Material tembaga (Cu) memiliki sifat properties yang baik sebagai heat-exchanger
seperti thermal conductivity yang sangat baik dibawah silver/perak
(Ag). Material Cu based yang umumnya dikenal di lapangan seperti brass/kuningan
(CuZn-Al) atau bronze/perunggu (CuSn) dan di PLTU penggunaan material
Cu banyak digunakan di heat-exchanger seperti condenser, oil cooler, radiator dan lain-lain
dimana fluida yang mengalir didesain air sungai atau air demineralisasi
dengan sifat low conductivity dan tidak korosif. Pertimbangan pemakaian
material Cu based ini dibandingkan lainnya, dimana pada umumnya tube
condenser PLTU terbuat dari titanium (Ti) adalah karena material Cu memiliki thermal conductivity
yang tinggi sehingga transfer panas lebih maksimal (efisiensi pertukaran panas
tinggi), dengan dimensi yang minim (size dan jumlah) maka bisa sebanding
dengan material lain dengan desain size dan jumlah yang besar. Dari
beberapa kelebihan tersebut, juga terdapat kelemahan dari material Cu based
seperti tidak tahan korosif (pH, air laut/salinitas), mudah leaching
lapisan Cu2O oleh larutan ammonia (NH3), amine (NH2) dan nitrate
(NO2), tidak tahan abrasif karena low strength dan
low hardness. (Schweitzer, 2010)
Berikut
kutipan dari handbook Schweitzer
(2010) sebagai berikut:
Berdasarkan
Revie & Uhlig (2008) berikut kutipannya:
Berdasarkan grafik
tersebut bisa diketahui bahwa semakin lama material brass terpapar ammonia
(NH3) maka sifat properties stress akan menurun yang
menandakan material bersifat getas/rapuh sehingga mudah cracking yang
disebut dengan Stress Corrosion Cracking (SCC).)
Berdasarkan Revie
& Uhlig (2008), ammonia yang ada pada condensate
PLTU pada umumnya merupakan hasil reaksi hydrazine (oxygen scavenger
chemical) yang bisa terjadi pada 2 tahap yaitu:
- Reaksi LAMBAT pada
suhu 175 oC
- Reaksi CEPAT pada
suhu 300 oC
Berikut
reaksinya:
3 N2H4 +
O2 ---> N2 + 2 H2O
3 N2H4 --->
N2 + 4 NH3
Ammonia (NH3) sangat dihindari untuk
penggunaan material Cu based dan terdapat 2 substitusi oxygen scavenger
yang bisa memberikan protective film pada iron (Fe) dan copper (Cu) yaitu:
(Revie & Uhlig, 2008)
- Carbohydrazide, (NH2NH)2CO +
2 O2 ---> 2 N2 + 3 H2O + CO2
- Diethylhydroxilamine, 4 (C2H5)2NOH
+ 9 O2 ---> 8 CH3COOH + 2 N2 +
6 H2O
SSCC pada brass
bisa diminimalisir dengan 4 prosedur sebagai berikut: (Revie & Uhlig,
2008)
- Stress-Relief Heat Treatment
- Menjauhi kontak dengan ammonia (NH3)
yang juga didukung dengan dissolved oxygen (DO) yang cukup tinggi
karena kehadirannya sedikit saja bisa menyebabkan cracking
- Menambahkan cathodic protection.
- Menggunakan inhibitor H2S


Terdapat kelayakan
operasi untuk tipe material Cu based terhadap fluida yang
mengalir melewatinya, seperti:(Revie & Uhlig, 2008)
- Fresh water, tipe pure copper (Cu) dan admiralty.
- Brackish/payau dan sea water/air laut,
tipe admiralty, cupro-nickel, alumunium brass.
- Pollutant water/mengandung TDS tinggi/kontaminan
kimia tinggi, tipe cupro-nickel.
Alumunium Brass
(CuZn-Al)
cocok ketika full sea water dan jika mengandung pollutant water
maka mudah sekali pitting, material ini cocok untuk debit air
yang tinggi.
Tipe cupro/cupper-nickel
ada 2 yang umum dipakai yaitu: (Revie & Uhlig, 2008)
- 30% Ni-70% Cu, sifat properties ini lebih
tahan terhadap SCC daripada 10-20% Ni-Cu atau CuZn-Al (brass).
Berarti menandakan kandungan nikel (Ni) yang membuat alloy menjadi
tahan korosi
- 10-20% Ni-90% Cu
Berdasarkan Ahmad
(2006) berikut kutipannya:
Terdapat 4 tipe
SCC yaitu: (Ahmad, 2006)
1.
Chloride SCC, disebabkan oleh hadirnya salinitas air laut/garam yang
didukung dengan oksigen cukup pada temperatur tinggi
2.
Caustic SCC, disebabkan oleh kondisi basa (pH tinggi)
3.
Sulphide SCC, disebabkan oleh kontaminan hydrogen sulphide (H2S)
4.
Seasonal Cracking, ini istilah yang umum digunakan oleh SCC di brass/kuningan/CuZn-Al/Cu
based karena cemaran ammonia (NH3)
Berikut senyawa kimia yang
bisa menyababkan material Cu based mengalami SCC: (Ahmad, 2006) (Caesarvery,
2021)
·
Ammonia (NH3), kehadirannya melarutkan protective layer material
Cu based yaitu Cu2O dan terlebih ketika terdapat dissolved
oxygen (DO) maka ammonia sangat merusak (destructive)
permukaan Cu yang bisa memperparah SCC
· Hydrogen sulphide (H2S)
·
SO2 yang didukung moisture (basah) sehingga mudah terbentuk SO3 dan
H2SO4
·
Asam Nitrat (HNO3)
·
Amine (NH2)
Berdasarkan handbook
Revie (2011) berikut kutipannya:
Berdasarkan Revie
(2011) tersebut didapatkan informasi bahwa ammonia (NH3)
yang berasal dari dekomposisi hydrazine (N2H4)
mempercepat korosi pada Cu alloy. Ketahanan material Cu alloy
contohnya brass/kuningan (CuZn) terhadap SCC pada range pH 7.3-11.3.
Terdapat 3 faktor
utama yang menyebabkan ammonia (NH3) mengalami SCC pada
material Cu alloy: (Revie, 2011) (Caesarvery, 2021)
- Korosi pada lapisan film (Cu2O)
yang mengurangi fungsi anodik
- Terlarutnya Zn anodic pada grain
boundaries
- Stabilisasi dari valensi Cu



Berdasarkan handbook Revie
(2011) tersebut didapatkan informasi sebagai berikut:
- Penambahan 5-40% nickel (Ni) meningkatkan mechanical
properties seiring peningkatan temperatur seperti tahan korosi pada
lingkungan brackish/payau dan sea water/air laut
- Cupro/Cupper-Nickel (CuNi) lebih stabil daripada brass/kuningan (CuZn) pada
aliran yang mengalir dan SCC. CuNi lebih baik daripada CuZn pada polllutant
water
- Penambahan unsur iron/besi (Fe) pada CuNi membentuk
pembentukan protective layer untuk menciptakan ketahanan terhadap air
laut
- Copper tidak cocok digunakan untuk aliran
yang mengalir kencang karena bersifat low hardness dan low
strength
- 60 Cu-40 Zn (kuningan) cocok
digunakan untuk operasi temperatur rendah dengan fluida air sungai,
danau dan tanah. CuZn tahan terhadap hydrogen sulphide (H2S).
Penambahan unsur timbal/lead (Pb) cocok digunakan untuk HE/condenser
yang berpendingin air laut/sea water
- Penambahan unsur Al pada brass/kuningan/76
Cu-22 Zn-2 Al membantu pembentukan protective layer untuk
ketahanan terhadap mechanical destructive (abrasif). Penambahan
unsur arsenik (As) digunakan untuk membuat ketahanan brass pada
pollutant water, brackish dan sea water
Berdasarkan Standard
EPRI (2004) sebagai berikut:
Berdasarkan Standar EPRI
(2004) didapatkan informasi sebagai berikut:
- Hydrazine (N2H4) tepatnya digunakan tanpa aditif
atau ketika ada maka digunakan amine
- Aplikasi hydrazine dijaga pada range pH 8.5-9.6 untuk cupper
alloy dan untuk all-ferrous alloy 8.5-10.5
- pH control bisa menggunakan sodium hydroxide (NaOH) untuk material all-ferrous
namun untuk cupper alloy digunakan azoles untuk corrosion
protection. Macam-macam azoles sebagai berikut:
1. Tolyltriazole (TTA)
2. Benzotriazole (BZT)
3. Mercaptobenzothiazole (MBT)
Berdasarkan
Standard EPRI (1985) sebagai berikut:
Berdasarkan Standard EPRI (2001) sebagai berikut:
Referensi:
[1] Revie, R.W., and Uhlig, H.H. (2008). Handbook Corrosion and Corrosion Control, An Intoroduction to Corrosion Science and Engineering. Fourth Edition, John Wiley & Sons
[2] Revie, R.W. (2011). Handbook Uhlig's Corrosion, Third Edition. John Willey & Sons
[3] Ahmad, Z. (2006). Handbook Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Elsevier
[4] Schweitzer, P.A. (2010). Handbook of Fundamentals of Corrosion Mechanisms, Causes, and Preventative Methods. CRC Press. London & New York
[5] EPRI. (2004). Closed Cooling Water Chemistry Guideline
[6] EPRI. (1985). Condenser Procurement Guidelines
[7] EPRI. (2001). Condenser Appication and Maintenance Guide