Trending Topik

Analisa Profil Kerusakan WATER SIDE TUBE (INNER) Boiler PLTU (1 of 3)

Diposting oleh On Saturday, November 07, 2020

Tube boiler adalah komponen di PLTU yang berfungsi sebagai converter air menjadi uap bertekanan. Dalam operasinya, boiler bisa mengalami serangkaian failure baik dari sisi dalam (inside) maupun luar (outside). Kemungkinan penyebab dari sisi inside adalah:

  • Deposit karena silica, hardness water (Ca/Mg), phospate
  • Korosi karena injeksi kimia berlebihan sehingga air bersifat pH rendah atau pH tinggi
  • Korosi karena kelebihan dissolved gas (CO2 dan O2)

Sedangkan kemungkinan penyebab dari sisi outside adalah:
  • Abrasi karena pasir silica, sootblower treatment, fly ash
  • Slagging karena agglomerasi batubara
  • Korosi karena sulfur batubara

Berikut beberapa gambar dan penjelasan failure di tube boiler:
  • Oxygen Pitting/Oxygen Corrosion
Pitting (korosi sumuran) adalah localized corrosion yang artinya korosi yang terpusat parah di titik tertentu saja. Ciri khas dari pitting adalah lubang dalam dengan luasan kecil, bisa terlihat di permukaan atau didalam material. Posisi yang didalam inilah yang sangat berbahaya karena tidak diketahui dan tiba-tiba material sudah kehilangan sifat mechanical properties-nya.

Pitting bisa disebabkan oleh keberadaan oksigen terlarut dan umumnya terjadi di operasi tekanan rendah [The Babcock & Wilcox Company]. Oksigen bisa menyebabkan reaksi oksidasi dan menyebabkan korosi dan salah satu bentuknya adalah pitting. Detail baca artikel berikut: Kontaminan Gas Terlarut di Boiler Water. Reaksi sebagai berikut: [Feriyanto, 2018]

2 Fe + 2 H2O + O2 ---> 2 Fe(OH)2

4 Fe(OH)2 + 2 H2O + O2 ---> 4 Fe(OH)3

Fe(OH)2 adalah senyawa yang tidak stabil dan merupakan bibit korosi (agent corrosion) sedangkan Fe(OH)3 adalah produk korosi.

Terdapat profil yang cukup berbeda untuk oxygen corrosion berdasarkan handbook Port and Herro, (1991), seperti berikut:

  • Phospate Corrosion/Phospate Attack

Korosi ini disebabkan karena pengaruh pemberian Tri Sodium Phospate (TSP) di steam drum melebihi ambang batas dengan standar acuan normal mol rasio Na/PO4 < 2.8 [The Babcock & Wilcox Company]. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Na3PO4 + Fe + 2 H2O ---> NaFePO4 + 2 NaOH + H

Pengalaman yang pernah kami temui untuk kasus ini adalah ketika pengujian menggunakan XRD ditemukan kandungan Na yang terlalu tinggi di surface material dan menyebabkan crack failure. Keberadaan Na yang tinggi ini menandakan purity phospate yang rendah atau kelebihan injeksi phospate. Dalam investigasi kami, ditemukan penyebabnya adalah purity phospate yang rendah <85% (standar yang disarankan >95%) dengan pH 1% pelarutan 10-11 (standar >12) sehingga untuk buffering harus menggunakan dosis lebih banyak dibandingkan dengan purity tinggi. Disebabkan melimpahnya Na dari injeksi maka bisa berpotensi carry-over di steam drum dan menempel pada tube boiler dan blade turbine [Feriyanto, 2020]. Baca selengkapnya di: Analisa Deposit pada Blade Turbine

Berdasarkan EPRI Cycle Chemistry Guidelinesphospate harus dijaga di boiler system agar terhindar dari phospate attack dengan standar minimum phospate (PO4) 0.2 ppm dan maksimum phospate (PO4) 10 ppm.

  • Acid Corrosion/Acid Attack & Hydrogen Damage/Hydrogen Embrittlement
Keberadaan hydrogen juga membahayakan tube boiler, karena banyaknya konsentrasi Hmengindikasikan nilai pH ke arah asam (acid). Hydrogen yang terakumulasi di sistem bisa bereaksi dengan carbon steel (FeC) membentuk metana (CH4), seperti reaksi berikut: [Feriyanto, 2019] [Frayne, 2002].

Fe3C + C + 4 H2 ---> 2 CH4 + 3 Fe

Hydrogen bisa berasal dari disosiasi chemical yang digunakan sebagai injeksi kimia seperti NH3, N2H4, H2S dan H2O. Berikut profil kerusakan tube boiler akibat hydrogen damage: [The Babcock & Wilcox Company; Port and Herro, 1991]
Hydrogen damage dengan kehadiran metana membuat getas material sehingga mudah terserang korosi.
Berdasarkan handbook Port and Herro (1991), produksi hydrogen bisa berasal dari reaksi korosi pada pH rendah (asam) dan juga pH tinggi (basa). Pada pH rendah kejadian mirip seperti penjelasan diatas, sedangkan pada pH tinggi, urutan reaksi kimia mirip dengan caustic gouging (penjelasan detail dibawah) dengan urutan kejadiannya adalah: (i) caustic melarutkan/mengelupaskan lapisan magnetite; (ii) air bereaksi dengan iron steel dan membebaskan hydrogen, seperti reaksi berikut:

3 Fe + 4 H2O ---> Fe3O4 + 8 H

;(iii) caustic menyerang langsung ke iron steel dan dihasilkan juga hydrogen; dan (iv) hydrogen hasil dari proses tahap (ii) dan (iii) kemudian menyerang iron carbide membentuk metana, seperti reaksi berikut:

Fe3C + 4H ---> CH4 + 3 Fe

Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:
Hydrogen attack terjadi pada carbon dan low alloy steel pada tekanan dan temperatur tinggi >200 oC dalam jangka panjang sehingga terjadi reaksi penyerapan hydrogen (H2) dan iron carbide (FeC) atau carbon (C) pada larutan hydrocarbon (CxHy). Berikut reaksinya:

2 H2 + Fe3C ---> CH4 + 3 Fe

CH4 yang merupakan hydrocarbon yang tidak larut di iron lattice mengalami proses decarburization (pelepasan unsur carbon) sehingga sifat strength menjadi menurun. Proses decarburization terjadi pada temperature >540 oC (pada surface metal) dan >200 oC (pada internal metal) (Schweitzer, 2010).

  • Caustic Gouging/Caustic Attack/Caustic Embritllement/Ductile Gouging & Hydrogen Damage/Hydrogen Embrittlement
Failure ini lebih disebabkan karena tingkat alkalinitas yang tinggi (pH basa kuat >12) pada boiler water. Failure ini juga berhubungan dengan hydrogen damage/hydrogen embrittlement (penjelasan detai ikut di atas untuk acid corrosion/acid attack). Keberadaan caustic ini bisa disebabkan karena berlebihnya penggunaan soda caustic (NaOH) atau berlebihnya NaOH produk hasil reaksi antara caustic phospate (Na3PO4) dengan air di steam drum, seperti reaksi berikut: [Feriyanto, 2020]

Na3PO4 + H2O ---> Na2HPO4 + NaOH


NaOH di PLTU digunakan untuk genjot kenaikan pH namun jika berlebihan bisa menyebabkan caustic gouging/caustic embrittlement/caustic corrosion sehingga penggunaannya harus dikendalikan tidak boleh >7.5-10%=7,500-10,000 ppm [Frayne, 2002].

Keberadaan NaOH atau penambahan NaOH ini sebenarnya dibutuhkan dalam operasional boiler PLTU sebagai buffering pH ketika terjadi kebocoran di tube condenser (cooling air laut), namun jika berlebihan bisa menyebabkan failure yang fatal. Berikut profil kerusakan tube boiler akibat caustic gouging: [The Babcock & Wilcox Company]
Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi seperti hal diatas, maka digunakan penjagaan standar nilai pH boiler water pada range 9.2-10.5 dengan pengaturan bukaan valve injeksi phospate
Mekanisme korosi ini didahului dengan pengrusakan lapisan magnetite oleh soda caustic kemudian bereaksi dengan iron steel, berikut reaksi kimianya: [Port and Herro, 1991]

4 NaOH + Fe3O4 ---> 2 NaFeO2 + Na2FeO2 + 2 H2O

Ketika magnetite (Fe3O4) sudah terkelupas menyebabkan caustic (NaOH) langsung menyerang iron steel seperti reaksi berikut:

Fe + 2 NaOH ---> Na2FeO2 + H

Caustic corrosion pada permukaan inner tube boiler akibat reaksi diatas seperti ditunjukkan gambar berikut:

Berdasarkan EPRI Cycle Chemistry Guidelines, didapatkan informasi bahwa caustic gouging/caustic embrittlement bisa terjadi ketika penambahan soda caustic (NaOH) >2 ppm pada steam drum boiler.
Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:

  • Short-term Overheating
Failure ini disebabkan oleh pemanasan yang tidak merata dan hanya ada di bagian tertentu saja. Lebih dikenal dengan fish mouth failure (crack mulut ikan) dan pengalaman sendiri di lapangan untuk kasus ini banyak disebabkan oleh deposit hardness water yang sudah level scale (mengeras/mengkristal di inner tube boiler). Seperti penampang gambar berikut: [The Babcock & Wilcox Company; Feriyanto, 2019b]
Ketika laju aliran tersumbat scale maka aliran air menjadi tidak lancar dan panas dari furnace tidak mengalami penukaran panas oleh air sehingga material tube boiler terus-menerus terbakar (sampai suhu antara 850-950 oC) dan karena tube boiler yang tersumbat memiliki tekanan yang tinggi maka mechanical properties akan turun dan menyebabkan leakage (pecah). Berikut profil kerusakan tube boiler akibat short-term overheating: [The Babcock & Wilcox Company; Feriyanto, 2019b]

Dikutip dari handbook Port and Herro (1991), short-term overheating terjadi dalam waktu yang cepat antara 454-730 oC bahkan bisa lebih. Berikut profil kerusakannya:

Kebocoran tube seperti ini sangat dirasakan ketika konsumsi air boiler meningkat pesat dan pasti diputuskan untuk segera dilakukan shutdown PLTU untuk perbaikan.
Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:
  • Stress Corrosion Cracking (SCC)
Crack pada tube boiler yang disebabkan stress material karena tertekan/tertarik sehingga terdapat perenggangan (pori-pori material membesar) dan retak rambut [Feriyanto, 2019a]. Skematik profil kerusakan karena SCC seperti berikut: [The Babcock & Wilcox Company]
Pembesaran 500x menggunakan mikroskop untuk mengetahui profil mikrostruktur sebagai berikut: [Port and Herro, 1991]
Berikut profil cacat akibat stress cracking:
Tipe failure ini cukup berbahaya karena crack yang tersembunyi dan tidak kelihatan sehingga bisa parah ketika sudah terjadi kegagalan seperti patah atau jebol.
Berdasarkan EPRI (2006) sebagai berikut:
  • Creep Failure/Long-Term Overheating
Kerusakan ini lebih disebabkan karena korosi dan abrasi yang merata pada semua tube boiler baik dari inside maupun outside. Selain itu juga bisa disebabkan karena long-term overheating yang merusak mechanical properties material profil kerusakan adalah memanjang/menjalar rata pada permukaan luar tube seperti gambar berikut ini: [The Babcock & Wilcox Company, Port and Herro, 1991]

Bisa dilihat dari profil tersebut bahwa ketika terjadi pemanasan berlebih pada material tube boiler (carbon steel) bisa menyebabkan kegetasan sehingga material menjadi rapuh. Selain itu, dari inside tube akan terlihat magnetite terangkat membentuk gelembung-gelembung dan siap terkelupas.
Mekanisme failure long-term overheating pada temperatur > 427 osering disebut dengan "Chain Graphitization" yaitu leaching Fe dari iron steel (FeC) sehingga hanya menyisakan graphite (C) yang bersifat brittle [Feriyanto, 2019c]. Kejadian failure chain graphitization muncul setelah terjadinya long-term overheating, berikut profil kerusakannya: [Port and Herro, 1991]
Jika dilihat profilnya mirip seperti fish mouth pada short-term overheating dan memang inti dari keduanya adalah material tube getas karena pemanasan kemudian karena tekanan manyebabkan pecah pada sisi yang mengalami deformasi paling besar. Perbedaan mendasar adalah fish mouth pada long-term overheating umumnya terjadi pada area las-lasan [Port and Herro, 1991] sedangkan short-term overheating tidak.
Berikut rangkuman jenis kerak (scale/deposit) dan karakteristiknya di tube boiler: [Port and Herro, 1991]
Berikut rangkuman jenis failure di boiler system: [EPRI Guideline]

Kutip Artikel Ini (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2020). Analisa Profil Kerusakan Tube Boiler PLTU, Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[2] The Babcock & Wilcox Company. Water and Steam Chemistry, Deposits and Corrosion
[5] Feriyanto, Y.E. (2019b). Training Boiler Failure Analysis. Yogyakarta
[6] Port, R.D., and Herro, H.M. (1991). The Nalco Guide to Boiler Failure Analysis. McGraw-Hil, Inc
[8] Feriyanto, Y.E. (2019). Analisa Kebocoran Tube APH, Best Practice Experience in Power Plant. Kajian Enjiniring. Surabaya
[9] EPRI. Guidelines for the Non-destructive Exmaintaion of Boiler
[10] EPRI. Cycle Chemistry Guidelines for Combined Cycle Heat Recovery Steam Generators
[11] Frayne, C. (2002). Boiler water Treatment, Principle and Practice. Vol. 1 and 2. New York-USA
[12] EPRI. (2006). Boiler Condition Asseement Guideline, Fourth Edition
[13] Schweitzer, P.A. (2010). Handbook of Fundamentals of Corrosion Mechanisms, Causes, and Preventative Methods. CRC Press. London & New York

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Fungsi Limestone/Kapur (CaCO3) pada Boiler CFB

Diposting oleh On Tuesday, October 27, 2020

Circulating Fluidized Bed (CFB) boiler adalah salah satu tipe boiler yang umum digunakan di PLTU. Bahan yang digunakan pada boiler ada 3 macam yaitu batubara, pasir dan kapur/limestone. Penjelasan fungsi pasir, bisa dibaca detail di "Macam-Macam Boiler".

Kapur/Limestone (CaCO3 atau CaO) di CFB boiler difungsikan untuk beberapa sebab yaitu (i) sebagai sorbent (penyerap) pada proses desulfurization yaitu pengikat kandungan gas SO2, karena didalam batubara terdapat kandungan  beberapa unsur salah satunya sulfur (S). Baca detail kandungan batubara di "CoA Batubara Uji Laboratorium". Ketika batubara dibakar akan bereaksi sebagai berikut:

S + O2 ---> SO

(ii) sebagai reducing agglomeration yang disebabkan oleh keberadaan K2O dan Na2O [Mettanant et al, 2009], berikut kutipannya:

CFB boiler didesain bisa sirkulasi terus-menerus dengan adanya cyclone separator sehingga campuran gas CO2 dan SO2 akan terus sirkulasi dan sulit dikendalikan gas tersebut sehingga dalam aplikasinya tidak dipasang desulfurization seperti Flue Gas Desulfurization (FGD) yang umumnya terdapat di boiler tipe pulverizer (lebih detail bisa dibaca di "Teknik Pengendalian Gas SO2"). Aplikasi yang diterapkan di CFB boiler adalah mengikutkan langsung kapur ke dalam pembakaran. Menurut jurnal penelitian Diego et al (2018) terdapat 4 faktor yang mempengaruhi sulfation reaction yaitu:

  1. Temperatur
  2. Parsial gas CO
  3. Konsentrasi SO2
  4. Ukuran partikel

Reaksi sulfation (pembentukan sulfate) bisa terjadi secara langsung (sorbent CaCO3) dan tidak langsung (mulai dari CaCO3 menjadi CaO terlebih dahulu), hal ini tergantung oleh 2 faktor yaitu temperatur dan parsial gas CO2

Reaksi direct terjadi ketika parsial gas CO2 lebih besar dari tekanan udara pembakaran sehingga bisa mengalami 2 fase reaksi yaitu melewati proses calcination atau non-coalcination. Proses non-calcination terjadi ketika temperatur sistem dibawah temperatur calcination, sesuai reaksi berikut: (Diego et al., 2018)

CaCO3 + SO2 + ½ O2 <---> CaSO4CO2 (proses desulfurization)

Reaksi indirect terjadi karena temperatur sistem diatas temperatur calcination, reaksi sebagai berikut: (Diego et al., 2018)

CaCO<---> CaO + CO2  (proses calcination)

CaO + SO2 + ½ O2 <---> CaSO4 (proses desulfurization) 

Batu kapur (CaO) ketika terbakar bersama batubara di boiler dan kontak dengan gas CO2 mengalami reaksi calcination membentuk CaCOdengan reaksi endothermik (menyerap panas dari luar). Berikut persamaan kesetimbangan reaksinya:

Persamaan tersebut bisa dilihat bahwa faktor reaksi dipengaruhi oleh temperatur dan parsial gas CO2Calsium  dari CaCO3 sebagai sorbent digunakan untuk mengikat SOpada temperatur tinggi 925-950 oC untuk CFB boiler dan untuk konvensional pembakaran pada 850 oC
Failure yang sering terjadi di boiler CFB adalah slagging (pengerakan keras di dinding sisi luar tube boiler) dan agglomerasi (penggumpalan ash sangat keras sisa pembakaran batubara). Menurut Rajavel et al., (2013) sebagai berikut:
Agglomerasi bisa terjadi karena reaksi hydration kemudian diikuti carbonation. Reaksi hydration sebagai berikut:

CaO + H2O <---> Ca(OH)2

Kemudian diikuti reaksi carbonation sebagai berikut:

Ca(OH)2 + CO2 <---> CaCO3 + H2O

Reaksi keduanya terjadi pada temperatur  450 oC. Disisi lain, agglomerasi juga bisa terjadi ketika batubara banyak mengandung unsur K, Na dan V namun ketika kandungan unsur tersebut rendah (bisa dilihar dari CoA laboratorium) maka bisa dipastikan agglomerasi melewati 2 reaksi diatas.

Pengalaman kami sendiri menguji kerak yang ada pada sisi luar tube boiler menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) didapatkan kandungan dominan adalah CaCOdan CaO padahal boiler tidak menggunakan media kapur. Jika dirunut asal calsium maka didapatkan data bahwa penggunaan batubara CFB boiler adalah tipe low rank, dimana batubara ini masih muda yang letaknya masih beberapa meter dari lapisan permukaan tanah sehingga masih mengandung senyawa calsium. Boiler yang bahan bakar mengandung kapur yang cukup banyak seperti pada low rank coal tersebut bisa digunakan di CFB boiler tanpa penambahan kapur dari luar dan memang terbukti efektif dalam minimalisir gas SO2. Namun juga memiliki dampak yang cukup berarti yaitu mudah sekali agglomerasi sehingga bottom ash harus sering dilakukan tindakan drain agar tidak menjadi penyumbat aliran udara dari bawah.

Kutip Artikel sebagai Referensi (Citation)

Feriyanto, Y.E. (2020). Fungsi Limestone/Kapur (CaCO3) pada Boiler CFB. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Black & Veatch. (1996). Power Plant Engineering, Coal & Limestone Handling. Handbook Springer
[2] Diego, L.F et al. (2018). Characterization of a Limestone in a Batch Fluidized Bed Reactor for Sulfur Retention Under Oxy-Fuel Operating Conditions
[3] Rajavel, M et al. (2013). Influence of Sorbent Characteristics on Fouling and Deposition in CFB Boiler Firing High Sulfur.
[4] Feriyanto, Y.E. (2020). Best Practice Experience in Power Plant, Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Pengukuran Silt Density Index (SDI) Berdasarkan Standard ASTM D4189-82

Diposting oleh On Saturday, October 17, 2020

Silt Density Index (SDI) adalah parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat fouling air umpan yang umumnya akan mengalir melewati membrane Reverse-Osmosis (RO). Dengan kata lain, SDI adalah tingkat ukuran kemungkinan membrane akan buntu oleh suspended solid. Fouling adalah istilah pencemaran/pengendapan/pembuntuan yang umum digunakan di RO system, walaupun sebenarnya istilah ini sama dengan scaling, slagging dan deposit. Untuk detail baca di "Arti Istilah-Istilah Mirip di Teknik". 

4 tipe fouling yaitu: (i) scale, (ii) silt (particular), (iii) biofouling (bacteria), dan (iv) organic fouling (oil & grease). Silt particular bisa bersumber dari organic colloid, iron corrosion product, precipitated iron hydroxide, alga, suspended solid dan dissolved solid.

SDI standar yang diterapkan di PLTU adalah untuk umpan air laut SDI < 5 dan umpan air payau (brackish water) SDI < 4 dengan syarat parameter turbidity air umpan yang masuk SDI test kit < 1 NTU dengan temperatur yang tetap dijaga konstan karena perubahan 1oC bisa menyebabkan perubahan flow sebesar 3%. Berikut gambar SDI test kit:

Gambar 1. SDI Test Kit Skema
Gambar 1. SDI Test Kit Skema


Inti dari SDI test adalah melewatkan air umpan dengan pressure dijaga tetap sesuai persyaratan yaitu 30 ± 1 psi pada kertas filter 0.45 ± 0.02 µm. Daya tembus air dalam menghasilkan per volume per waktu itulah yang akan dihitung.
Berikut prosedur detailnya:
  1. SDI test kit di pasang sesuai Gb 1 dan memastikan material logam tahan terhadap korosi dan bahan kimia seperti bahan dari SS atau plastik dan menghindarkan penggunaan CS
  2. Menyiapkan pressure regulator dengan kapasitas max 50 psi karena dalam aplikasinya digunakan 30 ± 1 psi. Ketika aliran umpan secara normal tidak mencapai 30 psi maka diperlukan booster pump agar tercapai pressure tersebut
  3. Menyiapkan kertas filter, diameter 25/47/90 mm dengan pore size 0.45 ± 0.02 µm. Sebelum filter dipasang pastikan line sudah di-drain untuk membuang sisa kotoran yang mungkin masih tersangkut. Kemudian memasang O-ring pada wadah kertas filter dan mengencangkan
  4. Menyiapkan beaker glass 500 mL (bisa dipakai volume lain jika terdapat syarat yang belum terpenuhi seperti detail dibawah)
  5. Menyiapkan stopwatch
  6. Memutar ball valve dan mengisi beaker glass 500 mL sampai terisi penuh dan mencatatnya. Waktu ini digunakan sebagai blanko (pembanding kenormalan ketika filter sudah terpasang). Menutup ball valve
  7. Memastikan semua sudah terpasang tanpa ada kebocoran sesuai Gb 1
  8. Memutar ball valve dan mengisi 500 mL beaker glass serta mencatat waktu yang dibutuhkan untuk mengisi penuh sebagai (t1 = initial time). Nilai t1 seharusnya adalah ±10% dari waktu ketika aliran air tidak diberi filter (waktu blanko). Jika t1 < 90% dari waktu ketika aliran air tidak diberi filter itu bisa dipastikan filter telah jebol dan jika t1 > 110% maka beaker glass yang disarankan adalah 250 mL atau 100 mL (karena terlalu jauh perbedaan waktunya)
  9. Ketika menggunakan volume beaker glass yang berbeda maka semuanya harus distandarkan terlebih dahulu agar sama mulai dari standard awal (blanko)
  10. Mengukur waktu lanjutan setelah initial time (ti) umumnya dimulai dari 15 menit. Ketika sudah 15 menit, melakukan pengisian beaker glass 500 mL (misalnya) dan mencatat waktu sebagai final time (tf)
  11. Waktu bisa diubah menjadi 5 atau 10 menit ketika persyaratan %P30 >75% namun jika <75% maka waktu 15 menit bisa diterima
  12. Melakukan perhitungan %P30 dan SDIt seperti formula dibawah ini:
Setelah didapatkan data SDI, maka bisa disimpulkan sebagai berikut:
Sebagai catatan, ketika temperatur air umpan berbeda, kertas filter berbeda pabrikan maka nilai SDI tidak bisa dibandingkan head to head dan nilai SDI yang didapatkan ini hanya sebagai capture di waktu tersebut saja.

Kutip Artikel sebagai Referensi (Citation)
Feriyanto, Y.E. (2020). Pengukuran Silt Density Index (SDI), Best Practice Experience in Power Plant. www.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, YE. (2020). Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK