Trending Topik

Teknik Pengendalian Solid Particle Flue Gas Sisa Pembakaran Bahan Bakar

Diposting oleh On Friday, August 14, 2020

Flue Gas adalah gas buang sisa pembakaran yang sudah tak diinginkan kembali. Istilah ini umum digunakan pada PLTU sebagai hasil sisa pembakaran bahan bakar (gas alam, batubara, biomassa dan lain-lain). Sisa pembakaran batubara ada 2 yaitu fase gas dan padat. Fase gas umumnya COx, SOx, NOx dan fase padat adalah abu terbang (fly ash). Teknik pengendalian fase gas dibahas di artikel berjudul "Cara Kontrol Gas SOx dan NOx pada Pembakaran Batubara". Sedangkan fase solid dikendalikan dengan menggunakan beberapa peralatan sebagai berikut:
  • Cyclone Separator/Multi-Cyclone
Cyclone Separator, sumber gambar: exair.com 
Cyclone Separator, sumber gambar: che.iitb.ac.in
Prinsip yang digunakan adalah gaya sentrifugal yaitu gaya pusar yang mengarah ke arah luar sehingga ketika flue gas yang mengandung solid particle masuk ke cyclone maka akan terlempar kearah luar (dinding tabung cyclone). Karena gaya gravitasi maka solid particle jatuh ke bawah sedangkan gas akan terdorong keatas.
Cyclone separator umumnya digunakan untuk industri menengah ke bawah dengan solid particle berukuran cukup besar dan daya listrik yang dikonsumsi rendah.

  • Electro Static Precipitator (ESP)


Prinsip teknik ini adalah gaya tarik-menarik antara partikel bernuatan positif (+) dan negatif (-). ESP didesain menggunakan 2 material logam yaitu: (i) electrode, dan (ii) collecting plate. Solid particle flue gas melewati diantara 2 logam tersebut, dimana electrode menjadi betegangan negatif (-) akibat pengaruh arus DC high voltage, ketika solid particle mendekat maka akan ter-ionisasi dan ketarik oleh collecting plate yang bertindak sebagai kutub positif (+). Setelah solid particle mengumpul di collecting plate maka dengan automatic hammer memukul plate menyebabkan solid particle jatuh ke ash hopper.
ESP umumnya digunakan untuk industri/PLTU kapasitas besar karena dalam operasinya membutuhkan listrik yang cukup besar, area yang luas dan treatment yang sering.
  • Baghouse Filter
Baghouse filter menggunakan teknik penangkapan debu dengan sarung mess tinggi sebagai filter. Solid particle flue gas akan tertangkap pada sarung dan tidak tertembus karena diameter solid particle > mess sarung. Penggunaan ini umumnya pada industri/PLTU menengah ke bawah dengan pertimbangan penggunaan listrik yang rendah, kadar SOx rendah dan murahnya biaya maintenance.

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Teknik Pengendalian Solid Particle Flue Gas Sisa Pembakaran Bahan Bakar, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation. Eighth Edition Handbook

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Macam - Macam Fan di PLTU

Diposting oleh On Sunday, August 02, 2020

Fan (Kipas/Kincir) adalah peralatan yang berfungsi untuk memberikan tekanan dan di PLTU terdapat beberapa air fan yang digunakan. Ada 4 pembagian jenis fan menurut Handbook Steam Plant Operation (Woodruff et al, 2000) sebagai berikut:
  • Natural Draft
Aliran secara alami yaitu mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah
  • Forced Draft
Aliran yang dipaksa dengan menggunakan peralatan mechanical sehingga sistem dibuat diatas tekanan atmosferik
  • Induced Draft
Aliran dimana sistemnya dibawah tekanan atmosferik
  • Balanced Draft
Aliran dibuat seimbang dengan adanya forced draft di inlet dan induced draft di outlet

Berikut nama-nama fan di PLTU:
  • Primary Air (PA) Fan
Terletak di furnace dan menghembuskan udara pembakaran dari sisi bawah, juga digunakan untuk membuat bubbling bahan bakar
  • Secondary Air (SA) Fan
Terletak di furnace dan menghembuskan udara pembakaran dari sisi bawah dan tengah, berfungsi sebagai adjusting %excess air untuk meningkatkan efisiensi pembakaran
  • Forced Draft (FD) Fan
Umumnya pengganti nama PA Fan dan SA Fan (di CFB), sedangkan FD Fan di stoker
  • Induced Draft (ID) Fan
Terletak dijalur gas buang mendekati stack, berfungsi menyedot sisa pembakaran agar tertarik ke luar cerobong
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Macam-Macam Fan di PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation. Eighth Edition Handbook

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Certificate of Analysis (CoA) Batubara Uji Laboratorium

Diposting oleh On Saturday, July 25, 2020

Certificate of Analysis (CoA) adalah sertifikat hasil uji analisis spesimen di laboratorium. Untuk CoA batubara terdapat beberapa komponen yang diuji seperti yang dikuti pada Handbook Steam Plant Operation (Woodruff et al, 2000) sebagai berikut:
  • Moisture (Kandungan Air)-(ASTM D3173)
Tahap uji di laboratorium adalah sampel sebanyak 1 gram ditaruh di oven pada temperatur 220 oF = 105 oC selama 1 jam. Perbedaan berat sebelum dan sesudah dibandingkan dan itu menunjukkan kandungan air. Diambil suhu 105 oC karena air akan teruapkan pada temparatur 100 oC namun karena thermocouple mengukur bagian luar wadah atau sistem saja bukan langsung ke bahan yang di-oven maka diberi spaceoC untuk toleransi. Terdapat 2 jenis moisture yaitu: (isurface (moisture pada permukaan batubara); (iiinherent (moisture pada rongga kapiler batubara)
  • Volatile Matter (Unsur Mudah Menguap)-(ASTM D3175)
Tahap uji di laboratorium adalah sampel diatas dilanjutkan ditempatkan di furnace dan ditutup rapat dengan penkondisian temperatur 1700 oF = 927 oC (mirip dengan pembakaran sebenarnya di boiler PLTU). Gas yang terdeteksi keluar disebut volatile matter. Ini menandakan batubara mudah terbakar.


  • Fixed Carbon (Bahan yang Terbakar)-(ASTM D3172)
Tahap uji di laboratorium adalah melanjutkan lagi sampel diatas namun dengan pengkondisian furnace dibiarkan terbuka kemudian temperatur dinaikkan sehingga sampel sisa yang tertinggal adalah abu. Selisih berat merupakan kandungan fixed carbon (yang terbakar saja). Fixed Carbon = bobot batubara-(bobot moisture+volatile matter+ash). Komposisi umum carbon sebagai berikut: lignite (C70H5O25), subbituminous (C75H5O20), bituminous (C80H5O15dan anthracite (C94H3O3)
  • The Hardgrove Grindability Index (HGI)-(ASTM D409) 
Pengukuran secara empiris yang berhubungan dengan mudah tidaknya batubara untuk dihancurkan. Semakin tinggi menandakan batubara lunak mudah dihancurkan
  • Ash Content (Sisa Pembakaran)-(ASTM D3174, ASTM D3682)
Residu material sisa pembakaran di furnace meliputi: SiO2, Al2O3, TiO2, Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O
  • Total Sulfur (ASTM D2492)
Jumlah kandungan sulfate sulfur, pyritic sulfur dan organic sulfur di batubara. Pyritic sulfur adalah indikator potensial dari coal yang bisa menyebabkan abrasif
  • Ash Fusion Temperature (AFT-ASTM D1857)
Temperatur dimana bentuk cone ter-deformasi ke specific shape karena pengaruh oxidazing-reducing. Temperatur ini selaras dengan karakteristik ash melting, dimana bisa digunakan untuk mengklasifikasikan slagging potential. Teknik yang digunakan adalah batubara dibakar dibawah temperatur oksidasi yaitu 799-899 oC sehingga menghasilkan abu dan abu kemudian ditekan pada sebuah cetakan untuk membentuk triagular pyramid (cone) kemudian dipanaskan pelan-pelan sehingga cone mengalami pelunakan sehingga berubah bentuk lebih spesifik seperti berikut:
Terdapat urutan ash melting yaitu: (1original cone dengan ukuran tinggi 19 mm dan lebar dasar 6.35 mm; (2IT (initial deformation) adalah cone mulai melunak; (3ST (softening temperature) adalah cone telah ter-deformasi menjadi spherical (tinggi cone=lebar dasar cone), pada titik ini softening temperature=fusion temperature; (4HT (hemispherical temperature) adalah cone melebur membentuk bulatan dimana tinggi cone = 1/2 lebar dasar cone); (5FT (fluid temperature) adalah cone telah meleleh sepenuhnya (max tinggi 1.59 mm)
  • Abrasiveness Index
Tingkat abarasif dari batubara, dimana memiliki pengaruh terhadap life-time crusher. Tingkat abrasif ini selaras dengan tingkat kandungan quartz/silica. Teknik yang bisa dilakukan adalah dengan mencuci batubara ke larutan asam kemudian menggunakan mikroskop untuk dilakukan pengamatan setiap 1000 partikel terhitung.
  • Coke (Kokas)
Ketika batubara dipanaskan maka materi ringan akan mudah menguap sedangkan materi berat akan mengalami hydrocarbon crack yang membebaskan gas, tar dan residu carbon. Sisa carbon yang berisi ash dan sulfur dipanggil kokas (coke)
  • Slagging & Fouling Factor
Keduanya adalah endapan/deposit yang mengganggu proses transfer panas, dimana: (islagging/scaling adalah deposit yang bersifat sangat keras dan treatment minimalisir menggunakan chemical. Umumnya terdapat pada area yang langsung bersentuhan dengan radiasi api/panas sehingga ketika kena panas maka semakin lama deposit mengeras seperti kristal; (iifouling adalah deposit lunak yang terbentuk karena lapisan suspended solid/ash yang tipis terus-menerus dan umumnya terletak pada area yang tidak bersentuhan langsung dengan api/panas sehingga tidak sampai mengkristal. Treatment minimalisir bisa menggunakan scrapper dan water jet compressor. Berikut formula yang bisa digunakan untuk analisa kemungkinan proses terjadinya slagging & fouling:


Heating value diukur menggunakan bomb calorimeter yaitu peralatan yang terdiri dari bomb (untuk membakar) dan calorimeter (rangkaian komponen untuk mengukur kalori). Langkah kerja sebagai berikut:
1 gram sampel yang sudah dihancurkan dan dikeringkan ditempatkan di-tray dari bomb. Tray kemudian ditaruh di steel bomb yang dilengkapi fuse wire (aliran listrik) untuk membakar. Bomb kemudian ditutup, dihubungkan dengan oxygen tank dan ditekan sehingga sampel terbakar. Disisi luar bomb diberi water sehingga panas yang dihasilkan dari pembakaran sampel di bomb diserap oleh water, diberi juga stirrer untuk meratakan panas pada semua area water. Kenaikan suhu di water diukur menggunakan thermometer. Kemudian dilakukan perhitungan seperti rumus dibawah ini.

Analisis batubara dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu:
  • Proximate Analysis (ASTM D3172)
Pengujian batubara meliputi: volatile matter, fixed carbon dan ash content. Lebih gampangnya memahami adalah pengujian batubara secara umum yang tidak spesifik
  • Ultimate Analysis (ASTM D3176)
Pengujian batubara meliputi: carbon (C), hydrogen (H), nitrogen (N) dan sulfur (S). Lebih gampangnya adalah pengujian batubara secara spesifik sampai level unsur
  • Heating Value (ASTM D2015)
Maksimum energi teoritis bahan bakar yang tersedia untuk memproduksi steamGross calorific value ini berasal dari batubara yang diukur menggunakan adiabatic bomb calorimeter. Pengukuran kalori batubara mengacu pada prinsip stoikiometri seperti reaksi pembakaran hydorcarbon berikut:

CxHy + O2 ---> CO2 + H2O

H2O bisa dalam 2 fase yaitu liquid (cair) dan gas (uap) dan berdasarkan perbedaan tersebut terdapat 2 heating value yaitu:
1Higher Heating Value (HHV) adalah energi yang dikeluarkan dari pembakaran unit bahan bakar dengan produknya adalah ash, gas (CO2, SO2, Ndan liquid water). Lebih mudahnya adalah panas dari proses pembakaran pada volume konstan sehingga semua kandungan air ter-kondensasi dalam bentuk cair (H2O cair). Ketika H2O ter-kondensasi dari uap ke cair maka akan melepas kalor sehingga menambah kalori batubara. Mengapa nilai high heating value (HHV) lebih tinggi daripada LHV?? karena heating yang terhitung pada batubara adalah gabungan antara batubara sendiri dengan kalor laten pengembunan air (H2O dari uap menjadi cair) ---> HHV = kalori batubara + kalor latent pengembunan H2O.

2. Low Heating Value (LHV)-(ASTM D407) adalah panas dari proses pembakaran pada volume konstan sehingga semua kandungan air terbentuk menjadi uap (H2O uap). 
Basis pengukuran heating value batubara terbagi menjadi 4 yaitu:
  1. As Received Basis (AR), sampel batubara yang diterima oleh laboratorium sebelum ada proses pengeringan sehingga nilai kalor adalah apa adanya di lapangan. Umumnya basis inilah yang digunakan untuk menghitung efisiensi boiler metode heat-loss
  2. Air Dried Basis (ADB), sampel batubara yang sudah dilakukan pengringan sehingga tidak mengandung SURFACE moisture lagi
  3. Dry Basis (DB), sampel batubara yang tidak mengandung SURFACE + INHERENT moisture (teoritis)
  4. Dry Ash Free Basis (DAFB), sampel batubara yang murni terbebas dari moisture content & ash content, hanya terdapat volatile matter & fixed carbon.

Contoh CoA batubara:

Simak Penjelasan di Video Berikut:
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Certificate of Analysis (CoA) Batubara Uji Laboratorium, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation. Eighth Edition Handbook

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Macam-Macam Analisa Bahan Bakar PLTU (Coal & Fuel Oil) Adopted from The Babcock & Wilcox Company

Diposting oleh On Sunday, July 19, 2020

PLTU umumnya menggunakan bahan bakar yang bervariasi tergantung tipe boiler dan kebijakan pemerintah tentang energi primer. Beberapa jenis bahan bakar yang umum digunakan di PLTU yaitu batubara, fuel oil/residual oil dan biomassa (kayu, limbah pertanian dan cangkang kelapa/kelapa sawit).
Batubara dikelompokkan berdasarkan umur terbentuk dan kandungan carbon (C), berikut urutan pembentukan batubara:
Analisis batubara dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu:
  • Proximate Analysis (ASTM D3172)
Pengujian batubara meliputi: volatile matter, fixed carbon dan ash content. Lebih gampangnya memahami adalah pengujian batubara secara umum yang tidak spesifik
  • Ultimate Analysis (ASTM D3176)
Pengujian batubara meliputi: carbon (C), hydrogen (H), nitrogen (N) dan sulfur (S). Lebih gampangnya adalah pengujian batubara secara spesifik sampai level unsur
  • Heating Value (ASTM D2015)
Maksimum energi teoritis bahan bakar yang tersedia untuk memproduksi steam. Gross calorific value ini berasal dari batubara yang diukur menggunakan adiabatic bomb calorimeter. Pengukuran kalori batubara mengacu pada prinsip stoikiometri seperti reaksi pembakaran hydorcarbon berikut:

CxHy + O2 ---> CO2 + H2O

H2O bisa dalam 2 fase yaitu liquid (cair) dan gas (uap) dan berdasarkan perbedaan tersebut terdapat 2 heating value yaitu:
1. Higher Heating Value (HHV) adalah energi yang dikeluarkan dari pembakaran unit bahan bakar dengan produknya adalah ash, gas (CO2, SO2, N2 dan liquid water). Lebih mudahnya adalah panas dari proses pembakaran pada volume konstan sehingga semua kandungan air ter-kondensasi dalam bentuk cair (H2O cair). Ketika H2O ter-kondensasi dari uap ke cair maka akan melepas kalor sehingga menambah kalori batubara. Mengapa nilai high heating value (HHV) lebih tinggi daripada LHV?? karena heating yang terhitung pada batubara adalah gabungan antara batubara sendiri dengan kalor laten pengembunan air (H2O dari uap menjadi cair) ---> HHV = kalori batubara + kalor latent pengembunan H2O.

2. Low Heating Value (LHV)-(ASTM D407) adalah panas dari proses pembakaran pada volume konstan sehingga semua kandungan air terbentuk menjadi uap (H2O uap). 
Basis pengukuran heating value batubara terbagi menjadi 4 yaitu:
  1. As Received Basis (AR), sampel batubara yang diterima oleh laboratorium sebelum ada proses pengeringan sehingga nilai kalor adalah apa adanya di lapangan. Umumnya basis inilah yang digunakan untuk menghitung efisiensi boiler metode heat-loss
  2. Air Dried Basis (ADB), sampel batubara yang sudah dilakukan pengringan sehingga tidak mengandung SURFACE moisture lagi
  3. Dry Basis (DB), sampel batubara yang tidak mengandung SURFACE + INHERENT moisture (teoritis)
  4. Dry Ash Free Basis (DAFB), sampel batubara yang murni terbebas dari moisture content & ash content, hanya terdapat volatile matter & fixed carbon.
  • Volatile Matter (ASTM D3175), materi yang mudah menguap yang menandakan batubara mudah terbakar
  • The Hardgrove Grindability Index (HGI)-(ASTM D409) adalah pengukuran secara empiris yang berhubungan dengan mudah tidaknya batubara untuk dihancurkan. Semakin tinggi menandakan batubara lunak mudah dihancurkan
  • Total Sulfur (ASTM D2492), jumlah kandungan sulfate sulfur, pyritic sulfur dan organic sulfur di batubara. Pyritic sulfur adalah indikator potensial dari coal yang bisa menyebabkan abrasif
  • Ash Fusion Temperature (AFT-ASTM D1857), temperatur dimana bentuk cone ter-deformasi ke specific shape karena pengaruh oxidazing-reducing. Temperatur ini selaras dengan karakteristik ash melting, dimana bisa digunakan untuk mengklasifikasikan slagging potential. Teknik yang digunakan adalah batubara dibakar dibawah temperatur oksidasi yaitu 799-899 oC sehingga menghasilkan abu dan abu kemudian ditekan pada sebuah cetakan untuk membentuk triagular pyramid (cone) kemudian dipanaskan pelan-pelan sehingga cone mengalami pelunakan sehingga berubah bentuk lebih spesifik seperti berikut:
Terdapat urutan ash melting yaitu: (1) original cone dengan ukuran tinggi 19 mm dan lebar dasar 6.35 mm; (2) IT (initial deformation) adalah cone mulai melunak; (3) ST (softening temperature) adalah cone telah ter-deformasi menjadi spherical (tinggi cone=lebar dasar cone), pada titik ini softening temperature=fusion temperature; (4) HT (hemispherical temperature) adalah cone melebur membentuk bulatan dimana tinggi cone = 1/2 lebar dasar cone); (5) FT (fluid temperature) adalah cone telah meleleh sepenuhnya (max tinggi 1.59 mm)
  • Ash Content (ASTM D3174, ASTM D3682), kandungan ash sisa pembakaran batubara yang meliputi: SiO2, Al2O3, TiO2, Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O
  • Moisture Content (ASTM D3173), kadar air pada batubara dan nilai ini didapatkan ketika batubara dialiri panas 104-110 oC (set suhu tersebut dimaksudkan agar air benar-benar teruapkan semua pada 100 oC. Terdapat 2 jenis moisture yaitu: (i) surface (moisture pada permukaan batubara); (ii) inherent (moisture pada rongga kapiler batubara)
  • Abrasiveness Index, tingkat abarasif dari batubara, dimana memiliki pengaruh terhadap life-time crusher. Tingkat abrasif ini selaras dengan tingkat kandungan quartz/silica. Teknik yang bisa dilakukan adalah dengan mencuci batubara ke larutan asam kemudian menggunakan mikroskop untuk dilakukan pengamatan setiap 1000 partikel terhitung.
  • Coke (Kokas), ketika batubara dipanaskan maka materi ringan akan mudah menguap sedangkan materi berat akan mengalami hydrocarbon crack yang membebaskan gas, tar dan residu carbon. Sisa carbon yang berisi ash dan sulfur dipanggil kokas (coke)
  • Fixed Carbon (ASTM D3172), material inti batubara yang didapatkan dari: Fixed Carbon = bobot batubara-(bobot moisture+volatile matter+ash). Komposisi umum carbon sebagai berikut: lignite (C70H5O25), subbituminous (C75H5O20), bituminous (C80H5O15) dan anthracite (C94H3O3)
  • Slagging & Fouling Factor, keduanya adalah endapan/deposit yang mengganggu proses transfer panas, dimana: (i) slagging/scaling adalah deposit yang bersifat sangat keras dan treatment minimalisir menggunakan chemical. Umumnya terdapat pada area yang langsung bersentuhan dengan radiasi api/panas sehingga ketika kena panas maka semakin lama deposit mengeras seperti kristal; (ii) fouling adalah deposit lunak yang terbentuk karena lapisan suspended solid/ash yang tipis terus-menerus dan umumnya terletak pada area yang tidak bersentuhan langsung dengan api/panas sehingga tidak sampai mengkristal. Treatment minimalisir bisa menggunakan scrapper dan water jet compressor. Berikut formula yang bisa digunakan untuk analisa kemungkinan proses terjadinya slagging & fouling:


Berikut contoh certificate of analysis (CoA) batubara:
Analisa fuel oil sebagai berikut:
  • Ultimate Analysis, sama dengan coal analysis
  • API Gravity, digunakan di industri perminyakan untk menentukan relatifitas densitas minyak. API gravity memiliki hubungan dengan specific gravity, sesuai rumus berikut:

  • Heating Value, sama dengan coal analysis
  • Viscosity, pengukuran ketahanan internal terhadap flow dan yang umum dipakai di perminyakan ada 4 satuan yaitu: [i] saybolt universal second (SUS), [ii] saybolt furol second (SFS), [iii} absolute viscosity (centipoise), [iv] kinematic viscosity (centistokes)
  • Pour Point, temperatur terendah dimana bahan bakar cair mengalir pada kondisi standar
  • Flash Point, temperatur dimana bahan bakar cair akan memproduksi uap yang mudah tersulut/terbakar sendirinya namun sesaat tidak terbakar terus-menerus
  • Water & Sediment, bahan bakar cair umumnya mengandung sedimen berupa calcium, sodium, magnesium dan iron. Sedangkan untuk heavy fuel, sedimen bisa berupa carbon.
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Macam-Macam Analisa Bahan Bakar PLTU (Coal & Fuel Oil), Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] The Babcock & Wilcox Company. Sources of Chemical Energy
[2] Wijayanto, Y. (2016). Heat Rate Improvement. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Prinsip Pembakaran Hydrocarbon untuk Mencapai Efisiensi Tinggi di PLTU

Diposting oleh On Sunday, July 12, 2020

Pembakaran di furnace boiler PLTU (combustion) menggunakan bahan bakar berbagai macam dan Indonesia sudah mulai pengurangan penggunaan hasil olahan minyak bumi untuk pembakaran. Pemerintah menghimbau untuk penggunaan batubara, geothermal, solar cell, tenaga angin, mikro-hidro dan lain-lain yang ramah lingkungan dengan istilah "energi baru-terbarukan". Penggunaan batubara (coal) yang notabene termasuk dalam energi yang tidak dapat diperbaharui masih belum bisa ditinggalkan karena beberapa alasan seperti: melimpahnya SDA ini di Indonesia, kemampuan dalam membangkitkan daya listrik yang besar, dan kemampuan fleksibilitasnya dalam digunakan untuk PLTU batubara dengan kualitas paling jelek sekalipun.
Berdasarkan "Handbook Steam Plant Operation (Woodruff et al, 2000)" berikut beberapa informasi yang didapatkan:
Gambar 1. Data %Excess Air untuk Berbagai Bahan Bakar
Gambar 2. Data Properties Unsur yang Terlibat dalam Pembakaran

BACA JUGAPerhitungan Efisiensi Boiler Berdasarkan ASME PTC 4.1

Berdasarkan Basu (2015) berikut standarnya:
Proses pembakaran batubara di boiler PLTU mengikuti skema berikut: [Basu, 2015]
Berdasarkan grafik tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
  1. Pada temperatur 200 oC, batubara mengalami drying & heating
  2. Pada temperatur 300-800 oC, kandungan volatile batubara mulai terlepas
  3. Pada temperatur >800 oC, terjadi pembakaran sempurna batubara
Data excess air untuk setiap bahan bakar berbeda-beda dan hasil diatas berdasarkan best-practice experienced para engineer dengan trial-error system. Terdapat rumus yang bisa digunakan untuk menghitung %excess air seperti diatas yang didapatkan dari reaksi stoikiometri standar. Mengapa didalam pembakaran membutuhkan excess air?? karena proses pembakaran hydrocarbon(CxHy) pasti membutuhkan oksigen (O2) sedangkan produk samping hasil pembakaran ada 2 yaitu carbon dioksida (CO2) dan carbon monoksida (CO).  Detail stoikimoteri pembakaran bisa dibaca di artikel: Perhitungan Stoikiometri pada Pembakaran Batubara

C + O2 ---> CO2

C + ½ O2 ---> CO

Carbon dioksida inilah yang diinginkan karena menghasilkan energy (heat) yang besar dibandingkan jika menghasilkan CO (pembakaran tidak sempurna dan ada hydrocarbon tidak habis terbakar). Berdasarkan reaksi stoikiometri diatas diketahui bahwa untuk membakar 1 mol C maka kebutuhan udara untuk menghasilkan CO2 adalah 1 mol sedangkan CO adalah 1/2 mol. Alasan itulah yang dipakai mengapa harus ada excess air pada setiap pembakaran. Apakah tidak ada pengendali %excess air ?? mutlak ada, karena ketika udara terlalu excess maka akan terdapat dry flue gas dengan indikasi over oksigen pada gas buang (flue gas) padahal gas tersebut mengandung heat energy sehingga menyebabkan efisiensi turun.
Heating value diperlukan untuk mengukur energi yang bisa dihasilkan dari suatu bahan bakar. Dalam Certificate of Analysis (CoA) pengujian batubara terdapat 2 istilah yang dipakai yaitu: (i) proximate analysis untuk uji moisture content, fixed carbon, volatile matter dan ash content; (ii) ultimate analysis untuk uji C, H, O, N, S. Pengujian heating value bisa didapatkan dari pengujian menggunakan bomb calorimeter atau dengan pendekatan "Dulong Formula" seperti rumus diatas.

Terdapat permasalahan pada pembakaran batubara yang menurunkan efisiensi yaitu adanya "Unburned Carbon" dan kehilangan energi karena carbon tidak terbakar dikenal dengan istilah "Unburned Carbol Loss", ini disebabkan karena beberapa hal seperti:
  • Unburned carbon loss terkumpul di bottom ash dan fly ash) karena tidak terbakar, bisa disebabkan karena udara pembakaran yang kurang, sistem sirkulasi pembakaran tidak merata atau mengandung moisture yang besar sehingga tidak tertembus panas dan lain-lain.
  • Kehadiran CO pada flue gas, ini mengindikasikan kurangnya udara pembakaran sehingga carbon tidak habis terbakar
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Prinsip Pembakaran Hydrocarbon untuk Mencapai Efisiensi Tinggi di PLTU), Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation. Eighth Edition Handbook
[3] Feriyanto, Y. E. (2019). Perhitungan Efisiensi Boiler Metode Heat-Loss Menurut ASME PTC 4.1, Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Macam-Macam Heat Treatment Logam Baja (Steel) Adopted from The Babcock & Wilcox Company

Diposting oleh On Friday, July 10, 2020

Heat treatment pada baja (steel) selama proses pembuatan/pencetakan dimaksudkan untuk memodifikasi microstructure agar diperoleh hardness atau ductility sesuai kebutuhan, meningkatkan machinability, memperbaiki grain structure (bulir kristal), menghilangkan internal stresses, meningkatkan strength level.
*Grain adalah kristal atau bulir, setiap steel kalau dilihat secara microstrukture maka akan terlihat bulir-bulir sebagai penyusun rapi dalam single structure yang dinamakan "lattice" dan bentuknya akan identik dengan gabungan beberapa lattice pada cell material. Struktur rapi ada pada 1 unsur tertentu dan tiap unsur identik dengan lattice masing-masing. Sedangkan alloy steel (gabungan iron dengan unsur tambahan lain) akan didapatkan lattice yang saling berdesakan satu sama lain sehingga akan membentuk struktur yang kurang teratur. 
Heat treatment pada baja salah satunya difungsikan untuk merapikan atau mengkondisikan lattice dengan harapan memiliki sifat properties sesuai kebutuhan.

Macam-Macam Heat Treatment pada Baja (Steel) adalah:
  • Annealing
Terbagi menjadi 6 yaitu:
1. Full Annealing, pemanasan ferritic steel diatas temparature upper critical transformation (seperti grafik dibawah yaitu A3) dengan menahannya cukup lama sampai benar-benar steel ber-transformasi ke austenite. Kemudian mendinginkan pelan-pelan di temperatur 600 F (316 oC). Full annealing akan meningkatkan grain structure menjadi relatif soft dan ductile material yang bebas dari internal stress.


2. Solution Annealing, pemanasan austenitic SS pada temperatur dimana sebagian besar carbide solution. Steel ditahan pada temperatur tersebut cukup lama untuk mencapai grain growth kemudian diikuti fast cooling (quenching) dengan air atau cairan pendingin untuk mencegah terbentuknya carbide sehingga mencapai optimum creep strength dan corrosion resistance
3. Stabilization Annealing, steel tahap awal dilakukan solution annealing kemudian dilanjutkan pemanasan pada 1600 F=871 oC dengan menahannya. Tahap awal akan terbentuk Cr carbide pada grain boundaries pada steel
4. Intercritical Annealing, pemanasan hypoeutectoid ferritic steel diatas lower critical transformation temperature (A1 pada grafik diatas) tetapi dibawah upper criticial temperature (A3 pada grafik diatas). Kondisi tersebut akan melarutkan semua iron carbide tetapi tidak mengubah ferrite ke austenite. Perlakuan pendinginan lambat dari temperatur tersebut melewati A1 menghasilkan struktur ferrite & pearlite yang bebas internal stress. Pendinginan lambat mirip perlakuan pada full annealing (316 oC)
5. Isothermal Annealing, proses sama dengan intercritical annealing namun pendinginan dihentikan seketika dibawah A1 untuk ber-transformasi steel ke ferrite & pearlite.
6. Process Annealing/Subcritical Annealing/Stress Relieving, dilakukan dibawah lower critical temperature A1 (510-740 oC). Tipe ini tidak memurnikan grain maupun melarutkan cementite tetapi meningkatkan ductility dan mengurangi residual stress di hardened steel.
  • Normalizing
Steel dipanaskan diatas upper critical temperature dan umumnya steel didinginkan di udara atmosfer. Sifat steel yang dihasilkan adalah harder + higher tensile strength daripada full annealing. Untuk menghilangkan cooling stress, maka proses normalizing diikuti tempering


  • Spheroidizing
Ini adalah tipe dari subcritical annealing yang digunakan untuk melunakkan steel dan meningkatkan machinability. Tekniknya yaitu dengan pemanasan fine pearlite dibawah lower critical temperature steel kemudian diikuti pendinginan sangat pelan
  • Hardening (Quenching)
Steel dengan high C dipanaskan untuk memproduksi austenite dan kemudian didinginkan cepat pada cairan atau air atau oli. Selama hardening maka austenite akan ber-transformasi ke martensite. Martensite terbentuk pada temperatur dibawah 400 F=204 oC tergantung kandungan carbon dan jumlah alloying element di steel. Martensite yang terbentuk pada proses quenching/hardening memiliki sifat paling keras (the hardest), high strength dan tahan abrasi.
  • Tempering
Ini diterapkan sesudah normalizing atau quenching kemudian dilakukan pemanasan lagi (second treatment) dibawah lower critical temperature (A1 pada grafik diatas) kemudian diikuti pendinginan sesuai yang diinginkan. Beberapa sifat hardness akan hilang dengan proses tempering namun toughness meningkat dan dampak lain yaitu stress yang timbul karena quenching bisa diminimalisir. Higher tempering temperature menjadikan steel softer & tougher

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Macam-Macam Heat Treatment Logam Baja (Steel), Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] The Babcock & Wilcox Company. Metallurgy, Materials and Mechanical Properties

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Bubbling Fluidized Bed (BFB) Boiler PLTU

Diposting oleh On Wednesday, July 01, 2020

Terdapat 3 jenis tipe boiler yang umum digunakan di PLTU seperti yang dipaparkan detail di "Macam-Macam Boiler PLTU". Disini akan ditambahkan tipe boiler BFB (Bubbling Fluidized Bed), dimana tipe ini bisa dikategorikan mirip dengan CFB namun lebih sederhana. Berikut urutan perkembangan teknologi boiler:
  • Stoker Boiler/Fixed Bed
Awal mula bahan bakar (batubara) dengan size cukup besar dipanggang pada rantai berjalan (travelling grate). Pergerakan grate lambat sehingga di-estimasi batubara masuk dan sampai ujung sudah menjadi ash. Dari bawah disemburkan udara (PA Fan) yang berfungsi sebagai cooling grate agar coal tidak menempel (slagging). Teknologi ini disebut stoker boiler dan memiliki efisiensi yang cukup rendah karena kemungkinan coal tidak habis terbakar sampai ujung grate.
  • Bubbling Fluidized Bed (BFB) Boiler
Kelemahan stoker yang tidak habis terbakar disempurnakan kembali dengan membuat bubbling sehingga residence time pembakaran membuat coal terbakar lebih sempurna dan unburned carbon (UBC) terminimalisir. BFB ini cukup menambah udara pembakaran (PA Fan) sehingga coal seolah ter-fluidisasi dalam suatu kolom (furnace). Kelemahannya adalah mudah sekali terjadi penyumbatan pada bottom furnace ketika coal tidak benar-benar bubbling dalam furnace.
  • Circulating Fluidized Bed (CFB) Boiler
Kelemahan BFB disempurnakan kembali menjadi CFB, dimana pada prinsipnya melakukan circulating bed material (coal + sand) sehingga potensi untuk bubbling secara keseluruhan menjadi lebih sempurna dan terhindar dari penyumbatan bottom ash. Circulating ini dibantu dengan adanya cyclone separatorFluidisasi pada CFB dibantu dengan udara bakar (PA Fan + SA Fan), kelemahan yang mungkin ada pada CFB adalah potensi abrasi dan erosiApakah terdapat perbedaan keduanya?? IYA, abrasi adalah penipisan pada material logam (tube boiler) sedangkan erosi pada non-logam (refractory). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meminimalisir dampak tersebut seperti: pengecekan thickness boiler, inspeksi refractory, analisa ash (bottom + fly)adjust damper PA + SA Fan, adjust size coal, pemilihan properties pasir bed material.

CFB dan BFB sama-sama dikategorikan kedalam fluidized boiler combustion dengan ilustrasi perbedaan seperti dikutip dari Handbook The babcock & Wilcox Company sebagai berikut:
Berikut skematik BFB boiler:


Berikut beberapa informasi yang didapatkan dari Handbook Steam Plant Operation (Woodruff et al, 2000):
  • BFB adalah salah satu tipe fluidized bed combustor boiler selain CFB, dimana BFB ini coal size yang digunakan lebih besar dan coal hanya bubbling dibagian bawah (lower air velocity)
  • BFP dioperasikan pada range temperature 1500-1600 degF = 815-871 degC (sama dengan operasi CFB) sehingga potensi meminimalisir terbentuknya NOx 

  • Bisa digunakan untuk coal dengan high moisture dan low heating value, sehingga lebih praktis dibandingkan CFB
  • BFB adalah teknologi kuno jauh sebelum CFB ada, sehingga masih simpel, biaya murah namun daya yang dibangkitkan masih rendah
Dikutip dari Basu (2015) sebagai berikut:
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Bubbling Fluidized Bed (BFB) Boiler PLTU, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook
[2] The Babcock & Wilcox Company. Fluidized Bed Combustion
[3] Basu, P. (2015). Circulating Fluidized Bed Boiler, Design Operation and Maintenance. Canada
[4] Vakkilanen. (2017). Fluidized Bed Boilers for Biomass. Chapter 10

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK