Trending Topik

Kontaminan Silica dan Penanganannya

Diposting oleh On Monday, December 17, 2018

Silica terdapat di alam dalam bentuk silica diokside (SiO2) dan memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
  • Relatif tidak larut dalam asam kecuali HF, reaksi : SiO+ 4 HF ---> SiF4 + 2 H2O
  • Bereaksi dengan basa terutama basa kuat, reaksi : SiO2 + 2 NaOH ---> Na2SiO3 + H2O
Tekanan Boiler vs Konsentrasi Silica vs pH, sumber: Sohail and Mustafa, 2007
Standard Silica vs pH di Siklus Uap-Air PLTU
Berdasarkan grafik dan tabel standard tersebut, bisa diketahui bahwa untuk rata-rata tekanan turbin sedang yaitu 20-75 kgf/cm2 pada pH 9.1 nilai konsentrasi silica sebesar 1.2 ppm = 1200 ppb sedangkan pada pH 9.6 sebesar 1.8 ppm = 1800 ppb.
Makin tinggi tekanan boiler maka silica akan mudah "carry over" dan semakin tinggi silica di boiler water maka makin tinggi kesempatan ter-carry over bersama steam ke sudu turbine.
PLTU memanfaatkan 2 sumber air yaitu air laut dan air sungai. Pada kedua sumber air tersebut terdapat perbedaan cukup signifikan yaitu air laut banyak mengandung unsur hardness (Ca, Mg) dan salt (Na, Cl) sedangkan air sungai banyak mengandung unsur silica (SiO2).
Kandungan silica di PLTU dijaga pada range standar misalnya untuk pasir bed sand boiler CFB tidak boleh berlebihan karena jika terlalu banyak kandungan silica akan membuat pasir keras dan bisa menyebabkan abrasi pada material tube dan jika di feed water dijaga < 20 ppb dengan cara diikat dengan resin mixed bed.
Berdasarkan Handbook of Water Treatment, Kurita (1999) berikut hubungan kelarutan silica pada superheated steam:

Silica (SiO2akan cenderung terlarut dalam hot condition dan terendapapkan (deposit) pada keadaan cold condition <40 oC sedangkan magnesium silicate (MgSiO3) terendapkan pada >50 oC [Kurita, 1999]. 

Terdapat 3 jenis endapan silica dan karakteristiknya:
  1. Sodium disilicate (Na2Si2O5)/[Na6(Si2O7)2], terendapkan pada temperatur 260-371 oC
  2. Alpha-quartz (SiO2)terendapkan pada temperatur 149-260 oC
  3. Amorphous silicaterendapkan pada temperatur 38-149 oC
Beberapa penyebab kadar Silica tinggi adalah:
  • Kualitas regenerasi resin mixed bed rendah ---> life time
  • Temperatur caustic regenerant terlalu rendah ---> OHkurang efektif membilas resin anion (+) sehingga kemampuan resin anion (+) mengikat SiO2kurang efektif
  • Konsentrasi regenerant terlalu tinggi/rendah
  • Resin mixed bed terkontaminasi ---> kemampuan pengikatan ion berkurang
  • Jumlah resin mixed bed kurang ---> kemampuan pengikatan ion berkurang/cepat jenuh
  • Flowrate terlalu tinggi ketika backwash proses regenerasi resin--> waktu untuk bereaksi/berikatan antara resin & ion kurang
  • Silica air umpan bertambah
  • Valve air umpan bocor sehingga mencemari produk
  • Mixing resin kurang sempurna
  • Jika sistem otomatis maka kemungkinan silica analyzer penunjukannya kurang akurat atau jika sistem manual kemungkinan reagent untuk analisa kimia kotor
  • Phospate untuk injeksi mengandung silica yang cukup tinggi
BACA JUGA: Memilih Jenis Oxygen Scavenger yang Tepat

Berdasarkan Handbook Steam Power Operation (Woodruff et al, 2000) sebafai berikut:
Penanganan kontaminasi silica yang berlebih adalah:
  • Melakukan regenerasi resin secara periodik
  • Temperatur caustic dijaga pada range efektifnya sehingga pembilasan resin anion (+) efektif
  • Konsentrasi regenerant (HCl & NaOH) sesuatu standar yang sudah ditetapkan
  • Volume resin di mixed bed dijaga pada level standarnya
  • Flowrate ketika regenerasi diusahakan tidak terlalu cepat
  • Memeriksa dan memastikan tidak terdapat kebocoran valve
  • Proses mixing diusahakan dengan flow udara yang cukup agar merata (homogen) di tank
  • Memastikan silica analyzer ter-kalibrasi secara periodik
  • Mengganti reagent untuk analisa silica
  • Mengganti phospate dengan kandungan silica rendah
  • Membuka valve blowdown steam drum (CBD) tinggi
  • Menutup desuperheater spray (DSH)
Bahaya kontaminasi silica tinggi di boiler water PLTU ??
Silica dalam keadaan panas akan terlarut (dissolved solid) dengan boiler water dan ketika dingin akan membentuk kerak di sudu turbine. Sudu yang terus-menerus tertempeli sedimen ini akan menyebabkan gerakannya tidak seimbang (unbalance) sehingga menyebabkan kenaikan vibrasi dan shaft bisa bengkok/patah. Kelarutan silica meningkat seiiring kenaikan temparatur sehingga di PLTU selama beroperasi jarang sekali mengalami kontaminasi silica berlebih dan menurut standar kualitas air dengan menjaga silica <0.02 ppm = 20 ppb maka pengendapan silica di sudu turbine dapat dicegah. Berdasarkan EPRI Cycle Chemistry Guidelines, pH boiler yang cukup tinggi mengurangi silica carry-over (dalam fase vaporous carry-over).

Perbedaan Silicone, Silicone Dioxide/Silica dan Silicate ??
  • Silicone dengan lambang "Si" adalah unsur nomor 2 terbanyak dibumi sesudah oksigen "O"
  • Silicone Dioxide dengan lambang "SiO2" dikenal dengan sebutan "silica" adalah silicone yang ditemukan di bumi karena silicone ditemukan tidak dalam unsur bebas melainkan dalam kondisi berikatan dengan unsur lain
  • Silicate adalah silicone yang sudah bereaksi kompleks membentuk senyawa dan memiliki fase yang berbeda-beda
Sebenarnya apakah silica itu ??
Secara sederhana, silica dikenal dengan istilah "quartz" atau pasir kuarsa. Silica adalah material yang keras, berupa padatan terlarut (dissolved solid) sehingga kandungan berlebih di boiler water bisa menyebabkan fouling, kerusakan membrane RO, abrasi di boiler tube, deposit di sudu turbine dan men-deformasi bentuk sudu turbine.

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Kontaminan Silica dan PenanganannyaBest Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] EPRI. Cycle Chemistry Guidelines for Combined Cycle Heat Recovery Steam Generators
[2] Daelami. (2009). Best Practice Pengoperasian Air di PLTU-PLTGU
[3] Marto, S. (2003). Materi Diklat Pengelolaan Air
[4] Sohail, M and Mustafa, I. (2007). Concentration control of silica in water chemical regime for natural circulation high pressure drum boiler unit of thermal power station. Department of Applied Chemistry and Chemical Technology University of Dhaka
[5] Feriyanto, Y.E. (2018). Analisa Kerak Tube Boiler & Condenser. Mengenal Lebih Dalam Teknik Kimia & Manajemen Teknologi, Surabaya
[6] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook
[7] Kurita. (1999). Handbook of Water Treatment, Second Edition. Japan
[8] Frayne, C. (2002). Boiler Water Treatment, Principle and Practice. Vol. 1 and 2. New York-U

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Kontaminan Gas Terlarut di Boiler Water

Diposting oleh On Wednesday, December 12, 2018

Gas-gas terlarut yang ikut dalam air boiler meliputi oksigen, karbon dioksida, chlorin dll. Dan gas tersebut di air boiler dikhawatirkan terjadi reaksi oksidasi-reduksi sehingga bisa menyebabkan reaksi kimia berbahaya untuk material tube boiler.
Sumber Gambar: www,pxhere.com
Gas apa yang umum dikendalikan di air boiler ??
Dissolved Oxygen (DO) adalah gas yang umum dikendalikan di air boiler dan tipe reducing menggunakan cara mechanical dan chemical. Mechanical dengan sistem deaerator sedangkan chemical menggunakan hydrazine atau oxygen scavenger lainnya. Selain itu, gas terlarut berupa karbon dioksida juga dikendalikan yaitu dengan sistem mechanical deaerator namun pengukuran parameter tidak dilakukan. Gas-gas tersebut bisa diminimalisir karena sisten deaerator menggunakan steam sebagai pemicu kelarutan gas sehingga akan terpisah fasenya antara liquid dan gas. Lebih detail cara kerjanya bisa dibaca di: Prinsip Kerja Deaerator pada Gas Terlarut

Mengapa gas-gas tersebut berbahaya di air boiler ??
Karena gas oksigen yang tidak sesuai standar (melebihi ambang batas atau bahkan sangat kecil <1 ppb) dengan pemakaian reducing agent (hydrazine dll) berlebih menyebabkan very strong reducing condition sehingga menyebabkan reaksi oksidasi di air boiler berpotensi bereaksi kuat dengan material tube membentuk lapisan hematite yaitu produk korosi, sedangkan gas karbon dioksida bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang bersifat asam, sedangkan pH yang rendah (5-5.5) di air boiler dihindari agar material tube tidak terkikis [Frayne, 2002]. 

CO2 + H2O ---> H2CO3

Parameter pengendali yang tepat digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kadar chemical tersebut adalah oxidation-reduction potential (ORP), dimana kadar tersebut dikendalikan untuk melindungi mixed metallurgy terutama korosif pada copper alloy.
Berapakah standar DO di air boiler ??
Untuk condensate water < 20 ppb sedangkan boiler water < 7 ppb.

Darimana asal-usul gas terlarut di air boiler ??
Gas-gas terlarut yang terikut sampai di air boiler adalah gas yang terbawa oleh air umpan sejak di proses WTP walaupun di WTP sendiri sudah terdapat proses gas reducing seperti degassifier dan activated carbon filter. Namun kemampuan alat tersebut juga ada batasan sehingga tidak sepenuhnya te-reducing. Selain hal itu, proses reduksi-oksidasi atau disosiasi di air boiler juga menghasilkan gas terlarut.
Berdasarkan Handbook Steam Power Operation (Woodruf et al, 2000) sebagai berikut:
Teknik apa yang tepat untuk reducing gas terlarut ??
Kombinasi chemical dan mechanical. Karena pada fase tertentu, air boiler akan mudah melepas gas terlarut pada temperatur dan tekanan tertentu sesuai karakteristiknya. Dan jika tidak terlarut maka harus dipaksa dengan proses ikatan menggunakan kimia.

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Kontaminan Gas Terlarut di Boiler WaterBest Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[1] Feriyanto, Y.E. (2016). Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[2] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook
[3] Frayne, C. (2002). Boiler Water Treatment, Principle and Practice. Vol. 1 and 2. New York-USA

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Hubungan Chlorine dengan Chloride

Diposting oleh On Monday, December 10, 2018

Apakah anda sering mendengar istilah "oksidasi"
Misalnya di PLTU, tube telah ter-oksidasi sehingga menimbulkan karat, membran RO ter-oksidasi zat chlorine sehingga mudah ter-degradasi, telah terjadi oksidasi gas hidrogen

Apakah oksidasi yang anda maksudkan sama dengan prinsip kimia ??
Contoh 1. Tube ter-oksidasi dan menimbulkan karat
Reaksi kimia : 2 Fe2+ (tube) + 3/2 O2 (oksigen)---> Fe2O3 (hematite)
Reaksi reduksi-oksidasi (Redoks) dengan bilangan oksidasi (Biloks) sebagai berikut :
Fe nilai Biloks dari +2 menjadi +3 sehingga dengan KENAIKAN tersebutlah yang dinamakan OKSIDASI
Contoh 2. Polimer Grade 1 + Cl2---> Polimer Grade 2
Contoh 3. Oksidasi gas H2
H2 ---> 2H+ + 2e
Artinya : Hidrogen dari Biloks bernilai 0 menjadi +1 sehingga juga mengalami kenaikan nilai (oksidasi)

KESIMPULAN:
Oksidasi tidak hanya disebabkan karena terpapar gas O2 melainkan juga chemical lain atau bahkan tanpa chemical seperti treaksi dekomposisi (penguraian). Penyebutan oksidasi hanya jika Biloks mengalami kenaikan nilai sesudah reaksi.
Sumber Gambar : Slideplayer.net
Hal yang serupa juga sama diterapakan di konsep "reduksi" yang merupakan kebalikan "oksidasi" yaitu unsur mengalami PENURUNAN nilai Biloks.
Contoh 1. Tube berbahan tembaga di condenser mengalami reduksi
Reaksi kimia : Cu2+ + 2e ---> Cu
Artinya : Biloks Cu dari +2 menjadi 0 sehingga mengalami penurunan Biloks (reduksi)
Contoh 2. Gas chlorine mengalami reduksi sehingga ion chloride meningkat
Cl2 + 2e ---> 2 Cl-
Artinya : Biloks Cl dari 0 menjadi -1 mengalami reduksi
Berdasarkan hal diatas adakah hubungan antara chlorine (Cl2) dan chloride (Cl-)??
Jawabannya ada, dimana chlorine adalah persenyawaan dalam fase gas sedangkan chloride adalah ion. Keduanya sama-sama berlambang unsur Cl namun berbeda karakteristik, misalnya chlorine untuk disinfektan sedangkan ion chloride untuk kebutuhan mineral dalam tubuh.

Darimanakah ion chloride berasal ??
Chloride berasal dari berbagai sumber misalnya dalam air laut/garam (NaCl), hasil reduksi gas chlorine, hasil dekomposisi garam-garam seperti KCl, MgCl2

Seperti contoh di PLTU, darimanakah ion chloride berasal ??
Di PLTU, untuk condensate water dibatasi chloride (Cl-) <100 ppb dan jika diatas nilai itu maka bisa dipastikan boiler water tercemar kontaminan. Beberapa kemungkinan asalnya adalah air laut (NaCl), residu HCl ketika regenerasi mixed bed kurang bersih, reduksi gas chlorine di injeksi chlorine yang lolos sampai ke boiler water dan degradasi material perpipaan misalnya PVC (polimer polyvinil chloride).

Bagaimana penanganan chlorine yang berlebih di PLTU ??
Injeksi chlorine dikendalikan dengan cara mengukur residual chlorine di outfall 0.1-0.5 ppm dan standar umum injeksi yang dipakai di intake water adalah 1-2 ppm. Air yang sudah tercemar oleh gas chlorine bersifat racun untuk biota laut sehingga perkembangbiakan terhambat. Namun berlebihnya chlorine di air umpan bisa menyebabkan degradasi membran RO dan harus dikurangi dengan cara proses ikatan kimia seperti activated carbon filter dan sodium metabisulphite/sodium bisulphite.

Berdasarkan Handbook Steam Power Operation (Woodruf et al, 2000) sebagai berikut:
Bagaimana penanganan ion chloride berlebih di PLTU ??
Di PLTU, umumnya pengukuran ion chloride terpenting di outlet condensate water karena tube condenser berpendingin air laut, sehingga dikhawatirkan terjadi kebocoran tube. Langkah yang diambil adalah menjalankan condenser 1/2 bagian untuk pengecekan secara bergantian untuk mengetahui sumber penyebab. Langkah berikutnya adalah melakukan flushing hotwell dan deaerator agar pencemaran chloride tidak sampai menjalar ke sistem boiler water diikuti oleh injeksi phospate untuk menjaga pH agar tidak drop serta pembukaan CBD yang sedikit dibuka lebar untuk membuang kontaminan/lumpur yang terbentuk.

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Hubungan Chlorine dengan ChlorideBest Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi: 
[1] Feriyanto, Y.E. (2016). Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya 
[3] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Anti Biofouling Agent Oxidizing dan Non-Oxidizing

Diposting oleh On Sunday, September 23, 2018

Dikutip dari handbook US Army Corp of Engineer dengan judul “zebra mussel chemical control guide” hal 2 sebagai berikut:
Berdasarkan literatur diatas bisa diketahu bahwa kerang (mussel) adalah biota laut yang umum hidup di perairan. Kerang masuk dalam kelas Mollusca (hewan lunak) ordo bivalvia dan tidak bisa tumbuh dengan baik di lingkungan kadar garam (saline) tinggi tetapi mampu beradaptasi dengan baik pada temperatur air 12 to 32 oC, pH 6,5 to 8 dan kekeruhan yang cukup tinggi.
Anti biofouling agent adalah agent/substansi yang bisa mencegah kegagalan/kerusakan yang disebabkan oleh biota hidup. Secara umum kasus PLTU dihubungkan dengan adanya pertumbuhan biota air disepanjang perpipaan sehingga membutuhkan special treatment untuk menghambat pertumbuhan bahkan mematikan biota tersebut. Sistem yang digunakan bisa berupa mechanical,chemical atau biological namun fokus pembahasan ini terbatas pada chemical system yang sudah diterapkan PLTU.
Antibiofouling agent dibedakan menjadi 2 berdasarkan cara kerjanya sebagai berikut:
1.1 OXIDIZING AGENT
Oxidizing agent adalah substansi yang digunakan untuk anti biofouling yang memanfaatkan proses oksidasi  dalam proses kimianya. Dikutip dari handbook US Army Corp of Engineer dengan judul “zebra mussel chemical control guide” hal 4 sebagai berikut:
Dikutip dari handbook US Army Corp of Engineer dengan judul “zebra mussel chemical control guide” hal 17-26 sebagai berikut:
Berdasarkan hal tersebut bisa diketahui bahwa chemical yang bisa mengalami proses oksidasi dan umum digunakan untuk anti biofouling adalah:
  • Chlorine (dalam bentuk gas dengan tabung khusus, dalam bentuk cair adalah NaOCl dan bentuk padat adalah Ca(OCl)
  • Chlor dioxide (ClO2)

Berdasarkan literatur handbook of water treatment Kurita (1999) disebutkan bahwa senyawa chlorine ketika diinjeksikan dan bersentuhan dengan air maka akan membentuk HClO dan ClO- yang bersifat melemahkan perkembangbiakan biota air.

  • Chloramine (NH2Cl)
  • Ozon (O3)
  • Hydrogen piroxide (H2O2)
  • Bromine (Br2)
Berdasarkan literatur handbook of water treatment Kurita (1999) disebutkan bahwa NaBr akan membebaskan HBrO ketika bereaksi dengan chlorine cair dan bersifat sangat efektif dalam melemahkan perkembangbiakan biota air.
  • Potassium hypochlorite (KOCl)
Mengacu terhadap hal tersebut dan banyak unit menggunakan injeksi chlorine dan memang menurut jurnal tersebut chlorine bisa mematikan dan menghambat penempelan kerang di perpipaan dan kerang dewasa akan mati pada dosis 1 to 2 ppm selama 2 minggu. Chlorine yang digunakan untuk injeksi di PLTU pada umumnya yang berfungsi sebagai anti biofouling adalah oksidasi Cl. Fase senyawa Cl adalah gas namun karena handling sulit karena harus ditempatkan dalam tabung maka dicarikan alternatif yaitu bentuk cair (NaOCl) dan padatan Ca(OCl)2.
PLTU umumnya menggunakan fase cair untuk mendapatkan Cl karena handling yang mudah dan tidak mudah menguap sehingga aman untuk operator dan lingkungan secara langsung. NaOCl didapatkan dari proses elektrolisis dengan reaksi sebagai berikut :
Umpan adalah air laut yaitu NaCl + H2O
Disosiasi reaksi : 2 NaCl ----> 2 Na+ + 2 Cl-
Reaksi di chlropack (electrochlorination plant):
  • Katoda (-) : 2 H2O + 2e ---> H2 + 2 OH- (karena Na dalam fase liquid tidak tereduksi dan airnya saja yang mengalami reaksi)
  • Anoda (+) : 2 Cl- ---> Cl2 + 2e
Sehingga reaksi akhir : 2 NaCl + 2 H2O ---> 2 NaOCl + 2 H2
Produk NaOCl inilah yang digunakan sebagai istilah yang dinamakan injeksi chlorin dan saat diinjeksikan NaOCl maka terjadi disosiasi sesuai reaksi: [Sprecher and Getsinger, 2000]
NaOCl (injeksi) + H2O (air pendingin) ---> HOCl + NaOH
HOCl ---> OCl- + H+
OCl- + H2O + 2e ---> Cl- + 2 OH-
Senyawa Cl- tersebut yang bersifat oksidatif sehingga bisa menghambat pertumbuhan biota laut
Berdasarkan jurnal tersebut, injeksi chlorin yang mempengaruhi kerang karena efek produk chlorine dan free chlorine sehingga untuk mengetahui keefektifan antibiofouling yang berbasis chlorination maka 2 parameter tersebut yang harus terukur. Pernyataan ini juga diperkuat oleh jurnal Venketesan dan Murthy (2009) berikut kutipannya :
Dosis pemakaian chlorine adalah 0,5 to 1 ppm (expressed as Cl2) sehingga apapun jenis zat kimia injeksi chlorine maka kadar tersebut yang menjadikan tingkat keefektifan anti biofouling agent.
Berdasarkan jurnal tersebut, hal-hal yang mempengaruhi tingkat keefektifan injeksi chlorine adalah:
  • Konsentrasi chlorine
  • Lamanya waktu kontak
  • Kualitas air
  • Temperatur air
Dosis tinggi penggunaan chlorine membutuhkan operasi pada temperatur rendah <10 oC dan kontak waktu yang lama yang lebih diutamakan. Berdasarkan jurnal Venkatesan dan Murthy (2009) temperatur berefek pada keefektifan anti biofouling agent, berikut kutipannya :
Berdasarkan jurnal tersebut, 100% kematian kerang di cooling water system terjadi pada peningkatan temperatur dari 31,6 to 37,2 oC dan kontak selama 6 jam. Penggunaan injeksi chlorine dijaga residualnya pada 0,2 to 1 ppm dimana dosis tersebut efektif mematikan kerang pada 15 to 135 hari.
Berdasarkan jurnal tersebut didapatkan informasi untuk penanganan teknis NaOCl adalah:
  • Menjauhkan tangki/jerigen NaOCl jauh dari panas atau cahaya matahari langsung
  • Wadah NaOCl yang disarankan adalah polyethylene (PE) dilengkapi venting untuk mengeluarkan oksigen
  • Tidak boleh menggunakan wadah yang berbahan stainless steel (SS)
  • Jika membutuhkan pelarutan harus menggunakan air demin
  • Pompa yang disarankan adalah tipe diafragma
  • Fitting disarankan berbahan dari teflon
  • Pipa disarankan berbahan dari fiberglass
Berdasarkan jurnal diatas untuk menonaktifkan sisa chlorin agar tidak merusak membran RO digunakan beberapa hal sebagai berikut:
  • Activated carbon filter atau MMF
  • Sodium sulphite (Na2S2O5)
  • Sulphur dioxide (SO2)
  • Sodium bisulphite (NaHSO3)
  • Sodium sulphite (Na2SO3)
1.1 NON-OXIDIZING AGENT
Non-oxidizing agent adalah substansi yang digunakan untuk anti biofouling yang memanfaatkan sistem selain dengan proses oksidasi. Dikutip dari handbook US Army Corp of Engineer dengan judul “zebra mussel chemical control guide” hal 5-6 sebagai berikut:
Dikutip dari jurnal “Quaternary Ammonium Biocides : Efficacy in Application” sebagai berikut:
Berdasarkan jurnal tersebut diketahui bahwa quaternary ammonium compound (QAC) adalah agent non-oxidizing yang efektif dalam mengontrol fouling yang disebabkan Mollusca (contohnya kerang) untuk sistem peralatan pendingin satu kali lewatan (contohnya air pendingin condenser PLTU).
Panjang alkyl yang paling bagus dalam menghambat pertumbuhan mikroba adalah C12 to C16. Konsentrasi rendah (0,5 to 5 ppm) cocok untuk menghambat pertumbuhan alga, bakteri dan jamur sedangkan konsentrasi tinggi (10 to 50 ppm) bisa digunakan untuk menghambat jenis mikroba khusus.
Dikutip dari jurnal “QAC as antimicrobial agents protecting historical wood and brick” sebagai berikut:
Berdasarkan jurnal tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
  • Dodecyl dimethyl ammonium chloride (DDAC) dengan rumus kimia C22H48ClN berisi campuran asam karboksilat, alcohol dan fungicide sehingga umum disebut quartenary ammonium compound (QAC). Percobaan terhadap kayu dilakukan dengan perlakukan konsentrasi 10, 20 dan 30 %v/v
  • Keefektifan QAC ada di konsentrasi 30 %v/v dalam waktu 7 hari sedangkan sampai 28 hari sudah tidak ada efeknya
  • QAC mengandung senyawa alcohol yang berfungsi merusak membrane, denaturasi protein biota laut sehingga sel pecah (lisis). Konsentrasi alcohol yang rendah membuat kenyamanan dan meningkatkan aktifitas biocide lain sehingga kadar alcohol harus terkontrol
Berdasarkan Standard EPRI (2001) sebagai berikut:



Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Anti Biofouling Agent Oxidizing dan Non-Oxidizing, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Analisa Enjiniring Unit Pembangkitan dalam Evaluasi BiocideSurabaya
[2] Gerba, C. (2015). Qauternary Ammonium Biocodes : Efficacy in Application. Journal Applied and Environmental Microbiology, Vol. 81, pp. 2
[3] Rajkowska, K., Kozirog, A., Otlewska, A., Piotrowska, M., Krawczyk, N., Brycki, B., Styczynska, A dan Gutarowska, B. (2016). Quaternary Ammonium Biocides as Antimicrobial Agents Protecting Historical Wood and Brick, Vol. 63, pp. 153-159
[4] Specher, S., dan Getsinger, K. (2000). Zebra Mussel Chemical Control Guide. US Army Corps of Engineers. Engineer Research and Development Center
[5] Venkatesan, R dan Murthy, P. (2009). Macrofouling Control in Power Plant. www.reserachgate.net
[6] Kurita. (1999). Handbook of Water Treatment. Second Edition. Japan
[7] EPRI. (2001). Condenser Appication and Maintenance Guide

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Memilih Jenis Oxygen Scavenger yang Tepat

Diposting oleh On Thursday, August 23, 2018

Oxygen scavenger adalah agent/chemical yang digunakan untuk mengikat oksigen terlarut di fluida. Di PLTU, oxygen scavenger digunakan pada tahap persiapan boiler water. Pemilihan agent ini harus benar-benar tepat agar dampak bahaya terhindarkan selama operasional PLTU. Beberapa potensi bahaya/dampak di oxygen scavenger adalah:
  • Karsinogenik
  • Sesak nafas
  • Gangguan genetik
  • Korosif
  • Mendegradasi tube boiler
  • Menambah kandungan TDS dan TSS di siklus uap-air
Sumber Gambar : www.agiwater.com
Jenis oxygen scavanger berdasarkan kelarutannya ada 2 yaitu:
  1. Non-Volatile (Inorganic) ---> menambah TDS di boiler water
  2. Volatile (Organic) ---> tidak menambah TDS di boiler water

Jenis oxygen scavanger berdasarkan fase-nya ada 2 yaitu:
  1. Solid (padat) ---> sodium sulhite, sodium metabisulphite
  2. Non-Solid ---> hydrazine, sodium bisulphite, diethyl hydroxylamine (DEHA), carbohydrazide, ascorbic acid, hydroquinone dan ISO-ascorbic acid
1. Sodium sulphite (Na2SO3)
Reaksi : 2 Na2SO3 + O2 ---> 2 Na2SO4
Kelebihan:
  • Sangat cepat reaksi dengan oksigen
  • Murah
Kekurangan:
  • Menambah TDS di siklus air-uap
  • Menghasilkan sodium sulphate pH rendah yang korosif, berbahaya bagi tube boiler bertekanan
2. Hydrazine (N2H4)
Reaksi : N2H4 + O2 ---> N2 + 2 H2O
Kelebihan:
  • Tidak menambah TDS
Kekurangan:
  • Reaktifitas lemah pada suhu rendah
  • Cukup mahal
  • Potensi karsinogenik
  • Membutuhkan spesial penanganan
  • Ter-deposisi menjadi ammonia yang dapat mengkorosi material copper (Cu)
3. Hydroquinone (C6H6O2
Reaksi: C6H6O2 + ½ O2 ---> H2O + C6H4O2
Kelebihan:
  • Tidak menambah TDS
  • Bereaksi lebih cepat daripada hydrazine pada suhu rendah
  • Tidak membutuhkan penanganan khusus
  • Tidak karsinogenik
Kekurangan:
  • Lebih mahal daripada hydrazine
  • Dapat meingkatkan kation conductivity
4. Ascorbic Acid/Asam Askorbat (C6H8O6
Reaksi: C6H8O6 + ½ O2 ---> C6H6O6 + H2O
Kelebihan:
  • Bekerja baik di range pH 7-11
  • Tidak menambah TDS
Kekurangan:
  • Harga mahal
  • Non-Volatile
5. Diethyl Hydoxylamine (DEHA)
Reaksi: 2(C2H5)2NOH + O2 ---> 2(C2H5)CH3 CHN=O + 2 H2O
Kelebihan:
  • Tidak menambah TSS di boiler
  • Mudah dalam penggunaan dosis dan pengontrolan
Kekurangan:
  • Harga mahal
  • Non-Volatile

6. Acetaldehyde (CH3CHO)
Reaksi: 2 CH3CHO + O2 ---> 2 CH3COOH

7. Carbohydrazide [(N2H3)2CO]
Reaksi tidak langsung:
(N2H3)2CO + H2O ---> 2 N2H4 + CO2 (operasi pada T > 135 oC)
2 N2H4 + 2 O2 ---> 4 H2O + 2 N2
Reaksi langsung:
(N2H3)2CO + H2O ---> 2 NH3 + N2 + H2 + CO2 (operasi pada T > 200 oC)
Kelebihan:
  • Tidak menambah TSS
  • Tidak terdekomposisi ke asam organik
  • Membentuk lapisan pasifasi di tube
  • Tidak karsinogenik
Kekurangan:
  • Kurang reaktif terhadap oksigen
Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Memilih Jenis Oxygen Scavenger yang Tepat, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi:
[1] Feriyanto, Y.E. (2018). Best Practice Experience in Power Plant. Surabaya
[2] Rahman et al. Carbohydrazide vs Hydrazine : a Comparative Study. Saline Water Desalination Research Institute
[3] Woodruff, E.,Lammers, H., dan Lammers, T. (2000). Steam Plant Operation, Eighth Edition Handbook

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK

Analisa Sistem Koagulasi-Flokulasi-Sedimentasi di PLTU dengan Jar Test (2 of 2)

Diposting oleh On Wednesday, June 27, 2018

5.3      PEMILIHAN pH OPTIMUM REAKSI
5.31 MENGGUNAKAN ADJUST pH HCl dan Na2CO3 (Soda Ash)
KONDISI OPERASI KOAGULAN
  • Dosis Injeksi                             : 1 tetes = 0.04 mL
  • RPM Agitator                            : 120 RPM
  • Waktu Reaksi                           : < 10 detik 
  • Lokasi Sampling                       : Intake Kanal Luar 
  • Asam Adjustment                     : HCl 
  • Basa Adjustment                      : Na2CO3 (Soda Ash) 
Tabel 8. Data Air Laut beserta Treatment pH

BEAKER NO - 1
BEAKER NO - 2
BEAKER NO - 3
BEAKER NO - 4
pH Air Laut
8.14
8.15
8.16
8.16
Turbidity Air Laut (NTU)
6.69
6.52
6.86
7.32
pH Air Laut After Adjustment
6.31
7.97
8.93
9.77
Penurunan Turbidity dari Nilai Awal
5.68 %
-22.24 %
-30.17 %
-33.47 %
Tabel 9 . Percobaan Untuk Mengetahui pH Optimum Reaksi (Koagulan)
NO
pH KOAGULAN + AIR LAUT
TURBIDITY AFTER KOAGULASI (NTU)
PENURUNAN TURBIDITY DARI NILAI AWAL
HASIL VISUAL
1
6.29
4.63
26.62 %
Masih terlihat jernih
2
7.75
5.29
33.63 %
Flok halus mulai terbentuk
3
8.77
6.47
27.55 %
Flok terbentuk banyak namun halus
4
9.68
10.30
-5.42 %
Flok kasar dengan cepat terbentuk

Gambar 22. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 9
Dari data percobaan diatas bisa diketahui bahwa:
  1. Penambahan asam adjustment (HCl) membuat penurunan turbidity namun penambahan basa adjustment (Na2CO3) membuat penambahan turbidity  dan membentuk sedimen putih sesuai reaksi berikut :
    NaCO + Ca(HCO) ---> CaCO + 2NaHCO
    CaCO3 itulah lumpur hasil ikatan carbonat
  2. pH reaksi optimum untuk koagulan secara berurutan adalah 7.75, 8.77 dan 6.29 sehingga bisa disebutkan pH optimum adalah 6.3 - 8.8 dan ini sesuai teori bahwa alum based bekerja efektif pada range 6 - 9
  3. Penggunaan soda ash (Na2CO3) tidak disarankan karena walaupun sangat efektif dan cepat membentuk flok, efeknya adalah menambah TSS yang besar sehingga nilai turbidity pun juga akan bertambah 
KONDISI OPERASI FLOKULAN
  • Jenis Flokulan             : Polymer
  • Putaran Agitator          : 40 RPM (standar <40 RPM)
  • Dosis Flokulan            : 1 tetes pipet injeksi (1 tetes = 0.08 mL) 
Tabel 10 . Percobaan Untuk Mengetahui pH Optimum Reaksi (Flokulan)
NO
RESIDENCE TIME (MENIT)
pH AFTER FLOKULASI
TURBIDITY AFTER FLOKULASI (NTU)
PENURUNAN TURBIDITY DARI NILAI AWAL
HASIL VISUAL
1
20
6.40
3.74
19.22 %
Flok mulai mengumpul menjadi satu
60
6.71
1.01
78.19 %
Flok mengendap warna hitam namun jumlahnya dibawah beaker no. 3 dan diatas beaker no. 2
2
20
7.30
4.59
13.23 %
Terlihat jernih dan flok halus hampir tidak terlihat
60
7.86
3.16
40.26 %
Endapan flok sedikit
3
20
8.84
7.94
-22.72 %
Sudah trebentuk flok lumayan besar dan paling banyak diantara semuanya
60
8.77
7.10
-9.74 %
Flok mengumpul dibawah dan besar
4
20
9.69
1.81
82.43 %
Terbentuk flok sangat cepat, di 2 menit pertama lansgsung terlihat
60
9.55
8.35
18.93 %
Warna air keruh, endapat putih banyak dan tidak nampak flok
Gambar 23. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 9 untuk Waktu 3 Menit
Gambar 24. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 9 untuk Waktu 20 Menit
Gambar 25. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 9 untuk Waktu 60 Menit Tampak Samping
Gambar 26. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 9 untuk Waktu 60 Menit (Tampak Atas)
Dari data percobaan diatas bisa diketahui bahwa:
  1. pH optimum reaksi flokulan secara berurutan adalah 6.4 - 6.7 dan 7.3 - 7.9 sehingga bisa dikatakan pH optimum flokulan adalah 6 - 8
  2. Adjustment pH diperlukan bilamana kondisi air laut yang masuk bersifat sangat sam maupun sangat basa
5.32 MENGGUNAKAN ADJUST pH NaOH (Soda Caustic) dan Ca(OH)2 (Kapur)
Tabel 11. Data Air Laut beserta Treatment pH

Beaker 1 (NaOH)
Beaker 2 Ca(OH)2
pH Air Laut
8.12
8.13
Turbidity Air Laut
8.19
8.32
pH Air Laut After Adjust pH
9.68
9.02
Dari data percobaan diatas bisa diketahui bahwa:
1.  Urutan kekuatan menaikkan pH dalam dosis yang sama secara berurutan yaitu NaOH, Na2CO3 (sesuai data di Tabel 8) dan Ca(OH)2
KONDISI OPERASI KOAGULAN
  • Dosis Injeksi                             : 2 - 5 tetes = 0.08 - 0.1 mL
  • RPM Agitator                            : 120 RPM
  • Waktu Reaksi                           : < 10 detik 
  • Lokasi Sampling                       : Intake Kanal Luar 
  • Basa Adjustment                      : NaOH (Soda Caustic) dan Ca(OH)2 (Kapur) 

Tabel 12. Percobaan Untuk Pemilihan Basa Adjustment (Koagulan)
VARIABEL
DOSIS
pH AIR LAUT + KOAGULAN
TURBIDITY AFTER KOAGULASI
Beaker 1 (NaOH)
2 tetes
9.56
-
Beaker 2 Ca(OH)2
9.02
-
Beaker 1 (NaOH)
5 tetes
9.26
12.4
Beaker 2 Ca(OH)2
8.91
11.9

Gambar 26. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 12 untuk 2 Tetes Koagulan
Gambar 27. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 12 untuk 5 Tetes Koagulan
Dari data percobaan diatas bisa diketahui bahwa:
  1. Pemakaian basa adjustment akan meningkatkan turbidity air laut 
  2. Pembentukan flok untuk basa adjustment NaOH lebih halus dan lebih lama namun endapan sedikit
  3. Pembentukan flok untuk basa adjustment Ca(OH)2 lebih kasar, lebih cepat namun endapan banyak 
  4. Semakin banyak dosis koagulan yang diberikan maka semakin cepat flok mulai terbentuk 
KONDISI OPERASI FLOKULAN
  • Jenis Flokulan             : Polyme
  • Putaran Agitator          : 40 RPM (standar <40 RPM)
  • Dosis Flokulan            : 1 tetes pipet injeksi (1 tetes = 0.08 mL) 

Tabel 13. Percobaan Untuk Pemilihan Basa Adjustment (Flokulan)
VARIABEL
RESIDENCE TIME (MENIT)
TURBIDITY AFTER FLOKULASI
pH AFTER FLOKULASI
Beaker 1 (NaOH)
20
1.74
9.26
30
1.38
Beaker 2 Ca(OH)2
20
2.63
8.95
30
1.60

Gambar 28. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 13 untuk 20 Menit Flokulasi
Gambar 29. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 13 untuk 30 Menit Flokulasi
Gambar 30. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 13 untuk 30 Menit Flokulasi (Tampak Atas) - Kiri untuk NaOH dan Kanan Ca(OH)2
Dari data percobaan diatas bisa diketahui bahwa:
  1. Penambahan basa adjustment pH NaOH lebih efektif dalam penurunan turbidity dibandingkan dengan Ca(OH)2 namun efeknya adalah peningkatan nilai pH diakhir flokulasi (namun tidak masalah karena masih masuk range membran RO yaitu 7 – 11)
  2. Sedimen yang terbentuk jika menggunakan NaOH yaitu lebih halus, lebih sedikit dibandingkan dengan Ca(OH)2  
5.4  PEMILIHAN RPM AGITATOR
  • Residence time disetting sama : 20 menit
  • Kondisi RPM antara Koagulan dan Flokulan adalah sama
Tabel 14. Percobaan Untuk Pemilihan RPM Agitator
VARIABEL RPM
TURBIDITY AWAL
TURBIDITY AKHIR
PENURUNAN TURBIDITY DARI NILAI AWAL
PENGAMATAN VISUAL
40
6.60
2.12
67.88 %
Flok sudah mulai terbentuk besar di menit ke - 10 namun belum ada endapan dan dimenit ke - 20 sudah mulai ada sedimen
80
6.68
3.31
50.45 %
Flok halus di menit ke - 10 sudah terbentuk namun di menit ke - 20 tetap tidak dihasilkan sedimen
120
6.07
5.28
13.01 %
Flok halus di menit ke - 10 sudah terbentuk namun di menit ke - 20 tetap tidak dihasilkan sedimen
200
5.43
4.98
8.29 %
Flok yang terbentuk halusa saja dan tidak ada endapan sedimen sama sekali
Gambar 31. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 14 untuk 40 RPM
Gambar 32. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 14 untuk 80 RPM
Gambar 33. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 14 untuk 120 RPM
Gambar 34. Hasil Percobaan Sesuai Tabel 14 untuk 200 RPM
Dari data percobaan diatas bisa diketahui bahwa:
  1. Semakin tinggi RPM maka flok yang terbentuk semakin sedikit bahkan sedimentasi sangat sulit terbentuk
  2. RPM yang dianjurkan untuk flokulasi adalah < 40 RPM karena pada kecepatan itulah bibit flok cepat terbentuk dan dalam residence time yang pendek sudah mulai terbentuk endapan dan dihasilkan air yang jernih (turbidity rendah).
VI.          KESIMPULAN
Dari beberapa variabel yang telah dilakukan dalam percobaan jar test ini dapat disimpulkan seperti Gambar 35 berikut:
Gambar 35. Kesimpulan dari Beberapa Variabel di Jar Test
  1. Dosis yang digunakan untuk flokulan adalah 1 - 2x dosis yang direkomendasikan supplier dengan residence time antara 20 - 30 menit
  2. pH optimum reaksi koagulan adalah 7.75 (rentang 6.29 - 8.77) sedangkan pH optimum flokulan adalah 6.7 - 7.8
  3. Asam adjustment yang direkomendasikan adalah HCl sedangkan basa adjustment adalah NaOH 
  4. RPM Agitator yang dianjurkan untuk keefektifan pembentukan flok adalah ≤ 40 RPM atau 40 – 80 RPM  
     VII. REKOMENDASI DAN SARAN
7.1 REKOMENDASI
Dari hasil studi lapangan dan percobaan di laboratorium, direkomendasikan hal - hal sebagai berikut :
  • Desain letak injeksi flokulan perlu dipertimbangkan kembali mengingat residence time yang dibutuhkan untuk terjadinya pembentukan flok adalah minimal 20 menit
  • Letak injeksi koagulan sudah tepat dan sudah benar dengan penggunaan static mixer
  • Sistem overflow perlu dikaji ulang karena untuk mengurangi TSS penggunaan sistem tersebut sangat efektif dan jika diterapkan akan mengurangi penggunaan flokulan dan meringankan kerja Roughing - Polisihing 
  • Lamella Clarifier perlu dilakukan cleaning menggunakan surfactant yang bisa bekerja hidrofobic dan hidrofilic seperti sabun, polyphospate dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memperbaiki performa 
  • Saat WTP shutdown lakukan pembersihan sludge di dasar Clarifier serta lakukan identifikasi apakah sludge pump bekerja normal 
  • Sebaiknya penempatan injeksi flokulan adalah saat air tenang (laminer) (rekomendasi penempatan beberapa hal sebagai berikut :  

Alternatif 1: Injeksi flokulan ditempatkan di clean tank clarifier 1 yaitu sesudah lamella clarifier 1
Gambar 36. Clarifier 1 dan Clarifier 2 Sistem Operasi SERI
Gambar 37. Letak Tapping Injeksi Flokulan Alternatif 1

Sistem yang dipakai di Alternatif 1 adalah:
  • Clean tank lamella 2 alirannya bersifat laminer dan cocok untuk proses flokulasi
  • Letak tapping injeksi flokulan adalah tepat di aliran outflow lamella clarifier 2, dengan tujuan agar dorongan air membawa flokulan lebih merata ke segala arah
  • Overflow produk akan lanjut ke Clarifier 2 melewati bypass pipa dan direkomendasikan pipa diberi kain kassa (kain berpori kecil dimana partkel halus bisa lewat namun partikel floating tertangkap) 
  • Dibutuhkan line drain sludge, sehingga ada 2 alternatif yaitu menggunakan vertical pump untuk menyedot lumpur atau membuatkan jalur drain di bagian bawah clean tank 1 
  • Jika dengan tapping seperti ini, nilai turbidity tidak menunjukkan penurunan yang bagus maka diperlukan pengadukan manual dengan kayu (sebagai trial) kemudian dicek apakah dengan adanya pengadukan mnurunkan pH. Jika jawabannya “YA” maka di tempat tersebut harus di install agitator RPM rendah, namun jika “TIDAK” maka letak tapping flokulan tidak tepat dan lanjut memilih ke alternatif berikutnya. 
  • Kelemahannya adalah lamella 2 harus benar – benar bagus performanya, karena jika kotor/rusak atau ditumbuhi mikorroganisme maka turbidity akhir langsung jatuh. 
  Alternatif 2: Injeksi flokulan di holding tank clarifier 2
Gambar 38. Letak Tapping Injeksi Flokulan di Holding Tank Clarifier 2

Sistem yang dipakai di Alternatif 2 adalah:
  • Clarifier 2 murni sebagai tempat koagulasi dan filterisasi primer
  • Holding Tank Clarifier 2 dipilih karena alirannya laminer, TSS sudah terminimalisir oleh lamella 1 sehingga kerja flokulan lebih ringan
  • Keuntungan ditempat ini adalah tidak membutuhkan agitator karena ruangan yang sudah sempit sehingga dengan flow air saja sudah bisa membuat flokulan homogen, namun jika target penurunan turbidity tidak tercapai maka di pinggir dinding holding tank 2 dipasang baffle sehingga bisa menambah residence time reaksi antara flokulan dengan air 
  • Jika tapping disini diterapkan maka membutuhkan line drain sludge yaitu bisa berupa vertical pump atau dibuatkan jalur sendiri dari bawah 
  • Kelemahannya sama dengan alternatif 1 
Alternatif 3: Menjalankan lamella clarifier 2 saja sedangkan clarifier 1 didesain sebagai bak sedimentasi saja
Sistem yang dipakai di Alternatif 3 adalah:
  • Lamella clarifier 1 diangkat dan dijadikan bak sedimentasi sistem overflow sedangkan clarifier 2 desain sesuai existing
  • Clarifier 1 membutuhkan baffle sebagai sistem overflow dan ditempat ini didesain terdapat injeksi flokulan
  • Kelemahannya adalah jika lamella 2 kotor / rusak / terkontaminasi lumut / mikoorganisame atau bahan filter rusak maka langsung mencemari produk akhir 
Alternatif 4: Menjalankan lamella clarifier 1 saja sedangkan clarifier 2 didesain sebagai bak sedimentasi (kebalikan alternatif 3)
Sistem yang dipakai di Alternatif 4 adalah:
  • Kelemahannya adalah kerja lamella 1 berat dalam menurunkan turbidity karena terletak di filter primer
  • Flokulasi bisa diterapkan seperti alternatif 1
  • Kelebihannya adalah tidak ada bahan pencemar lain sampai produk akhir, karena di clarifier 2 murni sistem overflow saja tanpa ada treatment lain 
7.2 SARAN
Jika peralatan memadai (kemampuan menimbang dan mengukur besaran analis sesuai perbandingan riil di lapangan yang di scale down) maka perlu dilakukan percobaan agar variabel yang didapat lebih mewakili kondisi di lapangan walaupun hasil scale up jar test laporan ini sudah cukup bisa mewakili kondisi proses.

CATATAN :
·         Acuan Pemberian WARNA
Rundown Kegiatan Jar Test
Tanggal
Percobaan Jar Test
Durasi
01 Agustus 2017
Variabel Letak Sampling
2 - 3 jam
Variabel Dosis untuk Intake Kanal Luar
2 - 3 jam
02 Agustus 2017
Variabel Dosis dan Residence Time untuk Intake Kanal Dalam
3 - 4 jam
Variabel pH Reaksi dengan Adjust HCl dan Na2CO3
2 - 3 jam
03 Agustus 2017
Variabel pH Reaksi dengan Adjust NaOH dan Ca(OH)2
2 - 3 jam
Variabel RPM Agitator
1 - 2 jam

Silakan Downloading International Proceeding Journal Open Acces di https://doi.org/10.1088/1757-899X/1096/1/012102

Kutip Artikel ini sebagai Referensi (Citation):
Feriyanto, Y.E. (2018). Analisa Sistem Koagulasi-Flokulasi-Sedimentasi di PLTU dengan Jar Test, Best Practice Experience in Power Plantwww.caesarvery.com. Surabaya

Referensi
[2] Feriyanto, Y.E. (2017). Jar Test Sistem Sedimentasi di PLTU 2 x 16.5 MW. Surabaya

Ingin Konsultasi dengan Tim Expert Website, Silakan Hubungi KLIK