Trending Topik

Kandungan Air (Water/Moisture Content) di Minyak Pelumas (Oil Lubricating)

Diposting oleh On Tuesday, July 30, 2019

Berdasarkan EPRI "Maintaining Lube Oil" dikupas mengenai macam-macam water content dan cara menurunkannya. Di PLTU penanganan water content erat kaitannya dengan lubricating system, dimana terdapat standar parameter khusus agar sistem pelumasan pada peralatan rotating bekerja secara sempurna.
Keberadaan air (water content) di oil pelumas dapat menyebabkan: [EPRI, 2001]
  • Korosi pada permukaan logam
  • Peningkatan oksidasi
  • Pembentukan sludge
  • Mengurangi ketahanan film oil (bisa menyebabkan peningkatan wear)
  • Peningkatan operasi material yang bergesekan
  • Deplete additive dengan proses hydrolysis
  • Menaikkan viscosity 
  • Mengurangi film thickness pada 2 permukaan material yang dilumasi
  • Meningkatkan wear failure
Peningkatan wear failure ---> material metal yang terkelupas karena keausan atau abrasi atau reaksi kimia maka ketika bertemu dengan air sesuai reaksi:

M + H2O ---> MO + H

M (metal) akan mengikat oxygen dari water sehingga dibebaskan gas Hyang bisa menyebabkan hydrogen embrittlement sehingga metal yang bergesekan menjadi rapuh (peningkatan laju wear[Garvey and Fogel, 1996]

Kontaminan water/moisture pada oli bisa menyebabkan reaksi kimia dengan aditif pada oli, bisa dibaca di: Aditif Kimia pada Pelumas Oli. Moisture bisa menyebabkan korosi pada oil tank atau part yang dilewati oli. Moisture/water bisa mengurangi kadar dispersant dan emulsifier pada aditif kimia oli sehingga kemampuan oli untuk coalescing/agglomerating (menyatu) menjadi berkurang. Selain itu juga mengurangi kadar Zinc (Zn) pada aditif oil Zinc Dithiophospate (ZDTP) yang digunakan sebagai anti-wear[Garvey and Fogel, 1996]

Terdapat beberapa sumber air (water) di oli pelumas:
  • Oil cooler leak
  • Seal/gland steam sealing leak
  • Condensation
  • Atmosphere (through breather, acces cover, vent)
Terdapat 3 phase water content yaitu:
  • Free Water, air yang terpisah sempurna dengan oil dan bisa dilihat secara visual terpisah dibagian bawah oil 
  • Emulsified Water, air yang bercampur cukup sempurna dengan oil, ketika dikocok akan berbuih dan menunjukkan pengeruhan warna pada oil. Kontaminan ini bisa dilihat secara visual namun phase tidak berpisah dengan oil 
  • Dissolved Water, air yang bercampur sempurna dengan oil dan tidak bisa dilihat secara visual
Terdapat satu lagi parameter yang umum kami temui yaitu Total Water (merupakan gabungan antara dissolved water + free water). Di beberapa laboratorium ketika tidak menunjukkan fase air-nya maka cenderung menampilkan parameter water content. Ini bisa dianalisa sebagai free water atau total water tergantung peralatan yang mereka pakai.

Terdapat 3 cara menurunkan kandungan water content di minyak pelumas yaitu:
  • Centrifuging, bisa digunakan untuk menurunkan free water dan sebagian emulsified water. Di PLTU banyak mengaplikasikan sistem ini karena prinsipnya yang menggunakan gaya sentrifugal sehingga biaya energi cukup rendah
  • Absorbent Polymer/Dessicant Filter, hanya bisa digunakan untuk menurunkan free &emulsified  water dengan prinsip seperti desikator atau eksikator atau silica gel. Dengan memanfaatkan agent dessicant maka air akan terikat
  • Vacuum Dehydration/Distillation, bisa digunakan untuk menurunkan 3 water content (free water, emulsified water dan 80% dissolved water). Prinsipnya oli dilewatkan heater pada temperatur 150 degF dan dilewatkan vacuum distillation column. Sistem ini mampu menurunkan water content sampai 50 ppm (0.005%) namun energi yang dibutuhkan sangat besar sehingga sistem ini paling boros diantara yang lainnya

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2019). Kandungan Air (Water Content) di Minyak Pelumas, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi :
[1] EPRI. (2001).  Maintaining Lube Oil System Cleanliness in Motor Bearing Application. California
[2] Feriyanto, Y.E. (2015). Lubricating & Sealing System PLTU. www.caesarvery.com, Surabaya
[3] Feriyanto, Y.E. (2016). Analisa Oli Pelumas (Tribology) dan Referensi Report. www.caesarvery.com, Surabaya
[4] Garvey, R., and Fogel, G. (1996). Estimating Water Content in Oils: Moisture in Solution, Emulsified Water, and Free Water. US Department of Defense

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Galvanic Corrosion/Bimetallic/Dissimilar Metal (Korosi Galvanis)

Diposting oleh On Sunday, February 24, 2019

Galvanic Corrosion atau Korosi Galvanis adalah korosi yang terjadi karena perbedaan potensial elektrokimia antara 2 material yang disatukan. Penjelasan proses reaksinya sudah di bahas di: Macam-Macam Korosi Material
Didalam proses galvanic corrosion melibatkan reaksi kimia seperti di sel volta sehingga mauatan ion berbanding terbalik dengan sel elektrokimia dimana di sel volta untuk katoda (+) dan anoda (-). Penjelasan detail di: Sel Volta/Sel Galvani.
Didalam lingkungan yang korosif seperti elektrolite (banyak ion) 2 metal yang disatukan masing-masing memiliki potensial elektrokimia yang berbeda-beda dimana arus elektron mengalir dari anode (-) ke katoda (+).
Sebagai contoh 2 metal berbeda disatukan :
Fe2+ + 2e ---> Fe (Katoda karena reduksi = KARED)
Zn ---> Zn2+ + 2e (Anoda karena oksidasi = ANOKS) ---> terkorosi lebih dahulu karena Zn terletak dibawah Fe berdasarkan deret volta.
2 metal tersebut berada di lingkungan yang korosif seperti pH asam/basa, excess oksigen dan larutan elektrolit maka akan terjadi aliran elektron antara metal dan fluida.

Faktor yang mempengaruhi tingkat korosi di galvanic corrosion (Corrosion Institute, 2010) :
  • Elektrolite (pH, komposisi kimia, konsentrasi kimia dan conductivity)
  • Area Ratio (area katoda yang lebih besar dari anoda kurang baik karena elektron yang hilang lebih besar dan sebisa mungkin area ratio katoda dan anoda sama. Katoda yang lebih besar dari anoda maka metal didekatnya juga harus lebih besar untuk memenuhi elektron yang hilang tersebut sehingga lama-kelamaan akan terkikis
  • Aeration dan Flow Rate (tergantung terhadap dissolved oxygen yang ada di lingkungan dimana semakin tinggi oksigen maka reaksi oksidasi semakin cepat terjadi dan juga flow rate fluida yang mengalir semakin cepat akan menimbulkan penurunan nilai potensial elektrokimia metal sehinggga menjadi mudah teroksidasi/melepaskan elektron)
  • Metallurgical Condition and Composition (kondisi ketika pembuatan metal seperti cold/hot working akan mempengaruhi sifat anoda/katoda-nya ketika disatukan dengan metal lain serta dalam metal sama jika komposisi kimia berbeda sedikit saja akan mempengaruhi ketahahan korosinya)
  • Stifling Effect (efek akumulasi paparan seperti time of exposure)
  • Fluid Environment (lingkungan fluida yang korosif seperti air laut, asam sulphate, excess oksigen menyebabkan 2 metal lebih cepat mengalami korosi galvanis
  • Atmospheric Environment (kondisi lingkungan seperti humidity tinggi, dekat polutan, di area terbuka dan kondisi metal terpendam menyebabkan korosi galvanis mudah berlangsung)
  • Position of Metal in the Galvanic Series (pemilihan metal yang akan disatukan diusahakan perbedaan potensialnya yang sekecil mungkin agar tidak terjadi galvanic corrosion)
  • Effect of Distance (diketahui bahwa daya hantar listrik di larutan (solution conductivity) berbanding terbalik dengan panjang (length) dan lintasan (conduction path). Tingkat galvanic corrosion akan parah tepat pada sambungan 2 metal sehingga dengan menambah panjang metal maka efek korosi galvanis bisa ditekan
Cara mencegah agar terhindar dari korosi galvanis ??
  • Mengupayakan memilih material yang sama jika harus menyambungkan
  • Jika memang harus menyambungkan 2 material, setidaknya dipilih yang tidak terlalu jauh nilai energi potensial sesuai deret volta
  • Jika metal yang sama atau yang berdekatan sesuai deret volta tidak bisa diupayakan maka antara sambungan diberi insulator (nonmetallic, nonabsorbent) untuk mencegah aliran arus elektron misalnya plastik atau coating
  • Painting antara 2 material yang tersambung
  • Mendesain cathode area lebih kecil dibanding anoda sehingga tingkat perpindahan elektron bisa ditekan
  • Bagian yang difungsikan sebagai anoda dibuat lebih tebal untuk memberikan loss material yang cukup lama
  • Menempatkan sacrificial anode untuk menggantikan reaksi korosi, detail bisa baca di: Macam-Macam Cara Pencegahan Korosi
Berikut kutipan dari Schweitzer (2010):

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2019). Galvanic Corrosion/Bimetallic/Dissimilar Metal (Korosi Galvanis)www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Corrosion Institute. (2000). Bimetallic Corrosion. Teedington
[2] Dexter, Stephen. (2003). Galvanic Corrosion. University of Delaware
[3] Inox, Euro. (2009). SS in Contact with Other Metallic Material. Journal of Materials and Applications Series, Vol 10
[4] Schweitzer, P.A. (2010). Handbook of Fundamentals of Corrosion Mechanisms, Causes, and Preventative Methods. CRC Press. London & New York

Macam-Macam Uji Untuk Analisa Kerusakan Material Tube Condenser dan Analisa Korosi

Diposting oleh On Monday, February 18, 2019

Tube condenser pada umumnya bertipe once-through open cooling system yang artinya sistem pendingin satu kali lewatan. Pendingin yang digunakan umumnya air laut dan ada juga yang menggunakan air sungai. Material yang umum digunakan di tube condenser adalah titanium, copper, brass, alumunium atau stainless steel. Pemilihan material tersebut didasarkan pada sifat thermal konduktifitas, ketahanan korosi terhadap air pendingin yang digunakan dan ketahanan terhadap injeksi kimia yang digunakan.
Terdapat berbagai macam tipe kerusakan yang terjadi di tube condenser misalnya bocor (pitting, retak rambut, robek), patah (vertikal, horizontal), buntu (kerak, kerang/tritip, sludge, kapur).
Gambar 1. Profil Kerusakan Tube Condenser
Tube condenser beroperasi pada suhu cukup tinggi karena harus menerima low pressure steam dari turbine untuk dikontakkan dengan air pendingin agar didapatkan condensate kembali sebagai recycle uap-air. Jika perbandingan antara flow air pendingin dengan flow steam tidak seimbang maka kondensasi tidak tercapai dan berefek pada overheating di tube. Beberapa penyebab yang mungkin terjadi adalah plug tube sudah >10% dari total tube, terdapat penyempitan jalur air pendingin karena kebuntuan atau vakum condenser drop.
Beberapa cara bisa digunakan untuk mendeteksi kebocoran tube condenser seperti yang sudah di tulis di artikel: Condenser PLTU Berdasarkan Standard EPRI

Sedangkan untuk mencari root cause kerusakan material tube condenser diperlukan teknologi untuk analisa sebagai berikut :
  • Uji Makrografi/Macrography
Pengujian visual 2 dimensi menggunakan mikroskop dengan pembesaran mulai dari 0.5x s/d 50x. Hasil yang didapatkan adalah penampang secara 2D struktur permukaan material dan bisa digunakan untuk mendeteksi kemungkinan korosi berdasarkan struktur yang berbeda jika dibandingkan antara pipa baru dengan pipa lama.
Gambar 2. Hasil Uji Makrografi Outer Surface Tube Condenser - New
Gambar 3. Hasil Uji Makrografi Inner Surface Tube Condenser - New
Gambar 4. Hasil Uji Makrografi Inner Surface Tube Condenser - Ex Used
Gambar 5. Hasil Uji Makrografi Outer Surface Tube Condenser - Ex Used
Pengujian menggunakan cairan berwarna untuk mendeteksi secara visual kemungkinan failure yang terjadi. Hasil yang didapatkan berupa resapan cairan berwarna ke pori-pori material, sehingga bila terdapat retak rambut, pitting atau bocor akan ada indikasi warna di sisi luar.
Gambar 6. Hasil Uji Penetrant Tube Condenser - New
Gambar 7. Hasil Uji Penetrant Tube Condenser - Ex Used
  • Uji SEM-EDX
Pengujian visual 3 dimensi (SEM) dan dibaca unsur penyusunnya (EDX). Pengujian SEM saja akan menghasilkan pembesaran secara visual sedangkan jika hasil dari SEM ditambahkan dengan EDX maka unsur kimia yang terakumulasi di permukaan material akan kelihatan. Pengujian ini efektif untuk mendeteksi adanya kimia agent korosi yang terakumulasi di material sehingga bisa digunakan untuk mendeteksi asal penyebabnya.
Gambar 8. Hasil Uji SEM Inner Tube Condenser - Ex used
Gambar 9. Hasil Uji SEM Outer Tube Condenser - Ex used
Gambar 10. Hasil Uji SEM-EDX Inner Tube Condenser - Ex used
Pengujian komposisi unsur kimia kerak menggunakan X-Ray. Hasil yang didapatkan bisa digunakan untuk mendeteksi asal kerak sehingga agent kimia berbahaya yang bisa menyebabkan kerusakan material bisa dicegah.
Gambar 11. Hasil Uji XRD Kerak Tube Condenser - New
Gambar 12. Hasil Uji XRD Kerak Tube Condenser - Ex Used
  • Uji Metalografi/Metallography
Pengujian struktur mikro material menggunakan pembesaran >100 x. Hasil yang didapatkan bisa untuk mendeteksi keparahan struktur material sehingga bisa digunakan untuk mendeteksi agent penyebab failure.
Gambar 13. Hasil Uji Metalografi Tube Condenser Pembesaran 100x - New
Gambar 14. Hasil Uji Metalografi Tube Condenser Pembesaran 100x - Ex Used
  • Uji Hardness
Pengujian untuk mengukur tingkat kekerasan material
Pengujian untuk mengukur komposisi unsur kimia material

Beberapa penyebab kerusakan material tube seperti yang sudah dibahas di artikel: Macam-Macam Korosi Material dan yang lebih parah namun tidak kelihatan adalah microbiologically attack yang lebih dikenal dengan bio-corrosion (Moura et al, 2013). Cara yang digunakan untuk mencegah bio-corrosion adalah : physical process, biocide, protective coating dan inhibitor corrosion. Sebagian besar mikroorganisme adalah penyumbang korosi yang disebut sulphur cycle yang terdiri dari 2 hal sebagai berikut :
1. Chemo-Autothropic ---> mikroorganisme menggunakan senyawa inorganik (H2S, S, Fe2+) sebagai sumber energi dan menggunakan CO2 sebagai sumber carbon
2. Chemo-Heterothropic ---> mikroorganisme menggunakan elektron khususnya atom hydogen dari senyawa organik sebagai sumber energi
Biota laut dalam aktifitas kehidupannya melakukan ekskresi normal dan menghasilkan salah satunya unsur sulphur (S) dan unsur ini jika terperangkap dalam crack tube (pitting, retak atau patahan) maka akan bereaksi dengan air pendingin membentuk senyawa sulphite yang kemudian lanjut menjadi senyawa sulphate

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2019). Macam-Macam Uji Untuk Analisa Kerusakan Material Tube Condenser dan Analisa Korosi, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2019). Kajian Enjiniring Pembangkitan RCFA Kebocoran Tube Condenser. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Macam-Macam Korosi Material

Diposting oleh On Tuesday, February 05, 2019

Korosi adalah kembalinya logam ke bentuk bijihnya (caesarvery, 2015). Material yang dipakai bisa dicegah proses korosi-nya dengan beberapa metode seperti yang tertulis di: Macam-Macam Cara Pencegahan Korosi. Berikut diulas detail tentang macam-macam korosi :
  • Stress Corrosion Cracking (SCC)
Korosi yang berada di area yang tertarik atau tertekan (stress) pada material logam. Pada area yang tertekan/tertarik tersebut umumnya terdapat retak rambut atau bintik-bintik lubang (pit) sehingga bisa menjadi tempat reaksi korosi antara fluida yang mengalir dengan material logam. Umumnya reaksi yang merugikan adalah oksidasi dan pengelupasan lapisan pasifasi permukaan logam yang menyebabkan sifat properties seperti strength dan hardness turun sehingga menyebabkan failure. Parrot et al (2011) melakukan percobaan pengaruh ion chloride (Cl) terhadap material austenitic dan penelitian oleh Jones et al (1992) didapatkan informasi bahwa hal-hal yang mempengaruhi SCC adalah :
  1. Temperature
  2. pH
  3. Oxygen level humidity
  4. Residual stress
  5. Alloying and impurities di material
  6. Tingkat sensitifitas material
  7. Cyclic condition
  8. Pressure
  9. Konsentrasi fluida
  10. Potensial elektrokimia
  11. Viskositas
  12. Mixing atau stirring
Berdasarkan Schweitzer (2010) berikut penyebab beberapa material mengalami SCC:
  • Galvanic Corrosion/Bimetalic Corrosion/Dissimilar Metal Corrosion
Korosi yang disebabkan karena perbedaan potesial elektrokimia antara 2 material yang berbeda yang disatukan. Korosi ini terjadi ketika material menyentuh lingkungan yang bisa menyebabkan korosi seperti kelembaban, larutan elektrolite dan ion fluida. Gejala awal korosi ini adalah salah satu metal mudah teroksidasi berdasarkan "DERET VOLTA" sehingga korosi diantara metal cepat terjadi.

Proses terjadinya sebagai berikut:
Misalnya besi (Fe) disambung dengan zinc (Zn) dimana Zn terletak disebelah kiri dari Fe berdasarkan deret volta dan Zn lebih mudah teroksidasi daripada Fe. Metal Fe akan selalu mencari kestabilan untuk kembali ke bentuk asal bijihnya (kodrat semua senyawa logam) sesuai reaksi : Fe2+ + 2e ---> Fe. Elektron akan mudah terikat oleh lingkungan yang banyak ion-nya seperti elektrolit dan akan terikat oleh ion positif. Namun karena didekat metal Fe terdapat Zn yang mudah sekali teroksidasi sesuai reaksi : Zn ---> Zn2+ + 2e dan mudah melepaskan elektron maka elektron Zn akan terus menggantikan elektron Fe yang hilang sehingga lama-kelamaan metal Zn terkikis habis. Proses korosi yang disebabkan karena perbedaan potensial kimia 2 metal inilah yang disebut galvanic corrosion.
  • Pitting Corrosion/Korosi Sumuran/Korosi Lokal/Korosi Lubang
Korosi yang paling berbahaya karena sulit dideteksi dan sistemnya yang menggerogoti dari material bagian dalam. Umumnya pitting akan menyebabkan material fracture secara total tanpa ada gejala terlebih dahulu.
Beberapa penyebab pitting corrosion adalah:
  1. Chemical terperangkap sampai jenuh dalam waktu yang lama di area terlokalisir terlebih ketika material sudah mengalami damage terlebih dahulu. Chemical paling bahaya adalah asam, kelebihan ion chloride dan minim dissolved oxygen (menyebabkan lapisan pasif material menjadi tidak stabil dan mudah terkelupas)
  2. Lapisan protektif coating yang kurang tepat
  3. Struktur penyusun material yang tidak uniform (masih belum homogen ketika proses casting)
Cara pencegahan pitting corrosion adalah:
  1. Memilih material yang tepat dengan menyesuaikan lingkungan tempat aplikasi
  2. Mengontrol pH, konsentrasi ion Cl dan temperatur
  3. Penerapan cathodic/anodic protection
  • Erosion Corrosion/Abrasion Corrosion/Flow-Accelerated Corrosion (FAC)
Korosi yang disebabkan oleh aliran fluida yang korosif atau material yang bergerak pada fluida korosif. Di kebanyakan literatur dan aplikasi di lapangan erosion corrosion hampir disamakan dengan flow-accelerated corrosion (FAC) dimana FAC menggerus lapisan pasifasi material yaitu magnetite (Fe3O4) sehingga material lebih mudah terserang korosi.
Cara pencegahan erosion corrosion adalah:
  1. Mengurangi belokan aliran fluida sehingga turbulensi bisa ditekan sekecil mungkin
  2. Mengontrol kecepatan fluida
  3. Menggunakan material yang lebih tahan erosi
  4. Menggunakan inhibitor untuk menghambat erosi seperti rubber, chemical, dan coating
  5. Menggunakan cathodic protection
  6. Mengontrol oksigen terlarut dan temperatur di fluida
  7. Memberi filter agar solid particle tidak terikut fluida
  • Fretting Corrosion/Korosi Gesekan
Korosi yang disebabkan karena 2 permukaan metal saling bersentuhan sehingga menimbulkan luka di kedua permukaan metal. Umumnya pengelupasan lapisan metal sangat kecil tidak terlihat karena skala mikron namun karena lingkungan yang korosif menyebabkan timbul korosi di permukaan yang luka tersebut.
Cara untuk mencegah freting corrosion adalah:
  1. Memberikan pelumas (oil, grease) untuk mengurangi gesekan yang terjadi
  2. Menambah hardness material kedua logam yang kontak
  3. Menggunakan seal untuk menyerap vibrasi yang terjadi dan juga bisa untuk mencegah kelembaban atau oksigen masuk diantara permukaan yang bergesekan
  • Fatigue Corrosion
Korosi yang disebabkan karena kerusakan logam akibat gerakan yang berulang (cyclic). Fatigue corrosion hampir mirip dengan SCC dimana SCC untuk material yang tidak berputar berulang atau non-statis misalnya dibengkokkan, ditekuk atau ditekan.
Cara pencegahan fatigue corrosion adalah:
  1. Mengurangi tensile strength material
  2. Memasang corrosion inhibitor
  3. Coating atau memberikan lapisan terhadap material
  • Crevice Corrosion/Korosi Celah
Korosi yang terjadi diantara celah-celah sambungan metal sehingga memberikan ruang/celah tempat berkumpulnya konsentrasi chemical. Chemical yang berkumpul dalam konsentrasi besar akan berekasi dengan logam sehingga menurunkan sifat properties dan menyebabkan failure.
Cara pencegahan crevice corrosion adalah:  (Schweitzer, 2010)
  1. Mendesain sambungan yang baik misalnya menutup rapat celah lasan dengan filler welding sesuai material yang dilas, menggunakan non-absorbent gasket pada flange joint
  2. Menjauhi penggunaan gasket yang berpori dan disarankan menggunakan gasket yang kedap air
  3. Menambah campuran unsur yang tahan korosi ketika proses casting material, misalnya SS tahan terhadap crevice dengan penambahan Cr, Ni, Mo dan N
  4. Mengendalikan operasi agar laju korosi material menurun dengan upaya menurunkan temperature, mengurangi Cl content dan mengurangi kontak asam
  5. Pada tepian/sambungan tangki sebaiknya ditambal menggunakan tar atau bitumen sehingga air hujan tidak terperangkap di celah-celah sambungan
  • Hydrogen Damage/Embrittlement
Korosi yang disebabkan oleh kehadiran H2 yang berasal dari H2S, NH3, H2O. Unsur ini menyebabkan metal menjadi kehilangan ketanggguhannya (toughness) dan menjadi rapuh sehingga mudah terserang korosi. Proses reaksinya adalah hydrogen bereaksi dengan carbon hasil disosiasi carbon steel membentuk metana yang bersifat brittle.
4 H2 + C + Fe3C ---> 2 CH4 + 3 Fe
Hydrogen attack terjadi pada carbon dan low alloy steel pada tekanan dan temperatur tinggi >200 oC dalam jangka panjang sehingga terjadi reaksi penyerapan hydrogen (H2) dan iron carbide (FeC) atau carbon (C) pada larutan hydrocarbon (CxHy). Berikut reaksinya:

2 H2 + Fe3C ---> CH4 + 3 Fe

CH4 yang merupakan hydrocarbon yang tidak larut di iron lattice mengalami proses decarburization (pelepasan unsur carbon) sehingga sifat strength menjadi menurun. Proses decarburization terjadi pada temperature >540 oC (pada surface metal) dan >200 oC (pada internal metal) (Schweitzer, 2010).

  • Uniform (General) Corrosion/Korosi Seragam/Korosi Merata
Salah satu bentuk korosi yang paling sederhana dan bisa dilihat secara visual karena merata pada permukaan terbuka. Penyebab umum uniform corrosion adalah chemical attack dan terlarut-nya senyawa metal ke bentuk ion-nya atau berikatan dengan oksigen membentuk iron oxide scale (kerak kemerah-merahan). Sebenarnya lapisan metal (iron) terbentuk lapisan film pasifasi berwarna kehitam-hitaman yaitu magnetite, namun karena sebab tertentu lapisan tersebut terlarut (Schweitzer, 2010).
  • Intergranular Corrosion
Salah satu tipe korosi yang diambil tempatnya pada grain boundaries sehingga hanya terbatas area korosinya bertindak seolah-olah anoda dan area disekitarnya yang lebih besar seolah-olah adalah katoda. Aliran energi/ion dari anoda ke katoda menyebabkan korosi yang menyebabkan kehilangan strength dan ductility. Contohnya pada austenitic stainless steel yang dipanaskan atau didinginkan pada temperatur 800-1650 oF atau 427-899 oC maka unsur chromium (Cr) cenderung berekasi dengan carbon membentuk chromium carbide yang dikenal dengan istilah "sensitization atau carbide precipitation" sehingga dengan adanya ini terlah terjadi korosi pada grain boundaries tersebut (Schweitzer, 2010).
  • Biological Corrosion/Microbiologically Influenced Corrosion (MIC)
Korosi ini disebabkan oleh aktifitas organisme/bakteri/biota laut seperti ekskresinya yang berbahaya karena mengandung sulfur atau dikenal juga dengan istilah sulphide attack. Berdasarkan Schweitzer (2010), ada 5 penyebab MIC yaitu: (i) sulphuric acid oleh genus Thiobacillus yang konsentrasinya bisa mencapai 10-12%; (ii) hydrogen sulphide oleh sulphate reducing bacteria; (iii) organic acid; (iv) nitric acid; dan (v) ammonia
  • Selective Leaching
Selective leaching adalah pengelupasan salah satu komponen alloy oleh korosi. Sebagai contoh dezincification (leaching zinc dari brass), graphitic corrosion (leaching iron dari gray cast iron), denickelification (leaching nickel dari copper nickel), decarburization (leaching carbon dari carbon steel). Berikut leaching pada beberapa material by Ahmad (2006):
  • Atmospheric Corrosion
Sebenarnya ini bukan salah satu jenis korosi, dimana kejadiannya mirip dengan proses elektrokimia yang berhubungan dengan atmosfer. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah relative humidity, temperatur udara, sulphur content, chlorine content, curah hujan, debu, lokasi geografis. Berikut reaksi terjadinya atmospheric corrosion:
Berdasarkan Revie & Uhlig (2008), atmospheric corrosion harus didukung adanya elektrolit seperti moisture content, particulate content, dan impurities gas. Sedangkan untuk es dan iklim dingin tidak mendukung korosi bahkan cenderung menghambat. Impurities gas yang dimaksud seperti H2S, SO2, NH3, HCl, NO2, O3, RCOOH (alkyl alkanoat).
Berikut reaksi ketika iron surface terkena acid rain (hujan asam) karena banyak impurities gas yang mengandung SO2


  • Exfoliation
  • Filiform Corrosion
Korosi yang terjadi  dibawah coating dalam bentuk distibusi random seperti benang/filamen

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2019). Macam-Macam Korosi Material, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2017). Analisa Kerak Tube Boiler & CondenserBest Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[2] Parrot, R., dan Pitt, H. (2011). Chloride Stress Corrosion Cracking in Austenitic Stainless Steel. Health and Safety Laboratory. United-Kingdom
[3] Jones, R.H., dan Ricker, R.E. (1992). Mechanisms of Stress Corrosion Cracking. SCC Materials Performance and Evaluation. ASM International
[4] Corrosion Institute. (2000). Bimetallic Corrosion. Teedington
[5] https://www.nace.org/
[6] http://www.cdcorrosion.com/
[7] Schweitzer, P.A. (2010). Handbook of Fundamentals of Corrosion Mechanisms, Causes, and Preventative Methods. CRC Press. London & New York
[8] Revie, R.W., and Uhlig, H.H. (2008). Corrosion and Corrosion Control, An Introduction to Corrosion Science and Engineering. Fourth Edition. John Willey & Sons
[9] Ahmad, Z. (2006). Handbook Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Elsevier

Teori dan Sistem Operasi Membrane Reverse-Osmosis (RO)

Diposting oleh On Monday, December 03, 2018

Reverse-Osmosis (RO) adalah kebalikan dari osmosis yang merupakan salah satu dari jenis-jenis desalination plant. RO menggunakan tekanan mekanik (PLTU umumnya disebut HP Pump) yang melawan tekanan osmotik larutan yang seharusnya terjadi dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi dibalik menjadi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Sebagai contoh air tawar dengan air laut, osmosis yang dilengkapi membrane semipermeabel akan terjadi aliran dari air tawar (konsentrasi rendah) ke air laut (konsentrasi tinggi) karena pengaruh tekanan osmotik larutan. Namun dengan penambahan tekanan mekanik diatas tekanan osmotik maka akan terjadi aliran kebalikan yaitu dari air tawar yang terkandung dalam air laut (konsentrasi tinggi) mengalir menembus membrane menuju ke air tawar (konsentrasi rendah) dan proses inilah yang disebut reverses osmosis. (www.caesarvery.com)
Gambar 1. Sistem Reverse-Osmosis
RO di PLTU terbagi menjadi 2 yaitu sea water (SWRO) dan brackish water (BWRO) dimana SWRO adalah RO yang bekerja paling berat karena harus  mem-filter air laut dengan conductivity sekitar 35.000-53.000 us/cm menjadi <100 us/cm. Sistem cleaning yang wajib dilakukan adalah backwash yaitu melakukan flow terbalik menggunakan air demin yang dimaksudkan agar padatan/concentrate yang menempel di membrane bisa terlepas. Seringkali, membrane berumur pendek karena terdapat pantangan yang harus dihindari saat pengoperasian seperti menjauhi kontaminan chlorine, pH yang terlalu basa dan turbidity terlalu tinggi (keruh). Berikut kajian teori yang mendukung sistem operasi membrane RO tersebut.
Gambar 2. RO Plant
Gambar 3. RO Plant (2)
Gambar 4. RO Plant (3)
Gambar 3. Skematik RO Plant
  • Proses Aliran Umpan ke RO
Air laut dari sea water intake dipompa menggunakan sea water pump (SWP) menuju ke clarifier/bak sedimentasi. Air tersebut dilakukan treatment kimiawi yaitu injeksi chlorine tepat di sea water intake. Sebelum masuk clarifier diinjeksikan acid, anti-scalant dan sodium bisulphite (SBS). Di clarifier diinjeksikan koagulan-flokulan untuk membantu pengendapan dan produk air disyaratkan turbidity rendah yaitu <5 NTU dan siap dipompakan menuju ke multimedia filter (MMF) atau roughing-polishing. MMF ini terdiri dari bejana seri atau paralel, jika seri umumnya terdapat 3 rangkaian isi yang berbeda yaitu sand filter, mangenese filter dan activated carbon filter sedangkan jika paralel umumnya mixing dalam satu bejana.


Gambar 4. Clarifier Tipe Pond Segiempat
Gambar 5. Clarifier Tipe Pond Bundar
Gambar 4. MMF
Gambar 5. MMF (2)
  • Analisa Sistem Injeksi Air Umpan RO
1. Chlorine (NaOCl) Injection
Chlorine pada umumnya di PLTU dihasilkan sendiri dari proses elektrolisis air laut di electrochlorination plant. Sistem injeksi yang digunakan adalah kontinyu. Injeksi sebesar 1-2 ppm dan dijaga di outfall untuk total chlorine pada rentang 0.1-0.5 ppm.
Berdasarkan paper tersebut dididapatkan informasi yaitu :
  • Keefektifan injeksi chlorine dipengaruhi oleh 3 hal yaitu konsentrasi chlorine, waktu kontak dan pH air
  • Untuk mengendalikan injeksi chlorine dijaga free residual chlorine pada konsentrasi 0.5-1 mg/L di outfall

Berdasarkan paper tersebut dididapatkan informasi yaitu :
  • Dechlorination diperlukan untuk menjaga membrane dari oksidasi karena zat kimia chlorine
  • Rata-rata membrane akan ter-degradasi oleh chlorine sebesar 1 ppm hanya bertahan sekitar 200-1000 jam
  • Serangan chlorine lebih cepat pada 2 kondisi yaitu pH basa dan air umpan terkontaminasi iron atau logam transisi (karena metal akan meng-katalis membrane untuk degradasi)
  • Monitoring keberadaan chlorine dilakukan dengan oxidation-redox potential (ORP) dengan rentang yang umum digunakan adalah 175-200 mV namun paper lain menyebutkan jika pembacaan ORP 300 mV action-nya adalah mengurangi injeksi chlorine dan jika >350 mV maka pompa ke SWRO otomatis mati dan air umpan dibuang tidak dimasukkan ke membrane SWRO
2. Acid Injection
Berfungsi sebagai pengontrol pH dan sistem dan umumnya sistem injeksi di PLTU adalah tidak kontinyu dengan konsentrasi injeksi 50 ppm. Alasan penggunaan injeksi acid adalah karena chlorine attack bereaksi lebih cepat dalam men-degradasi membrane pada pH tinggi (The Dow Chemical Company, 2018) sehingga dengan injeksi acid diharapkan pH dijaga pada range standar jika sewaktu-waktu terdapat kenaikan pH yang drastis.
Berdasarkan spesifikasi teknis membrane RO yang umum dipakai di PLTU didapatkan pH operasi pada rentang 2-11 yang menunjukkan bahwa pH basa dihindari sehingga injeksi acid dimungkinkan digunakan untuk kebutuhan antisipasi ini.

3. Anti-Scalant Injection
Digunakan untuk mencegah pengerakan karena garam atau ion mineral yang terikut sampai ke membrane SWRO dan BWRO sehingga tingkat kejenuhan membrane menjadi berumur lebih panjang. Analisis parameter yang digunakan adalah silt density index (SDI) yang mengindikasikan tingkat/derajat fouling di sistem membrane.

4. SMBS/SBS Injection
Sodium Metabisulphite (SMBS) atau Sodium bisulphite (SBS) digunakan sebagai penetralisir kandungan chlorine di air umpan RO dan  standar diijeksikan sebesar 5 ppm. Berikut reaksi proses pembuatan SMBS/SBS.

Berdasarkan paper tersebut dididapatkan informasi yaitu:
  • Penggunaan SMBS dan SBS adalah sama saja karena zat aktif yang digunakan adalah gas SO2 namun dua zat tersebut berbeda fase dimana SMBS adalah padat sedangkan SBS adalah cair
  • Penggunaan SBS untuk menetralisir 1 ppm dibutuhkan dosis sebesar 1.61 ppm
  • Penggunaan SMBS untuk menetralisir 1 ppm dibutuhkan dosis sebesar 1.47 ppm
Analisa Sistem Dechlorination
Dechlorination adalah pengurangan konsentrasi chlorine dan menurut beberapa teori bisa menggunakan beberapa sistem sebagai berikut:
  • Activated Carbon/Karbon Aktif
Activated carbon pada umumnya digunakan di PLTU dalam peralatan multimedia filter (MMF) yang terdiri dari manganese filter, sand filter dan activated carbon filter.
Berdasarkan paper tersebut dididapatkan informasi yaitu:
  • Activated carbon atau multimedia filter (MMF) terbukti efektif dalam mengikat residual chlorine dengan reaksi :
C + 2 Cl2 + 2 H2O ---> 4 HCl +CO2
Penggunaan activated carbon lebih mahal jika dibandingkan dengan metode lain
  • SMBS atau SBS (Sulphite Agent)
SMBS atau SBS adalah produk dengan zat aktif gas SO2 dan berikut reaksi kimia dechlorination :
Na2S2O5 (SMBS) + 2 HOCl + H2O ---> 2 NaHSO4 + 2 HCl
NaHSO3 (SBS) + HOCl ---> NaHSO4 + HCl
Beberapa istilah di RO system adalah:
  • Recovery : % produk yang diharapkan/air murni bebas garam (permeate), RO PLTU Bolok % recovery 35-45% (manual book PLTU Bolok)
  • Rejection : %produk yang tidak diharapkan/banyak mengandung garam (concentrate)
  • Passage : %konstituen/TDS air umpan yang lolos melewati membrane sehingga passage nanti menjadi produk yang dinamakan permeate
  • Flux : laju permeate yang dihasilkan per unit membrane area
Faktor yang mempengaruhi RO system adalah:
  • Pressure
  • Temperature
  • Recovery
  • Salt concentration (salinitas) air umpan
  • Membrane Reverse-Osmosis (RO)
Membrane RO adalah sistem filter di RO sebagai penyaring garam atau ion mineral air umpan dalam proses desalination system.  Berbagai tipe membrane sebagai berikut :
  • Spiral Wound Membrane
Bentuk lapisan film tipis dari polimer yang tergulung berlapis-lapis dalam pipa/tube dengan bahan dasar polimer yang terdiri dari mulai dari dasar sampai atas berurutan adalah polyester, polysulfone dan polyamide.
  • Tubular Membrane
Bentuk seperti tube kecil-kecil dengan gulungan membrane tipis berlapis-lapis dan sistem pemasangan di frame RO/vessel adalah tube diisikan banyak untuk mengelilingi full vessel.
  • Plate and Frame Membrane
Bentuk lembaran berselang-seling antara membrane dan pemisah yang dimaksudkan untuk filterisasi. Pemisah mulai dari feed spacer mesh, permeate spacer dan lain-lain menyesuaikan kebutuhan.
  • Hollow Fiber Membrane
Bentuk seperti serat-serat membrane berjumlah banyak yang dipadatkan dalam suatu frame.
Bahan material membrane terdiri dari: (Sagle dan Freeman)
  • Poly-vinylidene fluoride
  • Poly-sulfone
  • Poly-acrylonitrile
  • Poly-vinyl chloride
  • Poly-ether sulfone
  • Cellulose acetate
  • Cellulose nitrate
  • Nylon
  • Poly-tetrafluoroethylene
  • Poly-amide
  • Ceramic
  • Metal seperti stainless steel
Silakan Downloading International Proceeding Journal Open Acces di https://doi.org/10.1088/1757-899X/1096/1/012102

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Teori dan Sistem Operasi Membrane Reverse-Osmosis (RO)Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Aplikasi Multi-Criteria Decision Analysis untuk Pemilihan Proses dan Operasi Koagulasi-Flokulasi Terbaik pada Pre-Treatment Water System di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Laporan Thesis Manajemen Teknologi Industri. ITS-Surabaya
[2] Feriyanto, Y.E. (2018). Teori dan Sistem Operasi membrane Reverse Osmosis, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[4] Advance Separation Technologies, 2017
[7] Office of Water Washington. Wastewater Technology Fact Sheet Dechlorination. (2000). United States Environmental Protection Agency
[8] Pengalaman bekerja di industri metabisulphite
[9] Sagle, A., dan Freeman, B. Fundamentals of Membranes for Water Treatment. University of Texas at Austin
[10] The Dow Chemical Company, 2018
[11] Tikkanen, M.W., Schroeter, J.H., Leong, L.Y., dan Ganesh R. Guidance Manual for the Disposal of Chlorinated Water. 1216, 6th. Integra Chemical Company
[12] www.myframe.com
[13] www.synderfiltration.com

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK