Trending Topik

Risk Based Inspection (RBI) Sertifikasi by LSP Migas

Diposting oleh On Monday, November 26, 2018

Risk Based Inspection (RBI) adalah inspeksi yang didasarkan pada kemungkinan resiko yang akan terjadi berdasarkan tingkat keparahan dan frekuensi kemungkinan terjadi. RBI berfokus pada proses  di pressure vessel and piping sehingga dasar-dasar ilmu material, teknik kimia, mesin dan proses operasi harus cukup mendalam dipelajari. Berdasarkan catatan Feriyanto, RBI Engineer (2018) berikut poin-poin pentingnya:
  • Stress (tegangan) dengan satuan (N/mm2)
  • Strain (regangan) dengan satuan (%)
  • Strength (kekuatan)
  • Ductility (keuletan), berhubungan dengan sifat plastis
  • Stiffness (kekakuan)
  • Elasticity (kekenyalan)
  • Toughness (ketangguhan), kemampuan menyerap energi
  • Hardness (kekerasan), tahan terhadap penggoresan
  • Fatigue (kelelahan)
Beberapa cara penamaan material seperti:
  • Commitee Europe Normalization (CEN), misalnya kode 15Cr3 artinya baja 0.15% C & 0.75% Cr
  • AISI-SAE, misalnya kode 10xx (jenis carbon steel), digit pertama jenis baja dan digit kedua %C
Urutan ketahanan korosi adalah austenitic, ferritic, martensitic




Karaketeristik dari beberapa unsur di dalam paduan (alloy):
Alumunium (Al)
  1. Tahan terhadap oksidasi, nitrida (N2dan korosi
  2. Mudah dilas (weldability), dibentuk dan konduktifitas bagus
Chromium (Cr)
  1. Tahan korosi dan oksidasi
  2. Menambah ketangguhan (toughness)
  3. Menambah kekuatan (strength) pada temperatur tinggi (800-1150 oC)
  4. Tahan abrasi dan aus (wear) jika pada high carbon
Manganese (Mn)
  1. Tahan kegetasan karena sulphur (S)
  2. Menambah kekerasan dengan harga murah
  3. Tahan oksidasi
Molibdenum (Mo)
  1. Menambah kekuatan & ketangguhan logam pada temperatur tinggi
  2. Mencegah kegetasan
  3. Tahan korosi di pH rendah dan air laut
  4. Tahan abrasi
Nickel (Ni)
  1. Ketangguhan (toughness) pada temperatur rendah dan tinggi
  2. Tidak mudah dilas
  3. Tahan korosi pada pH tinggi dan temperatur tinggi
Phosporus (P)
  1. Kekuatan pada low carbon steel
  2. Tahan korosi
  3. Meningkatkan machineability
Silicone/Silica (Si)
  1. Tahan terhadap oksidasi
  2. Elemen campuran pada elektrik dan magnetik
  3. Menambah kekerasan
  4. Melawan kegetasan karena sulphur (S)
Titanium (Ti)
  1. Mengurangi kekerasan martensite
  2. Mencegah pembentukan austenite pada high Cr steel
  3. Mencegah hilangnya Cr di stainless steel selama pemanasan dalam waktu yang lama
  4. Mudah di las
Wolfram (W)
  1. Tahan abrasi
  2. Meningkatkan kekerasan dan kekuatan seiring kenaikan temperatur
Vanadium (V)
  1. Meningkatkan kekerasan pada austenitic
Quenching adalah pemanasan logam diikuti pendinginan MENDADAK (air, oli dan udara)
Annealing adalah pemanasan logam diikuti pendinginan PERLAHAN
Macam-Macam Stainless Steel (SS):
  • Austenitic SS
  • Ferritic SS
  • Martensite SS
  • Precipitation Hardening SS
  • Duplex SS
  • Super Austenitic SS
Beton (concrete) terdiri dari:
  • Semen
  • Aggregate
  • Air
  • Field Practice


Berikut urutan didalam analisa umur perpipaan dengan prinsip risk based inspection (RBI):
  • Corrosion Rate (CR)
Perhitungan laju korosi bisa menggunakan jangka pendek misalnya <1 tahun dan jangka panjang >1 tahun dengan rumus thickness (t) awal-akhir kemudian dibagi tahun operasi. Rumus seperti di catatan dibawah
  • Remaining Life (RL)
Perhitungan umur sisa peralatan yaitu thickness (t) aktual/terukur dikurangi thickness required/standard kemudian dibagi dengan laju korosi (CR)
  • Thickness Requirement (Tr)
Ketebalan yang dipersyaratkan/standar dan dibagi menjadi 2 yaitu untuk bejana tekan (reactor, vessel, silo) dan piping (water wall). Rumus seperti di catatan dibawah
  • Probability of Failure (PoF)
Kemungkinan kegagalan peralatan yang bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti internal/eksternal corrosion, fatigue, SCC, crack, fouling, erosion, embritlement. Dari semua penyebab tersebut diambil kemungkinan terburuknya dan penilaian skor seperti catatan dibawah
  • Consequence of Failure (CoF)
Akibat kegagalan yang merupakan hasil rata-rata perkalian 3 bidang yaitu Standby availability (S), Finansial (F) dan Location (L)
  • Maximum Allowable Work Pressure (MAWP)
Tekanan kerja maksimum yang diijinkan juga terbagi menjadi 2 yaitu untuk bejana tekan dan piping
  • Confidence Index (CI)
Tingkat keyakinan kerusakan karena terdapat riwayat atau tidaknya
  • Inspection Frequency
Frekuensi inspeksi peralatan yang disarankan dengan inputan berbagai parameter diatas yang dimaksudkan untuk me-mitgasi resiko yang ada kemudian metode inspeksi sudah terpetakan berdasarkan resiko.
Pemetaan tidak kami share disini karena bersifat rahasia dan menjadi kelebihan seorang RBI engineer untuk hal tersebut.
Training RBI cukup mahal bila dibandingkan sertifikasi lainnya seperti NDT UT, ASNT EC dan catatan tersebut menjadi pembukan wawasan di bidang  remaining life peralalatan sehingga sebagai sebagai seorang engineer tentunya bidang kompetensi ini bermanfaat untuk menunjang profesi. Training umumnya dilaksanakan selama 5 hari aktif dengan awal training pengenalan tentang material, macam potensi gangguan di operasi peralatan, macam metode inspeksi dan proses operasi. Diakhir training terdapat tugas besar dengan menganalisa sebuah sistem proses plant berdasarkan P&ID dan mencoba menggambarkan pemetaan resiko yang mungkin terjadi beserta action yang harus direncanakan dan penyelesaiannya. Materi diatas kami sampaikan terbatas hanya sebagian kecil saja untuk melindungi dokumen bersifat rahasia dan menjaga kompetensi seorang RBI Engineer. Info lebih lanjut bisa diskusi dengan kami.

Kutip Artikel ini Sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Risk Based Inspection (RBI) Sertifikasi by LSP Migas, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Sertifikasi RBI Engineer by LSP Migas. Teknik Material ITS-Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Jar Test Proses dan Operasi Koagulasi-Flokulasi

Diposting oleh On Wednesday, October 24, 2018

Penelitian skala laboratorium diperlukan untuk analisa empiris permasalahan yang ada di lapangan yang menggunakan proses dan operasi yang berubah-ubah sehingga membutuhkan beberapa percobaan untuk mengetahui pilihan kombinasi dari beberapa proses dan operasi yang menjadi variabel dari kondisi di lapangan. Teknik yang sudah umum digunakan adalah jar test yaitu teknik percobaan skala laboratorium menggunakan sampel air umumnya 1 liter atau 2 liter menggunakan automatic paddle motor yang dilakukan secara bersamaan
Gambar 1. Set Jar Test Kit

Pada umumnya terdapat dua tipe jar test berdasarkan volume sampel yang diuji yaitu 1 liter dan 2 liter. Kedua tipe memiliki karakteristik berbeda dan menurut Grevile (1997) keterbatasan tipe jar test volume beaker glass 1 liter adalah:
  • Volume sampel yang kecil akan menambah jarak error yang lebih besar ketika dilakukan pada uji nyata di lapangan
  • Air akan berputar secepat putaran pengaduk sehingga mengurangi keefektifan laju pengadukan
  • Sulit dalam pengamatan waktu pengendapan (settling time)
  • Sangat sedikit endapan yang dihasilkan
Karakteristik tipe jar test volume beaker glass 2 liter adalah :
  • Volume yang besar mengurangi jarak error ketika dilakukan uji nyata di lapangan
  • Kecepatan pengendapan mudah diamati
  • Banyak dihasilkan endapan sehingga mempermudah pengamatan
Rumus perhitungan dosis dan waktu tinggal yang dipakai di jar test adalah: (Grevile, 1997)
  • Larutan (solution) 1% didefinisikan sebagai 1% berat (1% w/w) yang artinya terdapat 1 gram atau 1000 miligram zat terlarut (solute/chemical) di dalam 99 gram zat pelarut (solvent/water) untuk total larutan 100 gram. Jadi jika terdapat pengambilan sampel 1 mL di 1% larutan tersebut maka kandunganmya sebagai berikut :
(1   mL/100 mL) x 1000 mg = 10 mg
  • Jika 10 mg dilarutkan dalam air 1 liter maka didapatkan 10 mg/L setara dengan 10 ppm
  • Menentukan waktu tinggal (residence time) dengan rumusnya :
Td = V/Q
keterangan :  
Td  : detention time (menit)
V    : volume bejana (m3)
Q    : laju alir (m3/menit)
Variabel parameter ini sesuai standar umum manual book PLTU dan studi literatur jurnal penelitian terdahulu seperti Beltran et al. (2009) menggunakan parameter COD, turbidity, pH, conductivity, warna, TSS dan biaya untuk mengukur kualitas air limbah sesudah dilakukan pambubuhan beberapa jenis koagulan.
Boughou et al. (2016) menggunakan parameter TSS, temperatur, pH, turbidity, conductivity, BOD dan COD untuk mengukur keefektifan penggunaan koagulan FeCl3 yang digunakan pada sampel air limbah pemukiman.
Greville (1997) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kualitas air umpan dipengaruhi oleh alkalinity, pH, turbidity, warna, temperatur, hardness, rasa dan bau. Daud et al. (2015) menggunakan parameter COD, TSS, warna, minyak dan pH untuk mengukur keefektifan koagulasi-flokulasi pada limbah biodiesel.
Berdasarkan beberapa data yang telah dipaparkan diatas, percobaan jar test untuk koagulasi-flokulasi mengacu ke 2 variabel utama yaitu variabel kriteria (parameter kualitas air) serta variabel proses dan operasi. Berikut penjelasan lebih detailnya.
Variabel kriteria adalah parameter terukur hasil jar test yang menunjukkan kualitas air yang dihasilkan sedangkan variabel proses dan operasi adalah variabel yang mempengaruhi kinerja koagulan-koagulan aid.
Proses dan operasi adalah  2 hal yang berbeda, dimana proses adalah terdapat reaksi kimia pengikatan seperti variabel dosis sedangkan operasi adalah lingkungan tempat reaksi bisa lebih efektif seperti waktu tinggal dan putaran pengaduk.

Silakan Downloading International Proceeding Journal Open Acces di https://doi.org/10.1088/1757-899X/1096/1/012102

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Jar Test Proses dan Operasi Koagulasi-Flokulasi, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi :
[2] Feriyanto, Y.E. (2018). Jar Test Proses dam Operasi Koagulasi-Flokulasi, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[5] Greville, A. (1997). How to Select a Chemical Coagulant and Flocculant. 22th Annual Seminar, Alberta Water & Wastewater Operators Association. 11-14 March
[6] Beltran, P., Roca, J., Pia, A. Melon, M., dan Ruiz, E. (2009). Application of Multicriteria Decision Analysis to Jar Test Result for Chemicals Selection in the Physical-Chemical Treatment of Textile Wastewater. Hazardous Materials, Vol. 164, pp. 288-295
[7] Boughou, N., Majdy, I., Cherkaoul, E., Khamar, M., dan Nounah, A. (2016). The Physico-Chemical Treatment by Coagulation-Flocculation Releases of Slaughterhouse Wastewater in the City of Rabat (Morocco). Journal of CODEN (USA) : PCHHAX, Vol. 8(19), pp. 93-99
[8] Daud, Z., Awang, H., Latif, A., Nasir, N., Ridzuan dan M., dan Ahmad, Z. (2015). Suspended Solid, Color, COD and Oil and Grease Removal from Biodiesel Wastewater by Coagulation and Flocculation Processes. Proceeding of The World Conference on Technology, Innovation and Entrepreneurship, Procedia Social and Behavioral Sciences, Vol. 195, pp. 2407-2411

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Proses Chemical Cleaning di Tube Boiler

Diposting oleh On Wednesday, October 10, 2018

I. PENDAHULUAN
Chemical cleaning dilakukan untuk membersihkan permukaan tube umumnya sisi dalam (inner) dari oli/grease (new tube) dan kerak (existing tube). Selain itu, chemical cleaning juga memberikan lapisan pasif di sepanjang permukaan tube agar tidak terjadi reaksi kimia yang tidak diinginkan. Dalam prosesnya terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan dengan sistem terus-menerus tanpa putus dengan pengendalian berupa pengukuran parameter kualitas air.
Poin-poin khusus dalam proses chemical cleaning ini adalah:
  • Proses dilakukan 24 jam non-stop dari tahap satu ke tahap berikutnya
  • Terdapat pembagian 6 tahap sebagai berikut: (i) filling/flushing awal, (ii) alkali/anti degreaser cleaning & rinsing, (iii) acid inhibitor & acid cleaning, (iv) netralisasi, (v) rinsing after netralisasi, (vi) pasivasi
  • Dilakukan sampling untuk diuji parameter kualitas airnya
II. PROSEDUR PELAKSANAAN
Tahapan-tahapan yang dilakukan selama proses chemical cleaning adalah:
2.1 Tahap 1 - Filling/Flushing Awal
Dilakukan dengan menggunakan raw water produk dari proses SWRO. Tujuan filling/flushing awal adalah sebagai pembasahan tube boiler sebelum dilakukan tahap chemical treatment dan juga untuk membersihkan deposit yang masih menempel di permukaan tube. Telah dilakukan pengukuran parameter kualitas air dan berikut data hasil pengukurannya:
Gambar1. Tahapan Filling/Flushing Awal
BACA JUGA: Macam - Macam Boiler
 
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut :
  • Telah dilakukan filling/flushing awal dengan raw water dan pengukuran kualitas air setiap 15 menit untuk parameter turbidity
  • Keberhasilan proses tahap-1 tersebut yaitu jika turbidity di semua titik sampling adalah mendekati sama yang menunjukkan bahwa proses sirkulasi sudah merata di semua bagian wall tube
  • Jika sudah didapatkan nilai turbidity <20 NTU maka bisa lanjut ke tahap 2 yaitu alkali/anti degreaser cleaning
2.2 Tahap 2 - Anti Degreaser/Alkali Cleaning & Rinsing
Dilakukan dengan tujuan membersihkan permukaan wall tube dari oli, gemuk/grease atau pelumasan di tube boiler baru. Setelah tahap alkali cleaning tercapai maka selanjutnya dilakukan rinsing untuk membersihkan tube dari sisa alkali. Parameter yang digunakan untuk menilai adalah pH <7.5 dan conductivity stabil disemua titik sampling.
Gambar 2. Tahapan 2 Anti Degreaser/Alkali Cleaning
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • Tahap anti-degreaser/alkali cleaning dilakukan dengan syarat parameter kualitas air pH <7.5 dan conductivity stabil di semua titik sampling
  • Tahap ini dilakukan 2x untuk memastikan permukaan tube baru terbebas dari grease
  • Setelah dilakukan pemberian chemical anti-degreaser dan hasil kualitas air sesuai persyaratan yang telah disetujui maka selanjutnya adalah melakukan pembersihan line tube dengan raw water (rinsing).
  • Tahap rinsing dilakukan pengukuran kualitas air di semua titik sampling dan dari pengamatan tiap 15 menit diidapatkan data pH <7.5
2.3 Tahap 3 - Acid Inhibitor & Acid Cleaning
Acid inhibitor ditujukan untuk melindungi permukaan tube dari reaksi kimia acid chemical. Proses ini dilakukan dengan menambahkan chemical acid inhibitor dengan konsentrasi 0.7% dan disirkulasikan agar chemical merata diseluruh area wall tube. Parameter terukurnya adalah pH yang diukur setiap 30 menit sekali di setiap titik sampling dan jika nilai pH stabil maka proses dianggap sudah merata di semua titik sampling. Tahap selanjutnya adalah acid cleaning yang ditujukan untuk membersihkan permukaan tube dari gram atau sisa las-lasan yang masih menempel di tube. Acid ditambahkan sebesar 5% dalam bentuk HCl.
Gambar 3. Tahapan 3 - Acid Inhibitor & Acid Cleaning
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • Telah dilakukan pemberian acid inhibitor dan sirkulasi selama 1 jam dan dikontrol nilai pH stabil di seluruh titik sampling dan hasil pH stabil terpenuhi
  • Acid strength dalam bentuk Fe2+ dilakukan pengamatan setiap 30 menit sekali dan dinyatakan telah stabil begitu juga untuk Fe3+
Penampakan visual dari sampel air di tangki sirkulasi didapatkan air keruh dan terdapat endapan dari kelupasan material tube
Gambar 4. Penampakan Visual Sampel Air Sesudah Acid Cleaning
Berdaarkan handbook chemical analysis of industrial water by McCoy (1969) berikut:
Penggunaan acid cleaning yang umu adalah 5-10% HCl, 1% Inhibitor dan 0.1% wetting agent. Kombinasi senyawa ini disirkulasikan selama 10-15 jam dan parameter diukur setiap waktu (15-30 menit sekali) dan ketika konsentrasi acid <2% maka harus di-drain dan diganti. Senyawa acid tidak boleh tinggal >20 jam pada boiler dan harus dilakukan penetralan dan pencucian segera.

Tahap 4 - Netralisasi
Ditujukan untuk menetralkan sisa acid cleaning di permukaan tube boiler sehingga mencegah terjadi reaksi kimia yang tidak diinginkan. Dilakukan dengan menambahkan NaOH dengan konsentrasi 2-4%.
Gambar 5. Tahapan 4-Netralisasi

BACA JUGA: Klasifikasi Nama Tube Boiler PLTU

Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • Telah dilakukan netralisasi dan pengukuran di semua titik sampling sampai didapatkan pH stabil >6.5 
Penetralan yang umum digunakan selain NaOH adalah 5% Na2CO3 yang disirkulasikan selama 2 jam [McCoy, 1969].
Tahap 5 - Rinsing After Netralisasi
Dilakukan dengan tujuan membilas permukaan tube agar bebas dari chemical acid dan base. Pembilasan menggunakan demin water dari polisher tank dan parameter kualitas air yang dipersyaratkan adalah pH >6.5 dan conductivity <50 µS/cm (EPRI).
Gambar 6. Tahapan 5-Rinsing After Netralisasi
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • pH dilakukan pengamatan selama 20 menit dan dinyatakan >6.5 (nilai mendekati 6.5) sedangkan conductivity sesuai EPRI <50 µs/cm 
Tahap 6 – Pasivasi
Dilakukan dengan tujuan membentuk lapisan pasif yang artinya tidak memberikan reaksi apapun ketika terlewati fluida, sehingga permukaan tube diharapkan terhindarkan dari reaksi korosi. Proses pasivasi dengan menggunakan 500 ppm hydrazine dan standar kualitas air dijaga pada pH 8.5-9.5.
Gambar 7. Tahapan 6-Pasivasi
Berdasarkan data tersebut bisa diketahui hal-hal sebagai berikut:
  • Berat coupon test sebelum dan sesudah treatment dijaga tidak berkurang besar massa-nya karena acid dimungkinkan menggerus permukaan tube.
  • Penampakan visual coupon test adalah mulus dan terjadi lapisan warna hitam (relative magnetite)


Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Proses Chemical Cleaning di Tube Boiler, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya
Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Proses Chemical Cleaning di Tube Boiler, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[2] McCoy, J.W. (1969). Chemical Analysis of Indusrial Water. California-US
Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Anti Biofouling Agent Oxidizing dan Non-Oxidizing

Diposting oleh On Sunday, September 23, 2018

Dikutip dari handbook US Army Corp of Engineer dengan judul “zebra mussel chemical control guide” hal 2 sebagai berikut:
Berdasarkan literatur diatas bisa diketahu bahwa kerang (mussel) adalah biota laut yang umum hidup di perairan. Kerang masuk dalam kelas Mollusca (hewan lunak) ordo bivalvia dan tidak bisa tumbuh dengan baik di lingkungan kadar garam (saline) tinggi tetapi mampu beradaptasi dengan baik pada temperatur air 12 to 32 oC, pH 6,5 to 8 dan kekeruhan yang cukup tinggi.
Anti biofouling agent adalah agent/substansi yang bisa mencegah kegagalan/kerusakan yang disebabkan oleh biota hidup. Secara umum kasus PLTU dihubungkan dengan adanya pertumbuhan biota air disepanjang perpipaan sehingga membutuhkan special treatment untuk menghambat pertumbuhan bahkan mematikan biota tersebut. Sistem yang digunakan bisa berupa mechanical,chemical atau biological namun fokus pembahasan ini terbatas pada chemical system yang sudah diterapkan PLTU.
Antibiofouling agent dibedakan menjadi 2 berdasarkan cara kerjanya sebagai berikut:
1.1 OXIDIZING AGENT
Oxidizing agent adalah substansi yang digunakan untuk anti biofouling yang memanfaatkan proses oksidasi  dalam proses kimianya. Dikutip dari handbook US Army Corp of Engineer dengan judul “zebra mussel chemical control guide” hal 4 sebagai berikut:
Dikutip dari handbook US Army Corp of Engineer dengan judul “zebra mussel chemical control guide” hal 17-26 sebagai berikut:
Berdasarkan hal tersebut bisa diketahui bahwa chemical yang bisa mengalami proses oksidasi dan umum digunakan untuk anti biofouling adalah:
  • Chlorine (dalam bentuk gas dengan tabung khusus, dalam bentuk cair adalah NaOCl dan bentuk padat adalah Ca(OCl)
  • Chlor dioxide (ClO2)

Berdasarkan literatur handbook of water treatment Kurita (1999) disebutkan bahwa senyawa chlorine ketika diinjeksikan dan bersentuhan dengan air maka akan membentuk HClO dan ClO- yang bersifat melemahkan perkembangbiakan biota air.

  • Chloramine (NH2Cl)
  • Ozon (O3)
  • Hydrogen piroxide (H2O2)
  • Bromine (Br2)
Berdasarkan literatur handbook of water treatment Kurita (1999) disebutkan bahwa NaBr akan membebaskan HBrO ketika bereaksi dengan chlorine cair dan bersifat sangat efektif dalam melemahkan perkembangbiakan biota air.
  • Potassium hypochlorite (KOCl)
Mengacu terhadap hal tersebut dan banyak unit menggunakan injeksi chlorine dan memang menurut jurnal tersebut chlorine bisa mematikan dan menghambat penempelan kerang di perpipaan dan kerang dewasa akan mati pada dosis 1 to 2 ppm selama 2 minggu. Chlorine yang digunakan untuk injeksi di PLTU pada umumnya yang berfungsi sebagai anti biofouling adalah oksidasi Cl. Fase senyawa Cl adalah gas namun karena handling sulit karena harus ditempatkan dalam tabung maka dicarikan alternatif yaitu bentuk cair (NaOCl) dan padatan Ca(OCl)2.
PLTU umumnya menggunakan fase cair untuk mendapatkan Cl karena handling yang mudah dan tidak mudah menguap sehingga aman untuk operator dan lingkungan secara langsung. NaOCl didapatkan dari proses elektrolisis dengan reaksi sebagai berikut :
Umpan adalah air laut yaitu NaCl + H2O
Disosiasi reaksi : 2 NaCl ----> 2 Na+ + 2 Cl-
Reaksi di chlropack (electrochlorination plant):
  • Katoda (-) : 2 H2O + 2e ---> H2 + 2 OH- (karena Na dalam fase liquid tidak tereduksi dan airnya saja yang mengalami reaksi)
  • Anoda (+) : 2 Cl- ---> Cl2 + 2e
Sehingga reaksi akhir : 2 NaCl + 2 H2O ---> 2 NaOCl + 2 H2
Produk NaOCl inilah yang digunakan sebagai istilah yang dinamakan injeksi chlorin dan saat diinjeksikan NaOCl maka terjadi disosiasi sesuai reaksi: [Sprecher and Getsinger, 2000]
NaOCl (injeksi) + H2O (air pendingin) ---> HOCl + NaOH
HOCl ---> OCl- + H+
OCl- + H2O + 2e ---> Cl- + 2 OH-
Senyawa Cl- tersebut yang bersifat oksidatif sehingga bisa menghambat pertumbuhan biota laut
Berdasarkan jurnal tersebut, injeksi chlorin yang mempengaruhi kerang karena efek produk chlorine dan free chlorine sehingga untuk mengetahui keefektifan antibiofouling yang berbasis chlorination maka 2 parameter tersebut yang harus terukur. Pernyataan ini juga diperkuat oleh jurnal Venketesan dan Murthy (2009) berikut kutipannya :
Dosis pemakaian chlorine adalah 0,5 to 1 ppm (expressed as Cl2) sehingga apapun jenis zat kimia injeksi chlorine maka kadar tersebut yang menjadikan tingkat keefektifan anti biofouling agent.
Berdasarkan jurnal tersebut, hal-hal yang mempengaruhi tingkat keefektifan injeksi chlorine adalah:
  • Konsentrasi chlorine
  • Lamanya waktu kontak
  • Kualitas air
  • Temperatur air
Dosis tinggi penggunaan chlorine membutuhkan operasi pada temperatur rendah <10 oC dan kontak waktu yang lama yang lebih diutamakan. Berdasarkan jurnal Venkatesan dan Murthy (2009) temperatur berefek pada keefektifan anti biofouling agent, berikut kutipannya :
Berdasarkan jurnal tersebut, 100% kematian kerang di cooling water system terjadi pada peningkatan temperatur dari 31,6 to 37,2 oC dan kontak selama 6 jam. Penggunaan injeksi chlorine dijaga residualnya pada 0,2 to 1 ppm dimana dosis tersebut efektif mematikan kerang pada 15 to 135 hari.
Berdasarkan jurnal tersebut didapatkan informasi untuk penanganan teknis NaOCl adalah:
  • Menjauhkan tangki/jerigen NaOCl jauh dari panas atau cahaya matahari langsung
  • Wadah NaOCl yang disarankan adalah polyethylene (PE) dilengkapi venting untuk mengeluarkan oksigen
  • Tidak boleh menggunakan wadah yang berbahan stainless steel (SS)
  • Jika membutuhkan pelarutan harus menggunakan air demin
  • Pompa yang disarankan adalah tipe diafragma
  • Fitting disarankan berbahan dari teflon
  • Pipa disarankan berbahan dari fiberglass
Berdasarkan jurnal diatas untuk menonaktifkan sisa chlorin agar tidak merusak membran RO digunakan beberapa hal sebagai berikut:
  • Activated carbon filter atau MMF
  • Sodium sulphite (Na2S2O5)
  • Sulphur dioxide (SO2)
  • Sodium bisulphite (NaHSO3)
  • Sodium sulphite (Na2SO3)
1.1 NON-OXIDIZING AGENT
Non-oxidizing agent adalah substansi yang digunakan untuk anti biofouling yang memanfaatkan sistem selain dengan proses oksidasi. Dikutip dari handbook US Army Corp of Engineer dengan judul “zebra mussel chemical control guide” hal 5-6 sebagai berikut:
Dikutip dari jurnal “Quaternary Ammonium Biocides : Efficacy in Application” sebagai berikut:
Berdasarkan jurnal tersebut diketahui bahwa quaternary ammonium compound (QAC) adalah agent non-oxidizing yang efektif dalam mengontrol fouling yang disebabkan Mollusca (contohnya kerang) untuk sistem peralatan pendingin satu kali lewatan (contohnya air pendingin condenser PLTU).
Panjang alkyl yang paling bagus dalam menghambat pertumbuhan mikroba adalah C12 to C16. Konsentrasi rendah (0,5 to 5 ppm) cocok untuk menghambat pertumbuhan alga, bakteri dan jamur sedangkan konsentrasi tinggi (10 to 50 ppm) bisa digunakan untuk menghambat jenis mikroba khusus.
Dikutip dari jurnal “QAC as antimicrobial agents protecting historical wood and brick” sebagai berikut:
Berdasarkan jurnal tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
  • Dodecyl dimethyl ammonium chloride (DDAC) dengan rumus kimia C22H48ClN berisi campuran asam karboksilat, alcohol dan fungicide sehingga umum disebut quartenary ammonium compound (QAC). Percobaan terhadap kayu dilakukan dengan perlakukan konsentrasi 10, 20 dan 30 %v/v
  • Keefektifan QAC ada di konsentrasi 30 %v/v dalam waktu 7 hari sedangkan sampai 28 hari sudah tidak ada efeknya
  • QAC mengandung senyawa alcohol yang berfungsi merusak membrane, denaturasi protein biota laut sehingga sel pecah (lisis). Konsentrasi alcohol yang rendah membuat kenyamanan dan meningkatkan aktifitas biocide lain sehingga kadar alcohol harus terkontrol
Berdasarkan Standard EPRI (2001) sebagai berikut:



Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Anti Biofouling Agent Oxidizing dan Non-Oxidizing, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Analisa Enjiniring Unit Pembangkitan dalam Evaluasi BiocideSurabaya
[2] Gerba, C. (2015). Qauternary Ammonium Biocodes : Efficacy in Application. Journal Applied and Environmental Microbiology, Vol. 81, pp. 2
[3] Rajkowska, K., Kozirog, A., Otlewska, A., Piotrowska, M., Krawczyk, N., Brycki, B., Styczynska, A dan Gutarowska, B. (2016). Quaternary Ammonium Biocides as Antimicrobial Agents Protecting Historical Wood and Brick, Vol. 63, pp. 153-159
[4] Specher, S., dan Getsinger, K. (2000). Zebra Mussel Chemical Control Guide. US Army Corps of Engineers. Engineer Research and Development Center
[5] Venkatesan, R dan Murthy, P. (2009). Macrofouling Control in Power Plant. www.reserachgate.net
[6] Kurita. (1999). Handbook of Water Treatment. Second Edition. Japan
[7] EPRI. (2001). Condenser Appication and Maintenance Guide

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK