Trending Topik

Kisah - Kisah Sedihku

Suatu ketika kami hidup bertiga (aku dan kedua adikku) karena ibuku lagi bekerja sebagai PRT di Kalimantan. Uang bulanan yang dikirimkan ibu kala itu sudah habis (300 ribu untuk biaya hidup 1 bulan kami bertiga) dan kala itu kami belum punya HP (karena kami bisa beli HP saat kiriman ibu bulan ke - 6). Di depan rumah, tepatnya depan Pak Lurah ada tontonan elekton syukuran Pak Lurah yang terpilih untuk kedua kalinya. Efek dari tontonan ini adalah banyak penjual jajanan berderet di jalan dan tak luput di depan rumah kami juga ada penjual jajanan. Adikku yang terakhir (si yatim) minta ke aku untuk di belikan es tong - tong (harga 500 rupiah) karena teman sebaya nya semua beli itu. Akupun terdiam dan bilang ke adikku bentar ya tak carikan uang dan kebetulan di rumahku ada temanku MI yaitu Im*m, dia tak hutangi 10 ribu katanya tidak punya uang dan aku memaklumi (mungkin dia takut tidak aku bayar hutangnya karena kondisi ekonomi kami sangat terpuruk) dan renggang menit kemudian Pakpoh Marsam main ke rumah dan tiba - tiba langsung berkata "Untuk malam ini aku tidak bisa ngasih uang karena senapan angin belum laku", dan aku menjawab "Tidak apa - apa Pakpoh". Pakpoh Marsam bilang begitu soalnya tiap ada tontonan pasti ngasih uang jajan ke adikku kecil namun untuk malam itu pas Pakpoh juga tidak pegang uang. Karena usahaku untuk pinjam uang tidak berhasil, aku dan adikku kedua mencoba untuk menghibur si yatim dengan melarang bermain di luar dan kami bertiga pun dikamar. Kami menangis bersama di kamar, menangisi ibu yang jauh disana bahwa kami disini lagi kekurangan dan aku sebagai sosok laki - laki merasa dendam sangat mendalam dalam diri ini "Aku yakin bisa merubah kehidupan ini dan aku akan membalas semua saudara - saudara ku yang tidak memperhatikanku saat aku terpuruk ini". Aku hidup di lingkungan keluarga bapak (dari sebelah timur rumah ada Pakpoh M*rlin (pedagang kelapa) yang hidup bersama anak - anaknya yaitu Kang Ip*t, Kang Ir*l, Mbak Khusn*l, Kang D*ri dan Kang Sh*diq selanjutnya ke barat ada Pakpoh Marji (petani dan peternak kambing), Pakpoh Marsam (pengrajin senapan angin), Budhe Rumi dan Mbak P*ni (suaminya kepala lantas P*lres Blit*r). Agak jauh dari rumahku yaitu di Srengat ada saudara bapak juga yaitu Mbak Y*li (PNS Pertanian dan suaminya kepala p*jak Blit*r), Mas Y*yut dan Mas D*dik (bengkel mobil), Pakpoh M*rbi (pedagang sayur), Mbak Yah (suaminya k*pala P*lres), Mbak Am*n (PNS dan juga suaminya Kepala Sekolah SD). Kalau keluarga ibu tempatnya sekitar 30 km dari rumah dan kebanyakan miskin karena usahanya tukang becak semua dan serabutan. Aku sangat dendam ke mereka - mereka karena sewaktu aku terpuruk aku tidak pernah dijenguk apalagi diberi dan yang memberi aku murni yayasan M*hammadiyah dan NU serta dari keluargaku adalah Pakpoh Marsam saja. Hingga akhirnya sekarang keadaan sangat berubah, Alhamdulillah keluarga kami sekarang berkecukupan dan banyak yang menghormati ibuku sekarang. Ibuku sering didatangi keluarga sekarang (Mbak Y*li, Pakpoh K*tmadi, Mbak P*ni yang kesemuanya ini dulu tak pernah satu kalipun menengok apalagi membantuku), entah sekadar main atau tanya agar anaknya di carikan pekerjaan seperti aku karena melihat kesuksesanku sekarang.
Mainan kesukaanku adalah layang - layang, suatu ketika aku main layang - layang di rumah N*ko (anak Mbak P*ni) sama saudaraku belakang rumah Mas Ripin karena rumah N*ko sangat besar untuk bermain layang - layang, N*ko tidak suka main layang - layang sehingga sering banget pas tak ajak main dia selalu tidak mau. Pas suatu ketika, N*ko ingin layang - layang namun Mas Ripin tidak mau membuatkan sehingga N*ko lapor ke bapaknya yang polisi dan di kemudian hari layang - layangku jatuh di rumah N*ko didepan sangkar burungnya dan membuat burungnya kaget, seketika itu pula aku mendatangi layang - layangku dan bapaknya N*ko benci banget dengan aku dan bilang "Goblok, cepat pergi dari sini". Aku pulang sambil menangis dan dalam hati merintih ingat bapak, aku yang tidak punya apa - apa seolah - olah sampah yang diperlakukan semena - mena karena perkataan itu sangat menyakitkan padahal aku saudara dan teman sebaya anaknya. Aku dendam dengan bilang dalam hati "Aku harus sukses untuk membuktikan ke bapaknya N*ko bahwa aku tidak boleh diperlakukan semena - mena". Sampai akhirnya, rentang 2 tahun bapakku meninggal, bapaknya N*ko meninggal sepulang dari dinas malam (padahal jam 21.00 sambil lihat wayang di TV dengan aku namun bapaknya tidak pakai baju karena kepanasan) dan jam 00.00 bapaknya meninggal karena masuk angin. Keadaan ini membuat N*ko sedih mendalam, N*ko yang di jagokan bapaknya untuk menjadi polisi akhirnya harus berjuang sendiri dengan ibunya. Dengan uang tabungan yang pas - pasan mereka mencoba berkali - kali daftar polisi dan gagal. Ibunya menjual seluruh aset tanah peninggalan bapaknya yang kemudian keseluruhan uang itu digunakan untuk kuliah N*ko di UT jurusan PGSD (karena iri melihat aku kuliah dan untuk menyamai agar nasibnya sama, ibunya selalu menyamakan apa yang aku lakukan. Aku dulu menyarankan dia untuk mengambil Pendidikan Olahraga, karena aku tahu kemampuan dia bukan di otak namun fisiknya yang gagah dan tinggi. Namun karena bujuk rayu temannya sehingga dia langsung pilih PGSD tanpa konsultasi ke aku). Setelah N*ko lulus, dia bingung cari pekerjaan karena dalam hati aku berfikir maaf kemampuannya bukan disana, sehingga cari pekerjaan susah dan saat dia mengeluh aku malah menyalahkan dia karena pilih jurusan itu dan tidak menganggap rekomendasiku. Sekarang dia menjadi pedagang mainan keliling dari sekolah ke sekolah dan aku menyemangatinya dengan mengatakan semua proses pengalaman akan membawa kita ke jalan kesuksesan, seperti aku dulu yang ngarit dengan semangat berubah juga akan berubah. Jadi pekerjaanmu sekarang harus kamu jadikan batu lompatan untuk membuka pikiranmu menemukan jalan terbaik hidupmu). Mbak P*ni (ibunya N*ko) yang dulu pas lewat depan rumah tidak pernah mampir, sekarang pasti mampir dan mengatakan untuk mencarikan pekerjaan N*ko, aku bilang bidangku teknik dan N*ko pendidikan jadi sangat sulit mencarikan pekerjaan di bidangku. Aku tetap menyemangati dia untuk tanya ke Mbak Am*n (Buleknya N*ko) karena PNS guru SD, jadi dia lah yang lebih tahu lowongan pekerjaan yang sesuai untuk N*ko tapi ternyata malah saudara dekatnya saja tidak membantu (memang aneh di desaku karena sesama saudara saja persaingan dan tidak ingin kalah sukses, jadi jegal menjegal sudah biasa, Naudzubillahimindzalik).

Semenjak ditinggal bapak, kehidupan kami (aku, kedua adikku dan ibu) terjepit. Karena ibu harus berada di lingkungan keluarga bapak yang rakus harta warisan. Untung bapakku adalah anak yang tersukses diantara 8 saudara lainnya, sehingga sewaktu muda beliau selalu membeli tanah milik orang tuanya bahkan milik saudaranya (bapak berprinsip supaya dapat sertifikat dan tidak rame di kemudian hari jika beliau sudah meninggal). Pakpoh Marji sebelah baratku memindah batas tanah berupa patok semen selebar 1 m lebar x 100 m panjang, sehingga dapur dan tanaman kelapa yang dulu milikku menjadi bergeser ke tanahnya dia dan juga timurku Pakpoh M*rlin rakus dengan tanah, sering mnegukur tanah dan menggeser - geser. Ibuku hanya bisa diam, karena perempuan dan takut sedangkan aku masih kelas 2 MTsN belum berani mengambil tindakan tegas ke mereka. Dan sampai akhirnya aku menginjak kuliah tahun ke - 2, aku sedikit punya tabungan dan nyaliku berani. Aku menantang Pakpohku yang sama - sama berhadapan dengan sabit, aku menggugat untuk mengukur tanah karena aku punya bukti kuat sertifikat sedangkan mereka - mereka hanya sebatas warisan. Akhirnya karena dia yakin batas - batas itu benar, mereka berani menerima tantanganku (dengan membawa sabit yang diacung - acungkan dan aku juga berani membawa sabit juga) diundanglah pamong desa (Pak Lurah, Pak Jogoboyo dkk) untuk mengukur tanah sesuai sertifikat, akhirnya Pakpoh Marji terdiam saja dan tanahku kembali. Dia mengotot untuk memberi tanaman jarak supaya adikku tidak melewati sana namun aku bilang tidak usah dipagari, besok aku langsung pamggilkan tukang untuk buat pagar (dengan gaya, dia menantang untuk membuat tembok karena mikirnya aku punya uang dari mana karena pikirnya aku masih miskin). Tepat besoknya, ada 4 tukang dengan semangat datang ke rumah dan langsung membuat pagar (mereka kasihan dengan aku karena dimusuhi saudara sehingga saat tak kasih kerjaan dia langsung mengerjakan dan meninggalkan sebentar pekerjaannya membangun rumah di tempat lain). Akhirnya sebelah baratku sudah aku tembok sampai panjang 100 m kebelakang. Sampai sekarang Pakpoh Marji tidak berani melawan aku, aku babat pohonnya yang menyentuh tanahku tidak marah, jalan tembusan aku tutup diam saja dan akhirnya akulah pemenang dari semua ini. Sekarang dia hidup sakit - sakitan dan hanya seorang diri (tidak menikah dan hanya ditemani kucing serta kambing), aku mendoakan agar dia segera diberi adzab karena dia itu perebut tanah (tidak hanya aku bahkan banyak orang yang hampir duel dengan dia masalah tanah, dia hampir mati digorok oleh orang karena kerakusannya namun untung ada yang memisah).

Waktu itu aku sedang mencuci motor, aku hidup bertiga dan ibuku di Kalimantan. Adikku yatim sering main dengan lewat halaman Pakpoh Marji, setelah lewat halamannya adikku dilempari dengan banyak kerikil dan aku menyaksikan sendiri pelemparan itu. Dengan nada tinggi, aku langsung misuh "Dancok, kelakuanmu koyo asu memperlakukan adikku seperti itu", dia keluar langsung bawa sabit dan menantang aku "Ayo panggil semua teman - temanmu tak bacok semua, tak tantang di lapangan sekarang". Aku terdiam, karena posisiku saat itu masih SMA kelas 1 dan belum ada nyali yang gede. Dalam hatiku "Awas aku akan membalas semua perlakuanmu, aku akan bawa ini sampai matimu". Sampai akhirnya sekarang aku beli Airg*n (5 juta) dengan ijin P*rbakin untuk melawan Pakpohku yang gila itu, setiap pulang aku mencoba menebang pohonnya yang menyentuh tanahku dan dia diam saja padahal dulu selalu marah - marah. Sangat sering dulu Pakpohku bertengkar dengan ibu masalah sepele yaitu ayamku dilempar kayu atau tamuku yang melewati halamannya, jalan yang telah dilewatinya langsung dilubangi, Pakpohku selalu bawa sabit sambil keluar rumah dan mengatakan "Pelacur tidak pantas hidup disin, pergi saja dari tempat sini". Aku yang posisi di Surabaya karena kuliah, panas banget mendengar perkataan itu dan rasanya ingin membunuh orang gila itu. Pakpohku itu berani jika tidak ada aku, jika ada aku dia tidak berani berkata dan berbuat apapaun. Sekarang kalau dia menyentuh tanahku dan keluargaku, akan aku tembak sampai mati (ini dendamku yang sampai sekarang tetap aku simpan) karena apakah dia tidak ingat walau ibuku bukan asli situ ada anaknya yang menggantikan dan mewarisi peninggalan bapak.

Sesudah sekitar 1 tahun kami ditinggal bapak, aku langsung menggantikan posisi sebagai kepala keluarga yaitu dengan bekerja sebagai buruh serabutan jika hari libur dan mengarit memelihara kambing sekitar 15 ekor lebih. Ibu yang kala itu hanya mengandalkan bantuan yayasan untuk adikku yatim, dengan daya upaya meminimalkan pengeluaran. Ibu selalu masak sayur sop bening tanpa santan dan sambal korek, aku yang ngarit karena cuma makan sayur bening terasa di badan tidak ada tenaga karena kalau orang kerja berat harus makan kuah santan agar stamina tetap kuat. Aku sering mengamuk ke ibu dengan bilang "Bu, buatkan sayur santan ta!" dan ibu menjawab "Pakai uang mana lagi to Fer, harga kelapa 2 ribu lho 1 buah" kemudian aku berkata lagi "Ya ibu sebagai orang tua gimana kuk hidup sampai kekurangan begini, punya anak banyak tidak punya tabungan". Ibuku langsung menangis tak perlakukan kasar seperti ini, melihat masa laluku ini aku menjadi salah banget namun kondisi saat itu memang aku lagi berotak panas, tiap pulang sekolah aku harus cepat - cepat makan, sholat dan langsung ngarit. Makan yang ada cuma sayur bening, jadi tidak bertenaga dan di sawah aku loyo banget karena dengan sumber energi seperti itu aku harus mengelurarkan tenaga dari jam 14.00 - 18.00. Maafkan aku ibu, kamu dulu orangtua yang sangat hebat, dengan kondisi pas - pasan bisa mengatur keuangan dan anak - anakmu tetap bisa makan. Ibu selalu punya cara untuk memenuhi keinginanku sayur santan yaitu memakai kemiri yang harganya murah namun rasanya ya tetap jauh berbeda dengan santan kelapa dan itupun juga dilakukan jarang - jarang karena pengeluaran akan bengkak sehingga sayur yang tetap adalah sayur bening dengan daun - daun memetik sendiri dari kebun belakang.

Sebelum meninggal, bapak pernah berpesan ke aku untuk menanami kebun belakang dengan pisang dan ketela supaya bisa dimakan oleh keluargaku jika diperlukan. Akupun melakukan wasiat bapak itu, sambil menanam ketela aku menangis teringat bapak namun aku harus semangat menjadi kakak teladan buat adik - adikku dan aku tidak boleh membuat dia sengsara mencari uang untuk kebutuhan, biarlah aku yang memikirkan semuanya (sejak kelas 2 MTsN aku sudah diajak ibuku berfikir mengatur uang dan mencari uang untuk kebutuhan makan sehingga membuatku keliatan tua sebelum waktunya serta menjadikan aku pribadi yang diam tertutup dari lingkungan). Setiap pulang ngarit, kebetulan ada kebun pisang yang anak pisangnya sering dibabat karena terlalu banyak dan dibuang, kemudian olehku tak bawa pulang terus tak tanam di kebun belakang dan sampai sekarang pisang itu masih ada dan jika berbuah rimbun bisa untuk makan adik - adikku. Aku sangat senang sekali menanam, aku dulu sering mencari buah timun yang sudah tua karena dibuang oleh pemiliknya kemudian aku menanamnya dan tumbuh sangat baik timunku. Aku juga sering menanam terong untuk kebutuhan makanku dimana bibitnya aku dapat dari tanaman liar di sawah yang aku cabut kemudian aku tanam di kebun belakang rumah. Semua pengalamanku ini sekarang tak tularkan ke adikku sehingga dia nanti juga bisa mandiri seperti aku dulu.

Aku selalu ngarit untuk kambingku diatas 15 ekor sendirian, aku tidak mau ibuku dan adik - adikku sengsara ataupun capek. Aku beli sepeda onthel reot titip Pak Sholihin untuk dibelikan, sepeda itu yang aku pakai selama 5 tahun untuk mengangkut karung rumput. Kalau ban sepeda hamil tanda sudah aus, aku hanya bisa memberikan tali karet pada velg nya (karena tidak punya cukup uang untuk beli ban bekas). Namun karena aku sering melewati rumah Mbak Har (tetanggaku), aku melihat ada ban bekas diatas tumpukan kayunya dan akupun ijin ke Mbaknya untuk meminta itu dan karena kasihan dikasihkan ban bekas tersebut kemudian oleh aku dengan dikerjakan sendiri tak ganti ban sepedaku tersebut (aku dulu tidak pernah ke bengkel untuk servis sepeda ataupun motor, aku belajar tambal ban sendiri, servis sepeda sendiri, servis karburator motor sendiri yang aku dapatkan ilmunya langsung dari Pak Poh Marsam walau bapakku sendiri sebenarnya ahli di bidang tersebut namun aku belum sempat belajar dan ditinggal bapak waktu masih kecil). Kala itu waktu musim hujan, mencari rumput sangat susah di sawah (semua ditanami padi, jadi rumput hanya ada di "galengan" (jalan sempit antara tanaman). Kalau musim hujan aku pasti sangat lama dalam mencari rumput karena saking sulitnya namun aku tidak mengeluh, sedikit demi sedikit rumput aku dapat, berpindah - pindah terus karena mencari area rumput bahkan tidak terasa aku sudah ada di perbatasan sawah desa sebelah (berjalan terus mencari rumput sampai ke sawah desa sebelah). Kalau pulang sekolah hujan, aku pasti diingatkan sama Budhe Pingah dan Mbak Yul tetangga agar hati - hati di sawah karena petir dan benar saja saat hujan pasti ada petir dan aku dengan merunduk kehujanan tetap mencari rumput diantara pepohonan (mencari tempat perlindungan dari petir). Aku hanya berani ngarit di sawah paling pinggir atau dekat parit kalau ada petir dan Alhamdulillah sampai aku bisa menuliskan ini tidak pernah terjadi apa - apa. Di waktu siang di sawah, antara jam 12.00 - 14.00 ular sawah berkeliaran dimana - mana, pas jalan ngarit pasti  bersimpangan dengan ular dan rasanya bagiku sangat giris merinding dengan ular. Saat ngarit ditemani ular sudah biasa, saat ngarit tanpa sengaja membacok ular berbisa hitam yang sedang ganti kulit dan pernah juga menyenggol ular kobra sampai ularnya berdiri tegak melawan. Aku mencoba mencari buku doa - doa untuk dijauhkan dari malapetaka ular dan aku menemukan yaitu "salamun 'alanuhin fil 'alamin (selamat atas bangsa nuh di alam semesta), jadi sebelum masuk area persawahan aku pasti membaca itu dan Alhamdulilah aku tidak pernah digigit ular. Tangan penuh luka bacok sabit sudah biasa (saking ngarit keras, pasti dalam 1 minggu pernah kena bacok), telinga berdenging (tanda mengangkat rumput yang terlalu berlebihan) sudah biasa dan leher kram tidak bisa digerakkan juga hal yang sudah biasa. Tanganku penuh kapalanm lubang - lubang kecil dan berwarna hitam kekuningan pertanda terkena rumput dan tanah (pernah sewaktu kelas 2 MTsN aku ditanya sama Al* Mash*r teman sebangkuku kenapa tanganku seperti ini dan aku menjawab aku sering voli, aku berbohong karena aku tidak mau teman - temanku iba ke aku karena aku tidak pernah jajan di waktu istirahat).

Kelas 2 MTsN aku terbilang sangat pemalu, jadi aku cenderung diam dan malah digodain sama cewek (namun aku menjawab secukupnya saja). Aku buka sekarang alasanku mengapa aku diam itu, yaitu karena aku menjadi pemikir sejak ditinggal Bapak, ibu sering mengajak aku memikirkan masalah keluarga, pengeluaran uang dan masa depan adik - adikku (aku yang masih duduk sekolah saat itu harus berfikir keras menemani masalah bersama Ibuku). Aku merenung terus memikirkan bagaimana bertahan hidup dengan aku yang masih sekolah belum bisa bekerja, ibu tidak bekerja, bapak tidak meninggalkan harta benda dan adik - adikku masih kecil. Di kepala ku seperti mendapat bisikan untuk keluar sekolah dan bekerja serabutan agar bisa membahagiakan adik - adik namun disisi lain pikiranku juga masih jernih menatap masa depan kalau aku bisa sekolah tinggi. Tiap hari aku merenung dan saat itu raut mukaku menunjukkan lebih tua dari teman sebayaku dan itu sampai sekarang (aku keliatan lebih tua dari umurku, terbawa dari masaku dulu). Ibu tidak bisa memberi uang saku aku, jadi selama kelas 2 MTsN aku selalu pegang uang 5 ribu yang tak akan aku jajakan melainkan hanya untuk jaga - jaga kalau ban sepeda bocor (sepedaku adalah hadiah dari bapakku sewaktu beliau masih hidup yaitu jengki warna biru. Teman - temanku sangat ceria di kelas dan aku tidak pernah tertawa satu kalipun kala itu, di waktu istirahat mereka yang laik - laki berbondong - bondong keluar kelas dan beli jajan sedangkan yang perempuan beli jajan kemudian balik lagi ke kelas untuk makan di kelas. Di kelas yang laki - laki hanya aku yang sambil mengerjakan buku LKS sambil belajar pelajan IPA - IPS dan aku sering di godain sama cewek - cewek sambil mereka makan (aku sangat malu sebenarnya, namun kalau aku keluar aku lebih malu lagi karena teman - temanku makan semua dan aku tidak enak kalau hanya diam melihat mereka makan). Teman - temanku tidak tahu kalau aku tidak punya bapak (memang tak rahasiakan karena aku tidak mau dikasihani). Ibuku dirumah tak minta konsentrasi memberi uang saku adikku no 2 saja yang cewek yaitu Hevi yang kalan itu kelas 6 MI, biar dia tidak minder dan tetap semangat sekolah (Hevi dan adikku no 3 yang amsih kecil tidak pernah tahu masalah keuangan keluarga, memang aku dan ibuku yang cukup tahu dan merahasiakan itu semua). Bel berbunyi tanda pulang, aku dengan segera berjalan cepat, mengambil sepeda dan mengayuh sepeda dengan kencang segera pulang ke rumah dan sampai dirumah makan seadanya dengan cepat, wudhu kemudian sholat dhuhur - ganti baju ngarit - mengasah sabit - mencari karung - menggenjot sepeda ke sawah - dapat 1 karung besar pulang - dikasihkan kambing - sholat ashar - ke sawah lagi sampai maghrib (kebiasanku seperti ini terbawa sampai sekarang berjalan cepat, makan cepat, berbicara cepat, mengerjakan sesuatu cepat dan intinya semua tergesa - gesa karena bagiku waktu sangat berharga dan tak boleh hilang, santai belakangan kalau pekerjaan sudah selesai). Pantang berhenti kalau pekerjaan belum selesai dan aku terus kepikiran kalau tanggung jawab belum diselesaikan dan ini prinsipku.

Aku kelas 3 MTsN dan adikku no 2 kelas 1 MTsN, adikku selalu dikasih uang 500 rupiah dan aku tidak, aku selalu ingin membahagiakan adikku no 2 agar selalu berkecukupan seperti teman - teman nya. Adikku memiliki banyak teman dan kebanyakan anak orang mampu jadi pas istirahat selalu jajan banyak. Sewaktu ketika, ada teman nya yang memang hidupnya pas - pasan pinjam uang ke adikku, adikku dengan sopan menjawab tidak punya uang dan uangnya ya hanya cukup untuk jajan 1 hari ini saja namun teman tersebut tetap tidak percaya dan menganggap adikku anak orang mampu (dari penampilan aku dan adikku dulu itu tidak menunjukkan muka anak miskin, karena adikku tinggi, mancung, bersih dan manis). Setipa ngarit aku selalu pakai penutup muka rapat dan lengan panjang sehingga muka dan tanganku tetap kuning (teman - temanku tidak ada yang tahu aku ngarit karena kulit tanganku ku juga bersih kala itu, cuma telapak tangan kapalan dan lubang - lubang kecil). Setaip minggu, libur besar atau libur sekolah aku diajak untuk "manjing" (bekerja serabutan di sawah) untuk menambah uang keluarga dan jika mendesak tidak punya apa - apa maka kambingku jantan dijual untuk kebutuhan hidup.

Sesudah aku lulus kelas 3 SMA, aku dan ibuku sering main ke rumah mbah di Lodoyo Blitar untuk silaturahmi dengan Pak Poh K*tmadi dan Budhe, aku bercerita ingin sekali kuliah namun biaya tidak ada dan Pakpoh, Budhe dan Sepupu menganjurkan aku untuk bekerja sebagai Satpam saja karena wajahku cocok (garang) kata mereka. Dalam hatiku seperti penghinaan ini namun aku juga sadar diri, orang desa hampir 80 % tidak berpendidikan tinggi dan berpikiran bahwa bekerja adalah jalan untuk sukses sedangkan sekolah / pendidikan adalah percuma dan hanya menghabiskan biaya. Dengan tegas aku berkata ke mereka, kalau aku ingin bekerja pakai otak tidak pakai fisik dan mereka mentertawakan tanda mengejek. Aku semakin semangat lagi untuk membuktikan cita - citaku ini dan di kemudian hari pas cap sidik 3 jari hasil UAN aku diberi nasehat sama Bu W*ismaninggalih agar aku untuk daftar beasiwa dan harus meneruskan sekolah. Sampai akhirnya Alhamdulillah aku mendapatkan semua itu dan mengantarkan aku di Surabaya.

Saat kuliah, aku tinggal di asrama beasiswa dan di awal - awal aku harus irit pengeluaran karena untuk berbagai keperluan dan tabungan kalau ingin pulang ke Blitar. Aku makan tiap hari 2x yaitu beli nasi + tempe 1 biji harga 2500 di Keputih Gang 3 Surabaya dan kadang kalau uang seret aku beli mie kiloan yang hanya tak masak dengan irisan cabe, bawang merah dan bawang putih. Bagiku rasanya sudah enak banget (saking anak mahasiswa hidup pas - pasan, pukuk perut kenyang) dan pernah juga teman - temanku merasakan masakanku yang ala kadarnya namun mereka juga bilang enak. Jadi kalau akhir pekan (Sabtu & Minggu) kami se asrama pasti masak - masak dan yang jadi juru masak aku sama mas David. Karena berbulan - bulan makan mie yang tidak bergizi, rambutku jadi rapuh & rontok, kering kepirang - pirangan dan sama teman - teman asrama aku disuruh berhenti makan mie. Di bulan Ramadhan, selama 1 bulan penuh aku bisa save uangku karena tiap buka puasa, aku & teman - temanku berburu ta'jil ke masjid - masjid di sekitar Keputih dan sepulang sholat maghrib pasti masih banyak sisa ta'jil sehingga aku mengambilnya lagi untuk sahur (walau nanti rasanya sudah agak basi namun aku tetap makan). Namun yang paling sering adalah aku tidak sahur, karena buka itu juga tak niati untuk puasa esok harinya.

Pertengahan tahun 2014, Pakpoh Marsam sakit tenggorokan yaitu suaranya hilang dan sering sesak nafas sehingga beliau harus sering di periksakan ke RSUD Mardi Waluyo dan divonis kanker pita suara akibat kebanyakan rokok. Pakpoh Marsam adalah pengganti bapakku, Pakpoh terbaik di hidupku, Pakpoh yang selalu membela aku jika dimusuhi Pakpoh - Pakpohku yang lain, Pakpoh yang semasa aku kecil sangat dermawan mengasih uang ke aku, Pakpoh yang selalu mengajari aku otak - atik mesin motor, Pakpoh yang selalu benerin kerusakan motorku dan membuatkan variasi motorku tanpa dibayar, Pakpoh yang selalu memberi saran ke keluargaku, beliaulah yang membesarkan adikku yatim dan juga beliaulah yang selalu benerin semua kelistrikan dan barang rusak di rumah. Pakpoh adalah orang tercerdas di daerahku bahkan bapakku saja kalah, dia sangat ahli di semua bidang mulai bubut & las, membuat senapan angin, membuat meubel (kursi, pintu & meja), mesin (motor & diesel), tukang bangunan, kelistrikan dan semua keahlian teknik lainnya. Beliau punya bengkel, sehingga saat bengkelnya buka pasti banyak orang yang datang untuk benerin sesuatu disana saking Pakpoh pintarnya menangani semua kerusakan. Jadi sehari, Pakpoh bisa mendapatkan ratusan ribu dari jasa bengkelnya dan sangat dermawan ke semua keponakannya (saat aku kecil selalu dikasih uang bahkan adikku yatim dulu dibesarkan oleh Pakpoh karena Pakpoh orangnya baik). Pakpoh ditinggal istrinya ke Malaysia dan tidak kembali sehingga menjadi single parent dengan anaknya laki - laki yang penganggur yaitu Mas W*dodo (ditinggal ibunya saat masih SD dan sekarang dia berumur 36 tahun). Saat Pakpoh sakit, anaknya tidak mau mengurusi dengan alasan menyalahkan masa lalu Pakpoh yang membuat ibunya tidak kembali ke Indonesia. Akhirnya Pakpoh dirawat oleh keponakanya yaitu Mas Andri, Mbak Sul dan aku. Pakpoh dirujuk ke RS Dr. Soetomo untuk dilakukan tracheotomy (trakea di bor untuk membuat jalan nafas), masalah timbul yaitu Pakpoh tidak punya uang untuk berobat dan aku mengambil alih posisi itu yaitu dengan membiayai pengobatan Pakpoh sebagai balas budiku dulu dan Mbak Sul serta Mas Andri yang merawat di RS (anaknya tidak mau sama sekali merawat).  Biaya operasi pertama sekitar 8 juta aku tanggung sehingga Pakpoh dioperasi dan berlubanglah sekarang lehernya. Pakpoh juga tak daftarkan BPJS 10 bulan 590 ribu sehingga berada di kamar kelas 1 untuk perawatan pasca operasi. Pakpoh sering tak bawa dari Surabaya - Blitar dengan mobilku untuk kontrol dan terkadang juga mencharter mobil tetangga (1 hari = 600 ribu) dan dari semua perjalanan untuk berobat kontrol itu aku yang menanggung yaitu total selam beliau sakit sekitar 5 juta. Untuk biaya berikutnya, Pakpoh harus di Rontgen untuk mengetahui organ dalamnya normal apa tidak sebelum dilakukan operasi pengangkatan sel kanker dan biaya sekitar 7 juta aku juga yang menanggung. Di tengah perjalanan pengobatan Pakpoh ini, anaknya di Blitar telepon bahwa aku tidak boleh menghabiskan uang untuk berobat melebihi bagian tanahnya Pakpoh karena tanah Pakpoh dirumah kata anaknya masih gono - gini. Anaknya menuntut bagian ibunya (gini) sehingga total tanah (25 RU, dimana 1 RU = 14 M2) dipecah dengan rincian anaknya mendapat 10 RU dan Pakpoh 15 RU + bangunan rumah (Naudzubilahimindzalik ada anak seperti itu, dimana ayahnya masih sakit perlu dana dan sudah dirawat keponakannya tanpa dibayar, dia tidak mau mengurus dan malah meminta bagian tanah). Semoga Alloh membalas sesuai apa yang dilakukannya kelak di kemudian hari. Aku juga memberi Pakpoh uang saku agar saat butuh tissue, kapas dan makanan kecil beliau bisa beli yaitu sekitar 3 juta. Aku sangat ikhlas membantu Pakpoh karena jasa - jasanya dahulu namun aku tidak ikhlas jika orang yang seharusnya tanggung jawab (anaknya) mengurus masa tua ayahnya di kemudian hari dialah yang malah memegang warisan (aku sangat membenci dia sampai sekarang). Karena pengobatan itu harus menunggu lama, Pakpoh terkadang tidur di kosku saat aku masih kerja di Gresik, numpang tidur di rumahnya Sh*nta (pacarku) di daerah Masjid Agung dan juga kadang tidur di gubuk mungil ayahnya Mbak Sul di daerah Juanda (beralaskan tikar untuk tidur dan sungguh kasihan hidupnya). Setiap hari keluar lendir kental di slang lehernya dan bahkan pernah berdarah, perjuangan Mbak Sul dan Mas Andri yang terbesar yaitu hampir hari - harinya untuk mencuci slang berisi lendirnya Pakpoh dan aku juga membersihkan saat aku menjaga Pakpoh di RS dan saat beliau tidur di rumah Sh*nta. Saat sakit itu pula aku menghibur Pakpoh dengan mengajak jalan - jalan melihat pemandangan kota dan menyeberangi Jembatan Suramadu bersama Sh*nta dan Pakpoh sangat senang (setidaknya aku pernah membahagiakan beliau sebelum meninggal). Dengan kondisi organ dalamnya yang kurang baik, Pakpoh harus menjalani istirahat dulu dirumah dan dirumah beliau masih sering bermain bersama adikku. Kondisi Pakpoh semakin parah dan waktu itu kebetulan aku mau balik dari Blitar ke Surabaya dan Mbak Sul yang merawatnya dulu juga pulang dari penampungan TKW untuk menjenguk Pakpoh dan benar saja sesudah pamitan dengan aku, Pakpoh meninggal di pangkuan Mbak Sul dan Pakpoh benar - benar tidak mau dirawat anaknya karena saking bencinya. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, semoga Pakpoh mendapat tempat terbaik disisiNya.
============================== TRUE STORY===============================
=====================DEDICTED TO : ANAK & ISTRIKU========================

Previous
« Prev Post