Trending Topik

Analisa Profil Kerusakan WATER SIDE TUBE (INNER) Boiler PLTU (1 of 3)

Diposting oleh On Saturday, November 07, 2020

Tube boiler adalah komponen di PLTU yang berfungsi sebagai converter air menjadi uap bertekanan. Dalam operasinya, boiler bisa mengalami serangkaian failure baik dari sisi dalam (inside) maupun luar (outside). Kemungkinan penyebab dari sisi inside adalah:

  • Deposit karena silica, hardness water (Ca/Mg), phospate
  • Korosi karena injeksi kimia berlebihan sehingga air bersifat pH rendah atau pH tinggi
  • Korosi karena kelebihan dissolved gas (CO2 dan O2)

Sedangkan kemungkinan penyebab dari sisi outside adalah:
  • Abrasi karena pasir silica, sootblower treatment, fly ash
  • Slagging karena agglomerasi batubara
  • Korosi karena sulfur batubara

Berikut beberapa gambar dan penjelasan failure di tube boiler:
  • Oxygen Pitting/Oxygen Corrosion
Pitting (korosi sumuran) adalah localized corrosion yang artinya korosi yang terpusat parah di titik tertentu saja. Ciri khas dari pitting adalah lubang dalam dengan luasan kecil, bisa terlihat di permukaan atau didalam material. Posisi yang didalam inilah yang sangat berbahaya karena tidak diketahui dan tiba-tiba material sudah kehilangan sifat mechanical properties-nya.

Pitting bisa disebabkan oleh keberadaan oksigen terlarut dan umumnya terjadi di operasi tekanan rendah [The Babcock & Wilcox Company]. Oksigen bisa menyebabkan reaksi oksidasi dan menyebabkan korosi dan salah satu bentuknya adalah pitting. Detail baca artikel berikut: Kontaminan Gas Terlarut di Boiler Water. Reaksi sebagai berikut: [Feriyanto, 2018]

2 Fe + 2 H2O + O2 ---> 2 Fe(OH)2

4 Fe(OH)2 + 2 H2O + O2 ---> 4 Fe(OH)3

Fe(OH)2 adalah senyawa yang tidak stabil dan merupakan bibit korosi (agent corrosion) sedangkan Fe(OH)3 adalah produk korosi.

Terdapat profil yang cukup berbeda untuk oxygen corrosion berdasarkan handbook Port and Herro, (1991), seperti berikut:

  • Phospate Corrosion/Phospate Attack

Korosi ini disebabkan karena pengaruh pemberian Tri Sodium Phospate (TSP) di steam drum melebihi ambang batas dengan standar acuan normal mol rasio Na/PO4 < 2.8 [The Babcock & Wilcox Company]. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Na3PO4 + Fe + 2 H2O ---> NaFePO4 + 2 NaOH + H

Pengalaman yang pernah kami temui untuk kasus ini adalah ketika pengujian menggunakan XRD ditemukan kandungan Na yang terlalu tinggi di surface material dan menyebabkan crack failure. Keberadaan Na yang tinggi ini menandakan purity phospate yang rendah atau kelebihan injeksi phospate. Dalam investigasi kami, ditemukan penyebabnya adalah purity phospate yang rendah <85% (standar yang disarankan >95%) dengan pH 1% pelarutan 10-11 (standar >12) sehingga untuk buffering harus menggunakan dosis lebih banyak dibandingkan dengan purity tinggi. Disebabkan melimpahnya Na dari injeksi maka bisa berpotensi carry-over di steam drum dan menempel pada tube boiler dan blade turbine [Feriyanto, 2020]. Baca selengkapnya di: Analisa Deposit pada Blade Turbine

Berdasarkan EPRI Cycle Chemistry Guidelinesphospate harus dijaga di boiler system agar terhindar dari phospate attack dengan standar minimum phospate (PO4) 0.2 ppm dan maksimum phospate (PO4) 10 ppm.

  • Acid Corrosion/Acid Attack & Hydrogen Damage/Hydrogen Embrittlement
Keberadaan hydrogen juga membahayakan tube boiler, karena banyaknya konsentrasi Hmengindikasikan nilai pH ke arah asam (acid). Hydrogen yang terakumulasi di sistem bisa bereaksi dengan carbon steel (FeC) membentuk metana (CH4), seperti reaksi berikut: [Feriyanto, 2019] [Frayne, 2002].

Fe3C + C + 4 H2 ---> 2 CH4 + 3 Fe

Hydrogen bisa berasal dari disosiasi chemical yang digunakan sebagai injeksi kimia seperti NH3, N2H4, H2S dan H2O. Berikut profil kerusakan tube boiler akibat hydrogen damage: [The Babcock & Wilcox Company; Port and Herro, 1991]
Hydrogen damage dengan kehadiran metana membuat getas material sehingga mudah terserang korosi.
Berdasarkan handbook Port and Herro (1991), produksi hydrogen bisa berasal dari reaksi korosi pada pH rendah (asam) dan juga pH tinggi (basa). Pada pH rendah kejadian mirip seperti penjelasan diatas, sedangkan pada pH tinggi, urutan reaksi kimia mirip dengan caustic gouging (penjelasan detail dibawah) dengan urutan kejadiannya adalah: (i) caustic melarutkan/mengelupaskan lapisan magnetite; (ii) air bereaksi dengan iron steel dan membebaskan hydrogen, seperti reaksi berikut:

3 Fe + 4 H2O ---> Fe3O4 + 8 H

;(iii) caustic menyerang langsung ke iron steel dan dihasilkan juga hydrogen; dan (iv) hydrogen hasil dari proses tahap (ii) dan (iii) kemudian menyerang iron carbide membentuk metana, seperti reaksi berikut:

Fe3C + 4H ---> CH4 + 3 Fe

Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:
Hydrogen attack terjadi pada carbon dan low alloy steel pada tekanan dan temperatur tinggi >200 oC dalam jangka panjang sehingga terjadi reaksi penyerapan hydrogen (H2) dan iron carbide (FeC) atau carbon (C) pada larutan hydrocarbon (CxHy). Berikut reaksinya:

2 H2 + Fe3C ---> CH4 + 3 Fe

CH4 yang merupakan hydrocarbon yang tidak larut di iron lattice mengalami proses decarburization (pelepasan unsur carbon) sehingga sifat strength menjadi menurun. Proses decarburization terjadi pada temperature >540 oC (pada surface metal) dan >200 oC (pada internal metal) (Schweitzer, 2010).

  • Caustic Gouging/Caustic Attack/Caustic Embritllement/Ductile Gouging & Hydrogen Damage/Hydrogen Embrittlement
Failure ini lebih disebabkan karena tingkat alkalinitas yang tinggi (pH basa kuat >12) pada boiler water. Failure ini juga berhubungan dengan hydrogen damage/hydrogen embrittlement (penjelasan detai ikut di atas untuk acid corrosion/acid attack). Keberadaan caustic ini bisa disebabkan karena berlebihnya penggunaan soda caustic (NaOH) atau berlebihnya NaOH produk hasil reaksi antara caustic phospate (Na3PO4) dengan air di steam drum, seperti reaksi berikut: [Feriyanto, 2020]

Na3PO4 + H2O ---> Na2HPO4 + NaOH


NaOH di PLTU digunakan untuk genjot kenaikan pH namun jika berlebihan bisa menyebabkan caustic gouging/caustic embrittlement/caustic corrosion sehingga penggunaannya harus dikendalikan tidak boleh >7.5-10%=7,500-10,000 ppm [Frayne, 2002].

Keberadaan NaOH atau penambahan NaOH ini sebenarnya dibutuhkan dalam operasional boiler PLTU sebagai buffering pH ketika terjadi kebocoran di tube condenser (cooling air laut), namun jika berlebihan bisa menyebabkan failure yang fatal. Berikut profil kerusakan tube boiler akibat caustic gouging: [The Babcock & Wilcox Company]
Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi seperti hal diatas, maka digunakan penjagaan standar nilai pH boiler water pada range 9.2-10.5 dengan pengaturan bukaan valve injeksi phospate
Mekanisme korosi ini didahului dengan pengrusakan lapisan magnetite oleh soda caustic kemudian bereaksi dengan iron steel, berikut reaksi kimianya: [Port and Herro, 1991]

4 NaOH + Fe3O4 ---> 2 NaFeO2 + Na2FeO2 + 2 H2O

Ketika magnetite (Fe3O4) sudah terkelupas menyebabkan caustic (NaOH) langsung menyerang iron steel seperti reaksi berikut:

Fe + 2 NaOH ---> Na2FeO2 + H

Caustic corrosion pada permukaan inner tube boiler akibat reaksi diatas seperti ditunjukkan gambar berikut:

Berdasarkan EPRI Cycle Chemistry Guidelines, didapatkan informasi bahwa caustic gouging/caustic embrittlement bisa terjadi ketika penambahan soda caustic (NaOH) >2 ppm pada steam drum boiler.
Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:

  • Short-term Overheating
Failure ini disebabkan oleh pemanasan yang tidak merata dan hanya ada di bagian tertentu saja. Lebih dikenal dengan fish mouth failure (crack mulut ikan) dan pengalaman sendiri di lapangan untuk kasus ini banyak disebabkan oleh deposit hardness water yang sudah level scale (mengeras/mengkristal di inner tube boiler). Seperti penampang gambar berikut: [The Babcock & Wilcox Company; Feriyanto, 2019b]
Ketika laju aliran tersumbat scale maka aliran air menjadi tidak lancar dan panas dari furnace tidak mengalami penukaran panas oleh air sehingga material tube boiler terus-menerus terbakar (sampai suhu antara 850-950 oC) dan karena tube boiler yang tersumbat memiliki tekanan yang tinggi maka mechanical properties akan turun dan menyebabkan leakage (pecah). Berikut profil kerusakan tube boiler akibat short-term overheating: [The Babcock & Wilcox Company; Feriyanto, 2019b]

Dikutip dari handbook Port and Herro (1991), short-term overheating terjadi dalam waktu yang cepat antara 454-730 oC bahkan bisa lebih. Berikut profil kerusakannya:

Kebocoran tube seperti ini sangat dirasakan ketika konsumsi air boiler meningkat pesat dan pasti diputuskan untuk segera dilakukan shutdown PLTU untuk perbaikan.
Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:
  • Stress Corrosion Cracking (SCC)
Crack pada tube boiler yang disebabkan stress material karena tertekan/tertarik sehingga terdapat perenggangan (pori-pori material membesar) dan retak rambut [Feriyanto, 2019a]. Skematik profil kerusakan karena SCC seperti berikut: [The Babcock & Wilcox Company]
Pembesaran 500x menggunakan mikroskop untuk mengetahui profil mikrostruktur sebagai berikut: [Port and Herro, 1991]
Berikut profil cacat akibat stress cracking:
Tipe failure ini cukup berbahaya karena crack yang tersembunyi dan tidak kelihatan sehingga bisa parah ketika sudah terjadi kegagalan seperti patah atau jebol.
Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:
  • Creep Failure/Long-Term Overheating
Kerusakan ini lebih disebabkan karena korosi dan abrasi yang merata pada semua tube boiler baik dari inside maupun outside. Selain itu juga bisa disebabkan karena long-term overheating yang merusak mechanical properties material profil kerusakan adalah memanjang/menjalar rata pada permukaan luar tube seperti gambar berikut ini: [The Babcock & Wilcox Company, Port and Herro, 1991]

Bisa dilihat dari profil tersebut bahwa ketika terjadi pemanasan berlebih pada material tube boiler (carbon steel) bisa menyebabkan kegetasan sehingga material menjadi rapuh. Selain itu, dari inside tube akan terlihat magnetite terangkat membentuk gelembung-gelembung dan siap terkelupas.
Mekanisme failure long-term overheating pada temperatur > 427 osering disebut dengan "Chain Graphitization" yaitu leaching Fe dari iron steel (FeC) sehingga hanya menyisakan graphite (C) yang bersifat brittle [Feriyanto, 2019c]. Kejadian failure chain graphitization muncul setelah terjadinya long-term overheating, berikut profil kerusakannya: [Port and Herro, 1991]
Jika dilihat profilnya mirip seperti fish mouth pada short-term overheating dan memang inti dari keduanya adalah material tube getas karena pemanasan kemudian karena tekanan manyebabkan pecah pada sisi yang mengalami deformasi paling besar. Perbedaan mendasar adalah fish mouth pada long-term overheating umumnya terjadi pada area las-lasan [Port and Herro, 1991] sedangkan short-term overheating tidak.
Berikut rangkuman jenis kerak (scale/deposit) dan karakteristiknya di tube boiler: [Port and Herro, 1991]
Berikut rangkuman jenis failure di boiler system: [EPRI Guideline]

Kutip Artikel Ini (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Analisa Profil Kerusakan Tube Boiler PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[2] The Babcock & Wilcox Company. Water and Steam Chemistry, Deposits and Corrosion
[5] Feriyanto, Y.E. (2019b). Training Boiler Failure Analysis. Yogyakarta
[6] Port, R.D., and Herro, H.M. (1991). The Nalco Guide to Boiler Failure Analysis. McGraw-Hil, Inc
[8] Feriyanto, Y.E. (2019). Analisa Kebocoran Tube APH, Best Practice Experience in Power Plant. Kajian Enjiniring. Surabaya
[9] EPRI. Guidelines for the Non-destructive Exmaintaion of Boiler
[10] EPRI. Cycle Chemistry Guidelines for Combined Cycle Heat Recovery Steam Generators
[11] Frayne, C. (2002). Boiler water Treatment, Principle and Practice. Vol. 1 and 2. New York-USA
[12] EPRI. (2006). Boiler Condition Asseement Guideline, Fourth Edition
[13] Schweitzer, P.A. (2010). Handbook of Fundamentals of Corrosion Mechanisms, Causes, and Preventative Methods. CRC Press. London & New York

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Fungsi Limestone/Kapur (CaCO3) pada Boiler CFB

Diposting oleh On Tuesday, October 27, 2020

Circulating Fluidized Bed (CFB) boiler adalah salah satu tipe boiler yang umum digunakan di PLTU. Bahan yang digunakan pada boiler ada 3 macam yaitu batubara, pasir dan kapur/limestone. Penjelasan fungsi pasir, bisa dibaca detail di "Macam-Macam Boiler".

Kapur/Limestone (CaCO3 atau CaO) di CFB boiler difungsikan untuk beberapa sebab yaitu (i) sebagai sorbent (penyerap) pada proses desulfurization yaitu pengikat kandungan gas SO2, karena didalam batubara terdapat kandungan  beberapa unsur salah satunya sulfur (S). Baca detail kandungan batubara di "CoA Batubara Uji Laboratorium". Ketika batubara dibakar akan bereaksi sebagai berikut:

S + O2 ---> SO

(ii) sebagai reducing agglomeration yang disebabkan oleh keberadaan K2O dan Na2O [Mettanant et al, 2009], berikut kutipannya:

CFB boiler didesain bisa sirkulasi terus-menerus dengan adanya cyclone separator sehingga campuran gas CO2 dan SO2 akan terus sirkulasi dan sulit dikendalikan gas tersebut sehingga dalam aplikasinya tidak dipasang desulfurization seperti Flue Gas Desulfurization (FGD) yang umumnya terdapat di boiler tipe pulverizer (lebih detail bisa dibaca di "Teknik Pengendalian Gas SO2"). Aplikasi yang diterapkan di CFB boiler adalah mengikutkan langsung kapur ke dalam pembakaran. Menurut jurnal penelitian Diego et al (2018) terdapat 4 faktor yang mempengaruhi sulfation reaction yaitu:

  1. Temperatur
  2. Parsial gas CO
  3. Konsentrasi SO2
  4. Ukuran partikel

Reaksi sulfation (pembentukan sulfate) bisa terjadi secara langsung (sorbent CaCO3) dan tidak langsung (mulai dari CaCO3 menjadi CaO terlebih dahulu), hal ini tergantung oleh 2 faktor yaitu temperatur dan parsial gas CO2

Reaksi direct terjadi ketika parsial gas CO2 lebih besar dari tekanan udara pembakaran sehingga bisa mengalami 2 fase reaksi yaitu melewati proses calcination atau non-coalcination. Proses non-calcination terjadi ketika temperatur sistem dibawah temperatur calcination, sesuai reaksi berikut: (Diego et al., 2018)

CaCO3 + SO2 + ½ O2 <---> CaSO4CO2 (proses desulfurization)

Reaksi indirect terjadi karena temperatur sistem diatas temperatur calcination, reaksi sebagai berikut: (Diego et al., 2018)

CaCO<---> CaO + CO2  (proses calcination)

CaO + SO2 + ½ O2 <---> CaSO4 (proses desulfurization) 

Batu kapur (CaO) ketika terbakar bersama batubara di boiler dan kontak dengan gas CO2 mengalami reaksi calcination membentuk CaCOdengan reaksi endothermik (menyerap panas dari luar). Berikut persamaan kesetimbangan reaksinya:

Persamaan tersebut bisa dilihat bahwa faktor reaksi dipengaruhi oleh temperatur dan parsial gas CO2Calsium  dari CaCO3 sebagai sorbent digunakan untuk mengikat SOpada temperatur tinggi 925-950 oC untuk CFB boiler dan untuk konvensional pembakaran pada 850 oC
Failure yang sering terjadi di boiler CFB adalah slagging (pengerakan keras di dinding sisi luar tube boiler) dan agglomerasi (penggumpalan ash sangat keras sisa pembakaran batubara). Menurut Rajavel et al., (2013) sebagai berikut:
Agglomerasi bisa terjadi karena reaksi hydration kemudian diikuti carbonation. Reaksi hydration sebagai berikut:

CaO + H2O <---> Ca(OH)2

Kemudian diikuti reaksi carbonation sebagai berikut:

Ca(OH)2 + CO2 <---> CaCO3 + H2O

Reaksi keduanya terjadi pada temperatur  450 oC. Disisi lain, agglomerasi juga bisa terjadi ketika batubara banyak mengandung unsur K, Na dan V namun ketika kandungan unsur tersebut rendah (bisa dilihar dari CoA laboratorium) maka bisa dipastikan agglomerasi melewati 2 reaksi diatas.

Pengalaman kami sendiri menguji kerak yang ada pada sisi luar tube boiler menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) didapatkan kandungan dominan adalah CaCOdan CaO padahal boiler tidak menggunakan media kapur. Jika dirunut asal calsium maka didapatkan data bahwa penggunaan batubara CFB boiler adalah tipe low rank, dimana batubara ini masih muda yang letaknya masih beberapa meter dari lapisan permukaan tanah sehingga masih mengandung senyawa calsium. Boiler yang bahan bakar mengandung kapur yang cukup banyak seperti pada low rank coal tersebut bisa digunakan di CFB boiler tanpa penambahan kapur dari luar dan memang terbukti efektif dalam minimalisir gas SO2. Namun juga memiliki dampak yang cukup berarti yaitu mudah sekali agglomerasi sehingga bottom ash harus sering dilakukan tindakan drain agar tidak menjadi penyumbat aliran udara dari bawah.

Kutip Artikel sebagai Referensi (Citation)

Feriyanto, Y.E. (2020). Fungsi Limestone/Kapur (CaCO3) pada Boiler CFB. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Black & Veatch. (1996). Power Plant Engineering, Coal & Limestone Handling. Handbook Springer
[2] Diego, L.F et al. (2018). Characterization of a Limestone in a Batch Fluidized Bed Reactor for Sulfur Retention Under Oxy-Fuel Operating Conditions
[3] Rajavel, M et al. (2013). Influence of Sorbent Characteristics on Fouling and Deposition in CFB Boiler Firing High Sulfur.
[4] Feriyanto, Y.E. (2020). Best Practice Experience in Power Plant, Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Cara Kontrol NOx NO2 pada Gas Buang Pembakaran Batubara (2 of 2)

Diposting oleh On Sunday, September 13, 2020


NOx adalah gas dari reaksi pembakaran bahan bakar fossil, berikut macam-macam gas NOx:
NOx Control, dapat dikendalikan dengan beberapa cara sebagai berikut:
  • Combustion Modification
NOx bisa terbentuk pada temperatur tinggi >1000 oC, sehingga pengendalian yang umum dilakukan adalah menjaga pembakaran bahan bakar pada temperatur rendah.
  • Post-Combustion Methods
Kontrol ini dilakukan dengan penambahan bahan kimia, yang terbagi dalam 2 yaitu Selective Non-Catalytic Reduction (SNCR) dan Selective Catalytic Reduction (SCR).

[1] Selective Non-Catalytic Reduction (SNCR)
SNCR ini menggunakan tambahan reagent ammonia (NH3) atau urea-CO(NH2)yang turunannya merupakan ammonia juga ketika dipanaskan. Reagent tersebut diinjeksikan pada furnace temperatur tinggi 760-1100 oC sehingga terdapat reaksi antara NOx dengan NH3 sehingga letak injeksi yang tepat adalah di furnace downstream, reaksi yang terjadi sebagai berikut:

2 NO2 + 2 NH3 ---> NH4NO3 + N2 + H2O

Teknik ini cukup efektif yaitu bisa mengurangi emisi gas NOx antara 30-50%. Selain itu chemical diatas, juga digunakan reducing agent seperti hydocarbon dan carbon monoxide.


Reaksi dengan urea sebagai berikut:

CO(NH2)2 + 2 NO + ½ O2 <---> 2 N2 + CO2 + 2 H2O

Reaksi efektif terjadi pada 1140-1420 K = 867-1147 oC, jika dioperasikan <1000 K maka tidak ada reaksi yang terjadi

[2] Selective Catalytic Reduction (SCR)

Teknik ini memiliki efisiensi yang paling bagus yaitu 80-90% karena kehadiran pengikatan NOoleh ammonia dibarengi dengan penambahan katalis (dari titanium, platinum or vanadium) yang bekerja efektif pada temperatur rendah yaitu 260-430 oC sehingga efektif diinjeksikan sebelum furnace (economizer) atau sesudah furnace (air heater).

Reaksi NOx control terjadi pada temperatur tinggi sebagai berikut:

6 NO + 4 NH3 <---> 5 N2 + 6 H2O

2 NO + 4 NH3 + 2 O2 <---> 3 N2 + 6 H2O

6 NO2 + 8 NH3 <---> 7 N2 + 12 H2O

Berdasarkan jurnal "controlling nitrogen oxide emissions from industrial source (Harrison et al, 1985) dijelaskan tahapan reaksi pada pada proses SCR sebagai berikut:
Gas NOx bisa terbentuk melewati 2 cara yaitu: [i] thermal dissosiation-recombination yaitu penggabungan unsur nitrogen (N2) dengan oksigen (O2) pada pembakaran di udara; [ii] keluaranya atom nitrogen selama proses pembakaran dan bereaksi dengan oksigen membentuk nitogen oxide (NOx).
Berdasarkan Handbook The Babcock & Wilcox Company sebagai berikut:
  • Adsorption
Teknik ini menggunakan zeolite sebagai penyerap gas NOx dan senyawa zeolite dan activated carbon. Zeolite yang umum dipasaran adalah noble metal-exchanged zeolite dan copper-ion exchanged zeolite.
  • Scrubbing
Teknik ini menggunakan tipe spray wet scrubber dan berdasarkan hasil uji laboratorium oleh peneliti didapatkan data bahwa penggunaan chemical ini bisa mengurangi gas NOx seperti: KMnO4, NaClO2, NaClO2+NaOH, larutan ferrous chelate nitrilotriacetic acid (NTA), ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA), hydroxy ethylene diamine triacetic acid (HEDTA) dan diethylene triamine penta acetic acid (DTPA).

  • Biological Method
Ada beberapa proses secara biologi seperti nitrification, denitrification dan microalgae. Nitrification adalah proses dimana ammonium/ammonia teroksidasi menjadi nitrat (NO3-) dengan bantuan bakteri. Selama proses oksidasi terlepaslah senyawa gas NOx seperti NO dan N2O. Senyawa tersebut diminimalisir menggunakan teknik denitrification juga munggunakan bantuan bakteri. Denitrification menggunakan media seperti trickling biofilter dan pelet diatomaceous earth.
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Cara Kontrol NOx NO2 pada Gas Buang Pembakaran Batubara, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., and Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, 8th Edition Handbook
[2] Tullin, C., and Ljungstrom, E. (1989). Reaction Between Calcium Carbonate and Sulphur Dioxide. Journal of Energy & Fuels 1989, 3: 284-287
[3] Nannen, L.W., West R.E and  Kreith, F. (2012). Removal of SO2 from Low Sulfir Coal Combustion Gases by Limestone Scrubbing, Journal of the Air Poluution Control Association, 24:1, 29-39
[4] Harrison, B., Diwell A.F., and Wyatt, M. (1985). Controlling Nitrogen Oxide Emission from Industrial Source. Journal of Platinum Metals, 29(2), 50-56
[5] Hardison, L.C. (2012). Techniques for Controlling the Oxides of Nitrogen. Journal of the Air Pollution Control Association, Vol. 20 No. 6
[6] The Babcock & Wilcox Company. Economizers and air Heaters