminan
kimia tinggi, tipe cupro-nickel.
Alumunium Brass
(CuZn-Al)
cocok ketika full sea water dan jika mengandung pollutant water
maka mudah sekali pitting, material ini cocok untuk debit air
yang tinggi.
Tipe cupro/cupper-nickel
ada 2 yang umum dipakai yaitu: (Revie & Uhlig, 2008)
30% Ni-70% Cu, sifat properties ini lebih
tahan terhadap SCC daripada 10-20% Ni-Cu atau CuZn-Al (brass).
Berarti menandakan kandungan nikel (Ni) yang membuat alloy menjadi
tahan korosi
10-20% Ni-90% Cu
Berdasarkan Ahmad
(2006) berikut kutipannya:
Terdapat 4 tipe
SCC yaitu: (Ahmad, 2006)
1.Chloride SCC, disebabkan oleh hadirnya salinitas air laut/garam yang
didukung dengan oksigen cukup pada temperatur tinggi
2.Caustic SCC, disebabkan oleh kondisi basa (pH tinggi)
3.Sulphide SCC, disebabkan oleh kontaminan hydrogen sulphide (H2S)
4.Seasonal Cracking, ini istilah yang umum digunakan oleh SCC di brass/kuningan/CuZn-Al/Cu
based karena cemaran ammonia (NH3)
Berikut senyawa kimia yang
bisa menyababkan material Cu based mengalami SCC: (Ahmad, 2006) (Caesarvery,
2021)
·Ammonia (NH3), kehadirannya melarutkan protective layer material
Cu based yaitu Cu2O dan terlebih ketika terdapat dissolved
oxygen (DO) maka ammonia sangat merusak (destructive)
permukaan Cu yang bisa memperparah SCC
·Hydrogen sulphide (H2S)
·SO2yang didukung moisture (basah) sehingga mudah terbentuk SO3 dan
H2SO4
·Asam Nitrat (HNO3)
·Amine (NH2)
Berdasarkan handbookRevie (2011) berikut kutipannya:
Berdasarkan Revie
(2011) tersebut didapatkan informasi bahwa ammonia (NH3)
yang berasal dari dekomposisi hydrazine (N2H4)
mempercepat korosi pada Cu alloy. Ketahanan material Cu alloy
contohnya brass/kuningan (CuZn) terhadap SCC pada range pH 7.3-11.3.
Terdapat 3 faktor
utama yang menyebabkan ammonia (NH3) mengalami SCC pada
material Cu alloy: (Revie, 2011) (Caesarvery, 2021)
Korosi pada lapisan film (Cu2O)
yang mengurangi fungsi anodik
Terlarutnya Zn anodic pada grain
boundaries
Stabilisasi dari valensi Cu
Berdasarkan handbookRevie
(2011) tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
Penambahan 5-40% nickel (Ni) meningkatkan mechanical
properties seiring peningkatan temperatur seperti tahan korosi pada
lingkungan brackish/payau dan sea water/air laut
Cupro/Cupper-Nickel (CuNi) lebih stabil daripada brass/kuningan (CuZn) pada
aliran yang mengalir dan SCC. CuNi lebih baik daripada CuZn pada polllutant
water
Penambahan unsur iron/besi (Fe) pada CuNi membentuk
pembentukan protective layer untuk menciptakan ketahanan terhadap air
laut
Copper tidak cocok digunakan untuk aliran
yang mengalir kencang karena bersifat low hardness dan low
strength
60 Cu-40 Zn (kuningan) cocok
digunakan untuk operasi temperatur rendah dengan fluida air sungai,
danau dan tanah. CuZn tahan terhadap hydrogen sulphide (H2S).
Penambahan unsur timbal/lead (Pb) cocok digunakan untuk HE/condenser
yang berpendingin air laut/sea water
Penambahan unsur Al pada brass/kuningan/76
Cu-22 Zn-2 Al membantu pembentukan protective layer untuk
ketahanan terhadap mechanical destructive (abrasif). Penambahan
unsur arsenik (As) digunakan untuk membuat ketahanan brass pada
pollutant water, brackish dan sea water
Berdasarkan Standard
EPRI (2004) sebagai berikut:
Berdasarkan Standar EPRI
(2004) didapatkan informasi sebagai berikut:
Hydrazine (N2H4) tepatnya digunakan tanpa aditif
atau ketika ada maka digunakan amine
Aplikasi hydrazine dijaga pada range pH 8.5-9.6 untuk cupper
alloy dan untuk all-ferrous alloy 8.5-10.5
pH control bisa menggunakan sodium hydroxide (NaOH) untuk material all-ferrous
namun untuk cupper alloy digunakan azoles untuk corrosion
protection. Macam-macam azoles sebagai berikut:
1.Tolyltriazole (TTA)
2.Benzotriazole (BZT)
3.Mercaptobenzothiazole (MBT)
Berdasarkan Standard EPRI (1985) sebagai berikut:
Berdasarkan Standard EPRI (2001) sebagai berikut:
Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2022). Analisa Ketahanan Material Cu Based (Brass-CuZn atau CuZnAl). Properties, Korosi dan Material Substitusi. www.caesarvery.com
Referensi:
[1] Revie, R.W., and Uhlig, H.H. (2008). Handbook Corrosion and Corrosion Control, An Intoroduction to Corrosion Science and Engineering. Fourth Edition, John Wiley & Sons
[2] Revie, R.W. (2011). Handbook Uhlig's Corrosion, Third Edition. John Willey & Sons
[3] Ahmad, Z. (2006). Handbook Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Elsevier
[4] Schweitzer, P.A. (2010). Handbook of Fundamentals of Corrosion Mechanisms, Causes, and Preventative Methods. CRC Press. London & New York
[5] EPRI. (2004). Closed Cooling Water Chemistry Guideline